Selasa, 26 Juli 2011

TEKNIK MEMBANGKITKAN ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIP PEMBERDAYAAN DIRI

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)



FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA ETOS KERJA

Kita sering mendengar berbagai keluhan orang atau bahkan diri kita sendiri sering mengeluh dalam hal pekerjaan. Orang yang belum bekerja keluhannya adalah sulitnya mendapat pekerjaan. Sedangkan orang yang sudah bekerja baik karyawan swasta, karyawan project sampai pegawai negri sipil justru mengeluhkan pekerjaanya. Keluhan orang yang sudah bekerja justru lebih banyak macamnya, mulai dari keluhan tentang jumlah honor yang diterima, system dan peraturan kerja, target kerja, membuat laporan kerja, mendapat supervisi, evaluasi atau audit sampai kepada rekan kerja yang menyebalkan. Berbagai keluahan itu terus tertanam, terakumulasi dan teraktualisasi di dalam dirinya sampai diungkapkan kepada rekan sekerjanya maupun kepada orang lain di luar lingkungannya baik secara sadar maupun tidak sadar. Semua keluhan yang tertanam dalam dirinya akan didukung oleh “rasionalitas” dan “legitimasinya” yang ditemukan oleh pikirannya dan fakta fakta di luar dirinya yang mendukungnya. Keluhan keluhan seseorang tentang pekerjaanya akan saling bersambut dengan keluhan keluan dari reka kerjanya. Keluhan tersebut bermula secara individual kemudian akan merebak menjadi keluan kolektip. Apabila keluhan itu sudah menjadi keluhan kolektip maka kosentrasi para pekerja akan bermuara pada munculnya berbagai masalah dan hambatan yang seolah olah bersumber dari faktor diluar dirinya. Mereka biasanya menuduh terhadap peraturan, system, kepemimpinan pada organisasi / lembaga tempat naungan pekerjaannya.
Keluhan yang didukung oleh rasionalitas dari pikirannya akan menumpulkan kemampuan dalam menjelaskan dan meyakinkan kepada dirinya mengapa pekerjaan dan kekaryaanya tersebut menjadi pilihannya. Akibatnya orang tersebut kehilangan atas penghormatan, kebanggaan dan pengharapan terhadap pekerjaan dan kekaryaan yang telah menjadi pilihannya. Berkurangnya penghormatan dan kebanggaan tersebut lambat laun akan mengurangi atau bahkan menghilangkan etos yang ada pada dirinya. Padahal etos adalah merupakan sumber energy untuk berkarya, bekerja, dan daya mendorong untuk berkreasi dan berinovasi. Orang yang kehilangan sumber energy-nya biasanya akan kehilangan achievement motivation-nya, sehingga orang tersebut sering mengalami; kelesuan, keloyoan, kemalasan, mudah capai, kurang tekun, mudah putus asa, suka menunda nunda pekerjaan, suka melimpahkan pekerjaanya pada orang lain. Akibatnya orang tersebut sulit menghasilkan karya atau ciptaannya yang optimal.
Orang yang kehilangan etos kerja pada dirinya bisa jadi adalah orang orang yang melupakan sulitnya bagaimana memperoleh pekerjaan. Mereka melupakan bagaimana susah payahnya ketika sedang memperoleh pekerjaan tersebut. Pada saat akan mendapatkan pekerjaan tersebut banyak orang rela untuk berdesak desakan antri mendaftarakan diri, berjuang untuk lolos dalam ujian seleksi bahkan banyak kasus orang melakukan tidakan yang tidak terpuji seperti “menyuap” dan lain sebagainya. Mereka lupa terhadap puluhan bahkan ribuan orang yang sedang memimpikan terhadap pekerjaan yang sedang dia sandang.
Orang yang kehilangan etos kerja pada dirinya banyak yang tidak meninggalkan pekerjaanya. Karena mereka khawatir tidak dapat mendapatkan pekerjaan lagi. Orang yang berada posisi ini adalah orang yang dalam kondisi tidak “merdeka” atau “tertindas”. Ciri orang yang tertindas dalam pekerjaanya adalah; memandang pekerjaan adalah beban, target hasil kerja dianggap momok yang membayang bayangi kehidupannya, aturan kerja dianggap pemenjaraan dirinya untuk berkreasi dan berinovasi, pembuatan laporan dianggap sebagai hukuman, supervisi dan audit dianggap pemeriksaan terhadap dirinya yang menakutkan.
Orang yang kehilangan etos kerjanya pada umumnya menggantikan sumber energy dirinya dalam bekerja dan berkaryanya adalah karena adanya ketakutan atau mengejar hadiah/ganjaran. Hal yang sangat menakutkan bagi mereka adalah dikeluarkan dari pekerjaanya, diturunkan jabatannya, dikurangi honornya. Hal yang sangat didambakan adalah adanya kenaikan pangkat, kenaikan honor dan tambahnya fasilitas yang menambah kenikmatan hidupnya. Dorongan kerja dan karya yang seperti itu akan mebawa kerugian secara ganda, yaitu; (1) merugikan diri sendiri karena selamanya akan menjadi orang “tertindas” dan tidak mampu berinovasi dan berkrase. (2) merugikan institusi / organisasi karena hasil kinerjanya tidak pernah optimal namun high cost untuk pembelanjaan pegawainya. (3) Merugikan para pengguna atau pemanfaat secara luas karena tidak mampu memberi produk yang prima dan berkualitas namun harga mahal.
Hilangnya etos kerja bagi orang orang yang bekerja pada sector pelayanan public akan sangat menciderai performance secara kelembagaan. Hubungan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya berhubungan secara signifikan dengan etos kerja yang dimiliki oleh pegawai pemerintahannya. Lemabaga swasta baik yang non profit seperti lembaga swadaya masyarakat maupuan yang profit seperti perusahaan menaruhkan mati dan hidupnya lembaga pada etos kerja para aktivisnya. Lebih lebih bagi para pekerja pendamping pemberdayaan masyarakat seperti orang orang yang bergabung dalam PNPM baik yang menanganai perkotaan maupun perdesaan, etos kerja para pendamping / fasilitator / konsultan / relawan adalah menjadi tumpuhan untama bagi keberhasilan program programnya. Oleh karena itu keberadaan etos kerja adalah merupakan kunci keberhasilan atau kegagalan bagi kehidupan manusia secara universal. Dengan demikian menjaga dan membangkitkan etos kerja menjadi prioritas bagi masnusia, masyarakat, lembaga bahkan Negara yang akan maju dan berkembang.

ETOS KERJA KERJA DALAM PERSPEKTIP PEMBERDAYAAN

Dalam perspektip pemberdayaan, etos kerja sesorang adalah merupakan tanggung jawab dirinya dalam memelihara dan membangkitkannya. Hanya dirinyalah yang mampu memelihara dan membangkitkan etos kerjanya. Faktor dari luar dirinya seperti peraturan kerja, sistem kerja, manajemen dan kepemimpinan adalah hanya sebagai faktor pendukung belaka. Keberdayaan diri seseorang bukan datang secara misterius, tiba tiba atau pembawaan dari lahir. Pemberdayaan merupakan proses alami dimana orang telah melewati berbagai kondisi yang secara langsung atau tidak langsung menempa dirinya untuk menjadi orang yang berdaya. Kesulitan bagi sesorang adalah merupakan tempaan diri untuk mendapatkan suatu kecerdasan. Orang yang sering mendapat kesulitan dan selalu berusaha untuk menyelesaikannya akan mendapat kecerdasan dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya orang yang tidak pernah berani mengatasi berbagai kesulitan, dia tidak akan pernah mendapatkan tambahan daya kecerdasan dalam dirinya. Orang yang sering mendapat tantangan dalam kehidupannya dan berusaha untuk menghadapinya akan mendapat ketaguhan dan ketegaran dalam dirinya. Sebaliknya orang yang tidak pernah bernai menghadapi tantangan akan menjadi orang yang lemah dan mudah putus asa. Orang yang sering mendapat beban bila terus berusaha untuk menanggungnya akan mendapatkan tambahan daya kekuatan dirinya. Sebaliknya orang yang tidak pernah menanggung beban tidak akan pernah mendapat tambahan daya kekuatan didalam dirinya.
Orang orang yang cerdas mengatasi kesulitan, tangguh dalam menghadapi tantangan dan kuat dalam menanggung beban adalah orang orang yang berdaya. Etos kerja dalam perspektip orang berdaya adalah selalu dilatih dan ditumbuh-kembangkan di dalam dirinya. Bagaimana cara orang berdaya menjaga dan menumbuh kembangkan etos kerjanya yaitu memandang kesulitan bagaikan charger untuk meningkatkan daya kecerdasannya. Memandang tantangan dan hambatan sebagai charger untuk meningkatkan daya untuk ketangguhan dirinya, dan memandang beban sebagai charger untuk meningkatkan daya ketahannnya. Memandang ancaman sebagai charger untuk meningkatkan daya kesiapan dirinya. Sebaliknya orang orang yang tidak pernah menghadapi ancaman akan menjadi orang tidak pernah siap dalam menghadapi berbagai resiko. Etos kerja bagaikan sebuat accu atau batre yang selalu membutuhkan charger, bila tidak pernah di cahrger, etos kerja akan redup dan kemudian mati dan menjadi sampah yang tidak pernah ada gunanya.

MERUBAH KELUHAN MENJADI MEDIA PENINGKATAN KAPASITAS DIRI

Keluhan yang dirasakan sebagian besar orang yang bekerja adalah akibat dari cara memandang kesulitan bagaikan factor penghabat dalam proses kehidupannya. Kesulitan merupakan penderitaan dan siksaan. Maka sebagaian orang mengeluh dengan adanya berbagai kesulitan dalam pekerjaanya. Keluahan adalah merupakan ekpresi sepontan namun tidak penting untuk diteruskan dan ditanamkan dalam dirinya. Keluhan spontan terhadap kesulitan dalam pekerjaannya bisa dimaknai sebagai media pembelajaran untuk mendapatkan lesson learned tentang berbagai teknik dan strategi problem solving.
Keluhan terhadap hambatan dan tantangan kerja adalah hal yang wajar dan tidak salah diungkapkan. Namun keluhan yang terus menerus diungkapkan dan ditanamkan didalam dirinya justru akan menemukan rasionalisasi terhadap keluhannya namun tidak pernah mendapatkan jalan keluar untuk menghadapi tantangan dan hambatan tersebut. Tantangan dan hambatan adalah merupakan media pemicu diri untuk menggali dan mengembangkan kemampuan diri dalam menghadapi tantangan dan hambatan.
Keluhan terhadap target capaian kerja yang diamanatkan pada diri seseorang karena orang memandang bahhwa target kerja tersebut adalah merupakan beban berat bagi dirinya. Namun target capaian kerja yang diamanatkan pada dirinya sesungguhnya bisa dimaknai sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap kapasitas dirinya. Sebaiknya orang yang mendapat mandat untuk mencapai target hasil kerja perlu mengingat bahwa tidak semua orang mendapatkan mandat tersebut. Oleh karena itu sudah sepantasnya bila orang yang mendapat mandate tersebut memandang bahwa target hasil pekerjaannya adalah merupakan media membuktikan akan kapasitas dirinya yang sudah mendapat kepercayaan dan penghormatan dari pihak pemberi mandat.

TEKNIK MENINGKATKAN ETOS KERJA DENGAN MEMERDEKAAN DIRINYA

Dalam perspektip pemberdayaan, bahwa etos kerja bisa ditumbuhkan, dipertahankan dan dikembangkan oleh orang orang yang bekerja dalam suasana diri ”merdeka”. Karena orang merdeka menerima dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu anugrah hadirnya obsesi dan cita citanya. Orang merdeka memandang pekerjaan adalah merupakan media aktualisasi diri sebagai manusia yang diberi kesempatan untuk berkarya dan cipta selama hidupnya. Pekerjaan adalah merupakan bagian identitas diri yang paling berarti dalam hidupnya dibanding identitas lainnya yang melekat dalam dirinya. Pekerjaan yang selama ini disandangnya telah menjadi bentuk pengakuan dan penghormatan orang, institusi atau masyarakat kepada dirinya. Oleh karena itu jangan sekali kali menyia nyiakan pengakuan dan penghormatan tersebut. Namun perlu meningkatkan agar orang semakin mengakui, mempercayai dan memberi penghormatan terhadap identitas diri dengan cara menghormati dan terus menerus mencari berbagai rasionalitas yang mampu meyakinkan pada dirinya bahwa pekerjaan tersebut sangat bermanfaat bukan saja bagi diri pribadi, keluarga, dan orang atau institusi yang memberi mandat namun juga bermanfaat bagi kehidupan yang lebih luas. Orang merdeka dalam bekerja bisa menikmati proses berkarya cipta demi mengekspresikan prestasi dirinya. Orang yang merdeka dalam bekerja akan mengejar suatu prestasi sebagai kebanggaan dalam kehidupannya karena dapat menghasilkan karya dan cipta yang bisa bermanfaat mulai dari rinya, keluarganya, lembaganya dan kehidupan manusai yang lebih luas.
Sebaliknya orang yang tidak merdeka memandang pekerjaan yang disandangnya hanya sebagai alat untuk mencapai hasil atau kenikmatan semata. Pekerjaan merupakan suatu beban yang harus dikerjakan demi memperoleh hasil yang bisa dinikamati. Kenikmatan bukan berada pada proses mejalankan perkerjaan, bukan berada pada proses berkarya dan ciptanya namun kenikmatan bagi orang yang tidak merdeka berada pada hasilnya. Bahkan yang paling nista ada orang memandang proses bekerja dan proses berkarya cipta adalah merupakan ”penderitaan” dan ”siksaan”. Mereka lebih banyak mengejar hasil yang memberi kenikmatan dirinya. Maka apa bila ada kemungkinan mendapat hasil atau kenikmatan tanpa harus melalui proses bekerja, berkarya cipta, orang orang tersebut akan meninggalkannya. Sehingga banyak kasus terjadi di kehidupan ini orang tidak pernah bekerja dan berkarya namun bisa memperoleh hasil atau bisa hidup ”enak”. Orang orang seperti itu bisa terjerumus pada perilaku pemanjaan diri dengan jalan tanpa bekerja dan berkarya. Bila perilkau itu berkembang bisa terperangkap pada perilaku kriminal seperti korupsi, manipulasi dan lain sebagianya yang tidak saja merugikan dirinya namun juga merugikan banyak orang dan merusak sendi sendi kehidupan yang paling hakiki.
Kenikmatan bagi orang merdeka adalah berada pada proses bekerja dan berkarya ciptanya, kebanggan yang dimiliki adalah prestasi dan hasil karya yang bermanfaat pada kehidupannya dan kehidupan yang lebih luas. Maka orang orang merdeka selalu berusaha untuk mendapat atau menciptakan pekerjaan dan kesempatan berkarya cipta sebagai proses pembentukan identitas dan menemukan jati dirinya. Orang merdeka selalu berusaha mendapat dan menambah kepercayaan dari orang atau institusinya dengan bentuk mendapat target target hasil kerja yang menantang. Orang orang tersebut akan merasa sangat terhormat apabila bisa mendapatkan target kerja yang banyak orang tidak bisa mencapainya. Bahkan kalau tidak ada orang lain atau isntitusi yang memberi target kerja untuk dirinya, mereka akan membuat target kerja sendiri.
Orang merdeka memandang ”laporan kerja” sebagai media untuk menyampaikan berbagai prestasi kerjanya untuk mendapat pengakuan akan kapasitasnya. ”Laporan kerja” juga merupakan media bagi orang merdeka untuk menunjukan dan mengungkapkan berbagai kegagalannya secara utuh untuk menjaga dan menambah kredibiltas dirinya. Sebaliknya orang yang tidak merdeka memandang ”laporan kerja” sebagai bentuk penghambaan diri pada pemberi kerja. Laporan kerja dianggap sebagai beban berat sebagai hamba yang harus bisa menyenangkan hati atasan kerjanya atau pemberi kerjaanya. Maka tidak jarang mendengar orang berkeluh kesah ketika diminta membuat laporan kerja dan bahkan ada yang sampai setres dalam membuat laporan kerja.
Orang merdeka dalam bekerja memandang supervisi, inspeksi, audit dan evaluasi kerja sebagai media untuk membangan kredibilitas dirinya terhadap pekerjaan yang dimandatkan. Orang merdeka sangat membutuhkan suatu bukti yang diakui oleh banyak pihak terhadap prestasi presti atau keberhasilan yang telah diraihnya. Orang merdeka juga sangat membutuhkan untuk ditunjukan bukti bukti yang obyektip terhadap berbagai kegagalan dan ketidak berhasilannya dalam bekerja dalam rangka untuk memperbaiki kualitas kinerjanya. Orang merdeka sangat risau dan ragu apabila pekerjaannya tidak pernah mendapat supervisi, inspeksi, audit atau dievaluasi. Mereka sangat tidak menerima berbagai statement atau keputusan yang berhubungan dengan pekerjaanya yang tidak melaui proses tersebut. Sebaliknya orang yang tidak merdeka dalam bekerja memandang supervisi, inspeksi, audit dan evaluasi kerja sebagai bentuk interogasi, penyelidikan, penyidikan dan pengadilan dirinya sebagai hamba yang seolah olah akan menjadi ”nara pidana” yang siap untuk diberi ”hukuman”. Maka dari itu banyak orang yang sangat ketakutan daan bahkan sering menghindar kalau akan ada audit evaluasi atau inspeksi terhadap hasil pekerjaannya. Upaya untuk membangun kepercayaan bagi orang orang tidak merdeka lebih suka dengan melakukan pendekatan ”mengambil kebaikan hati” para atasan kejanya atau pemberi mandat kerja.

MENGHADIRKAN OPTIMISME KE DALAM HATI DAN PIKIRANNYA
Secara konvensional orang orang yang bisa memerdekakan dirinya adalah mempunyai kemampuan untuk menghadirkan optimisme dalam pikiran dan hatinya. Menurut berbagai sumber di internet seperti yang saya kutipkan ini bahwa bahwa optimisme dapat mendukung dan mengembangkan diri sebagai manusia merdeka karena orang merdeka harus mampu memecahkan berbagai masalah dan mengatasi tantangan secara mandiri. Sifat orang optimis menurut McGinnis adalah orang yang mampu untuk memecahkan masalah. Orang tersbut juga menyimpan segudang alternatif pemecahan masalah dimana ketika satu cara pendekatan penyelesaian masalah gagal maka ia akan beralih ke alternatif lainnya. Selain itu orang yang optimis adalah orang yang berbicara secara leluasa tentang perasaan negatifnya seperti halnya C.S. Lewis pada contoh di atas. Tekanan jiwa sering disebabkan oleh menelan suatu emosi negatif, yang paling umum adalah kemarahan dan kesedihan. Menjadi orang yang optimis bukan berarti menolak emosi yang dirasakan tetapi menerima perasaan negatifnya dan menyatakan perasaan negatifnya tersebut.
Beberapa saran yang diberikan oleh banyak akhli ilmu jiwa seperti yang saya ambil dari salh satu situs di internet, untuk dapat menjadi orang yang optimis, diantaranya : Berpikir positif; Menilai diri sendiri dengan positif, bukan mengatakan bahwa "Saya adalah orang yang tidak berguna." Atau "Saya adalah seorang pekerja yang gagal yang tidak mungkin berhasil.". PIkiran yang positif akan mengarahkan kita untuk memiliki sikap-sikap yang tidak mudah menyerah. Membantah keyakinan yang negatif dalam diri sendiri; Seringkali kita berbicara dengan diri sendiri (self talking) mengenai keyakinan yang negatif dalam diri sendiri. Kita tidak menyadarinya karena sudah sering dilakukan dan akhirnya menjadi kebiasaan. Untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini, Dr. Seligman menyarankan agar menuliskan pemikiran atau keyakinan yang negatif apa saja yang muncul tentang diri sendiri. Kemudian beranikan diri untuk membantah pemikiran tersebut. Menikmati; Berusaha untuk menemukan hal-hal yang dapat dinikmati seburuk apa pun situasi yang dihadapi. Menikmati percakapan yang terjadi dengan sang interviewer walaupun akhirnya tidak lolos dalam seleksi kerja, menikmati dinginnya udara ketika hujan turun dengan sangat derasnya, dan sebagainya.
Uraian saya di atas memaparkan bahwa etos kerja bagi orang berdaya adalah harus tekun mengikuti proses pembelajaran untuk menempa diri dalam rangka meningkatkan etos kerjanya sebagai proses aktualisasi dan pengemabangan diri sebagai manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan kehidupan lebih luas. Kuncinya berani berubah untuk meninggalkan perilaku yang memenjarakan dirinya. Jadilah orang merdeka sekarang juga. Karena hidup tidak akan bermakna apapun tanpa ada kemerdekaan dalam dirinya termasuk merdeka dalam bekerja....Selamat mencoba.

Rabu, 20 Juli 2011

Menejemen Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah

Pendahuluan
Berbagai jawaban kritis warga muncul ketika berbagai NGO Indonesia di era reformasi melakukan FGD dengan warga masyarakat sipil tentang peran pemerintah terhadap kehidupan warga masyarakat. Sebagaian warga menjawab bahwa peran pemerintah hampir disamanakan seperti yayasan sosial. Yaitu sebagai lembaga penyalur bantuan, atau tenaga proyek lembaga donor bukan sebagai institusi negara yang mengelola menejemen pelayanan publik.
Peran Pemerintah Daerah dalam era Otonomi Daerah (UU 32/2004 sebagai pengganti UU 22 / 99) juga disamakan sebagai lembaga penyalur “dana bantuan dari pusat’. Apakah benar bahwa realita peran Pemerintah Daerah hanya sebagai “tukang pos” mengantar kiriman dana dari pusat untuk warga masyarakat? Atau hanya seperti institusi pelaksana proyek dari pusat?
Kalau saja Pemerintah daerah berperan sebagai ‘tukang pos’ atau tenaga proyek pemerintah pusat. Dihubungkan dengan struktur pembelanjaan keuangan daerah (APBD) yang rata rata diatas 60% terserap untuk biaya aparatus dan operasional sedangkan untuk rakyat dibawah 40% apakah masih layak sebagai ‘tukang pos’ / pekerja proyek yang effisien?
Pertanyaan lebih jauh, kalau saja tidak ada dana dari Pemerintah Pusat baik DAU atau dana dana lainnya tidak ada. Bagaimana eksistensi Pemerintah Daerah, apakah akan bubar? Kalau tidak ada Pemda bagai mana nasib rakyat?....Kelihatannya rakyat akan tenang tenang saja. Sebab di era kehidupan ‘pasar bebas’ dimana negara tidak mampu mengontrol kehendak pasar seperti kasus mahalnya dan langkanya minyak goreng akibat pemerintah tidak mampu mengendalikan produsen bahan baku minyak goreng. Ada benarnya juga kalau warga tidak terlalu hirau dengan keberadaan Pemerintah. Secara akademis juga sudah ada buku Governance without Government yang mempertanyakan peran pemerentah terhadap kesejahteraan kehidupan warga? Logikanya warga butuh jalan raya, namun selama masih ada produsen mobil dan motor, jalan raya pasti akan dibangun mereka. Ketika warga butuh pendidikan, selama ada lembaga bisnis pendidikan, tetap masih ada sekolahan…toh sekolah yang dikelola pemerintah pun mahal juga. Ketika warga butuh kesehatan selama masih ada pedagang obat dan bisnis kesehatan, tetap masih ada rumah sakit. Logika logika “nyleneh” itu semakin menggelinding ketika pemerintah tidak mampu menunjukan kualitas menejemen pelayanan publik.
Image Publik terhadap Pelayanan Publik RI
Ada kasus ketika warga Indonesia menggunakan jasa pelaksana Rusamah Sakit Penang Malesia. Dimana pelayanan terhadap para pasien sangat prima; dimana satu pasien didampingi tiga perawat, satu dokter umum secara intensip dengan supervisi dokter akhli. Namun biaya jasa pelayanan itu jauh lebih murah dari pada pelayanan publik kesehatan di Rumah Sakit Negeri Indonesia. Sementara gaji / honor para medisnya jauh lebih tinggi dari pada gaji yang diterima oleh para medis di Rumah Sakit Negri Indonesia. Sementara tidak ada subsidi apapun dari negeri. Kualitas pelayanan, murahnya biaya pelayanan dan sejahteranya para pegawai semata karena adanya kecerdasan menejemen para pemimpin unit kerja pelayanan, bukan karena adanya santunan atau subsidi dari manapun.
Logika pelayanan publik di Inodonesia secara umum adalah; kalau warga ingin mendapat pelayanan prima dia harus bayar mahal, atau ada pelayanan prima tetapi kesejahteraan pegawainya rendah (sukarelawan sosial), atau kalau ada subsidi negara yang berlimpah! Logika ini berjalan kalau belum ada kecerdasan menejeman. Artinya tanpa menejemenpun kalau pengguna jasa itu bisa membayar mahal, pelayanannya semestinya bisa prima, atau pelayanan prima dan pengguna membayar murah tetapi para karyawannya upahnya rendah inipun tanpa menejemen pun bisa. Sebab analogi menejemen adalah bagaikan perut orang sehat, dimana masuk kopi tidak keluar kopi namun masuk kopi keluar energi manusia yang berlipat. Kalau perut manusia dimasuki kopi keluarnya kopi, maka fungsi perut itu sudah tidak ada, atau menejemen pengolahan makan / minum di perut tidak ada!
Dengan demikian pertanyaannya apakah di Indonesia khususnya para kepala SKPD di Pemerintah Daerah Sleman sudah menerapkan menejemen yang cerdas untuk mengelola pelayanan yang prima, biaya murah dan karyawan sejahtera?
Perkembangan Ilmu Menejemen Publik
Sejak pertengahan tahun 1980 di Eropa dan Amerika terjadi perubahan menejemen menejemen sektor publik yang cukup dratis dari tradisional (Kaku, birokratis, hirarkhis) menjadi ke new public management yang berorientasi penilaian kinerja dan effisien bukan berorientasi pada kebijakan. Strategi menejemen tersebut menggunakan pendekatan rethingking and reiventing goverment. Salah satu model pemerintahan di era New Publik Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep “reiventing government Elemen reiventing government secara umum terdiri dari:
Pemerintah Katalis; Fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah Daerah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Sebaiknya Pemda memfokuskan diri pada pemeberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta atau LSM. Pemerintah Daerah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non pemerintah.
Pemerintah milik Masyarakat; Pemerintah Daerah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong diri sendiri (Community self-help).
Pemerintah yang Kompetetip; Peran Pemerintah daerah adalah menyuntikan semangat kompetetip pada birokrasinya. Kompetisi adalah satu satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Pemerintahan yang digerakan oleh Misi; Mengubah organisasi yang digerakan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakan oleh Misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, relatip terhadap kondisinya di tahun sebelumnya.
Pemerintah yang berorientasi pada hasil; Pada pemerintah daerah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi (Pemerintah Daerah membiayai masukan). Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijaksanaan ini kelihatan logis dan adil, tetapi yang terjadi adalah unit kerja tidak mempunyai insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Jsutru mereka memiliki peluang baru: semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah Daerah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu: membiayai hasil dan bukan masukan. Pemda wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja, yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan; Orintasi Pemerintah Daerah berorintasi memenuhi pelanggan bukan birokrasi. Pemda tradisional sering salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Penerima pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya harus disetujui oleh DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan APBD adalah pelanggannya. Tetapi bila mereka menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka pelanggan yang sebenarnya akan dilupakan. Dalam kondisi ini Pemda tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis, mereka seringkali arogan. Pada Pemerintah Daerah wirausaha akan memfokuskan pada pelanggan yang sebenarnya. Mereka akan menciptakan dual accountability yaitu kepada DPRD dan kepada masyarakat / bisnis.
Pemerintah Wira-Usaha; Ciri utamanya adalah mampu memberikan “pendapatan” bukan hanya membelanjakan. Pemerintah Daerah harus meninggalkan cara cara lama yang hanya membelanjakan “jatah negara”. Namun perlu mengembangkan berbagai sumber sumber pendapatan yang tidak memberatkan masyarakatnya. Hindari sumber pendapatan dari hasil pungutan warga.
Pemerintah Antisipatip; Pemerintah Daerah tradisional yang birokratis memsuatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik. Pemda birokratis cenderung bersifat reaktif. Pemda wirausah tidak reaktif tetapi proaktif. Tidak hanya mencerna masalah yang ada tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Menggunakan perencanaan strategis untuk menentukan visi daerah.
Pemerintah Desentralisasi; Pemerintah Daerah sudah harus mulai memberikan kewenangan kewenangan teknis kepada unit unit kerja pemerintah daerah yang paling dekta dengan pelanggan.
Pemerintah Yang Berorientasi Pasar; Pemerintah Daerah melakukan perubahan dengan menggunakan mekanisme “pasar” yaitu ada sistem insentif dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan).
Semangat Pelaksanaan Di Indoensia
Semangat untuk memperbaharui menejemen pemerintahan di Indonesia sudah mulai terlihat. Hal ini bisa dilihat di sekian banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh perintah Republik Indonesia, antara lain adalah: Inpres No.7 tahun 1999 tentang AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah); Seluruh instansi pemerintah harus mempertanggungjawabkan tugas pokok dan fungsinya. SK Kepala LAN No.589/IX/6/1999: Pedoman Penyusunan LAKIP; untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja instansi pemerintah. SK Kepala LAN No.239/IX/6/8/2003: Perencanaan strategis harus berorientasi kepada hasil. Renstra (Rencana Strategis) dibedakan dengan Renja (Rencana Kerja). Semangat perubahan terebut dilandasi oleh pemahaman Kementrian pemberdayaan Aparatur Negara tentang performance birokrasi Pemerintah daerah pada era reformasi adalah: (1) SKPD yang ada terlalu banyak, tidak ramping, tidak effisien dan tidak optimal effektivitasnya. (2) Sebagaian besar PNS non fungsional (guru dan para medis) mengalami kelelahan psikhologis karena hampir setiap hari datang ke kantor tidak jelas apa yang harus dilakukan. (3) Kerja SKPD beserta PNSnya (Non guru dan paramedis) tidak jelas kerjanya dan sering “terlihat” santai dan di jalanan di waktu jam kerja. (4) Pelayanan publik SKPD untuk kebutuhan administrasi warga lambat, berbelit belit, dan sangat tergantung kepada kepala unit kerjanya. (5) Berbgai Tupoksi secara substansial telah diatur Tetapi menjabarkannya belum optimal dilakukan oleh SKPD, maka ada beberapa kasus PNS kurang jelas output kerjanya.
Strategi perubahan menejemen pemerintah salah satunya adalah melakukan reformasi birokrasi yang berhubungan dengan hal hal elementer sebagai berikut:
• Pembaharuan mind-set & Cultural-Set yang meliputi; 1.Pengembangan budaya kerja (penerapan nilai budaya kerja pada setiap unit pelaksana pelayanan publik) 2. Internalisasi & konkritisasi Prinsip tata pemerintahan yang baik.
• Sistem Manajemen Pemerintahan yang meliputi; 1.Penciptaan pola dasar organisasi lembaga pemerintah (unit pelaksana pelayanan publik). 2.Pengubahan dari menejemen ketatausahaan ke menejemen SDM Aparatur. 3.Simplikasi & Otomatisasi tata laksana, sistem, prosedur, & Mekanisme pelayanan publik. 4.Perbaikan sistem pengelolaan aset/barang milik negara. 5.Pembaharuan sistem manajemen keuangan unit pelayanan publik. 6.Perbaikan sistem pengawasan & akuntabilitas aparatur.
Fokus perubahan menejemen pemerintah dalam era otonomi daerah adalah:
Perbaikan Sistem & Mekanisme Pelayanan Publik; tujuannya adalah (1) Terwujudnya sistem & mekanisme pelayanan publik yang sederhana, mudah, transparan, Dan akuntabel (2) Menyederhanakan & memangkas prosedur pelayanan publik yg panjang & bertele-tele. (3) Mengadakan simplifikasi dan otomatisasi pelayanan publik. (4) Memperbaiki sarana & prasarana pelayanan publik termasuk desain office lay out. Indikator keluaran hasil perbaikan tersebut adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung terjadinya Perbaikan Sistem & Mekanisme Pelayanan Publik. (b) Terwujudnya Masyarakat & dunia usaha lebih mudah,murah,cepat,& tepat dalam memperoleh pelayanan publik. (c) Terjadinya penghapusan perantara, percaloan, dan pungutan liar. (d) Meningkatnya kinerja unit untuk pelaksana pelayanan publik. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Mengadakan pendataan & inventarisasi pelayanan publik.
2. Mengadakan kajian & analisis sistem dan mekanisme pelayanan publik.
3. Membuat rancang bangun sistem pelayanan publik.
4. Mengembangkan sistem pelayanan terpadu.
5. Memantau dan mengevaluasi implementasi sistem dan mekanisme pelayanan publik.
Pengembangan E-Gov ; Terwujudnya sistem manajemen pelayanan publik yang handal dengan menggunakan Teknologgi Informasi (TI) yang meliputi E-office, E-procedurement.1.Pengembangan sistem pelayanan yg handal & terpercaya serta terjangkau masy.luas. 2.Optimalisasi pemanfaatan TI. 3.Pengembangan SDM aparatur di bidang TI. 4. Efisiensi & efektivitas tatalaksana administrasi pemerintah. Indikator capaian hasilnya adalah: (a) Jumlah instansi yang mengimplementasikan E-Gov. (b) Jumlah aplikasi E-Gov yang terimplementasi di instansi. (c) Masyarakat & dunia usaha mudah memperoleh pelayanan. (d) Mengurangi tatap muka & pungutan liar dalam pemberian pelayanan. (e) Meningkatnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Menginventarisasi/mengidentifikasi jenis pelayanan yang dapat di elektronisasikan..
2. Pembuatan rumusan kebijakan, regulasi & aturan otomatisasi di instansi.
3. 3.Merancang sistem aplikasi untuk masing-masing pelayanan.
4. 4.Identifikasi permasalahan & evaluasi implementasi E-Gov di beberapa departemen,
5. lembaga non departemen dan beberapa pemda.
Kajian/ Penerapan Sistem Reward & Punishment; Terwujudnya sistem reward and punishment yang adil dan proporsional dalam melaksanakan pelayanan publik. Sehingga dapat mendorong terjadinya: 1Memotivasi pegawai pelaksana tugas pelayanan publik. 2.Meningkatkan kinerja aparat pelaksana pelayanan publik. 3.Meningkatkan insentif aparat pelaksana pelayanan publik. Indikator capaian hasilnya adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung Penerapan Sistem Reward & Punishment. (b) Meningkatnya kinerja aparat pelaksana tugas pelayanan publik. (c) Meningkatnya kesejahteraan pegawai sesuai tingkat prestasi yang diraih. (d) Meningkatnya disiplin pegawai. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Mengadakan pendataan dan inventarisasi pelayanan publik yang memperoleh pendapatan.
2. Mengadakan kajian&analisis sistem reward and punishment aparat pelaksana pelayanan publik.
3. Membuat rancangan jenis-jenis penghargaan dan insentif, pejatuhan sanksi hukum dalam pelayanan publik.
4. Memantau dan mengevaluasi implementasi sistem reward and punishment dalam pelayanan publik.
Perbaikan Sistem Rekruitment Pegawai; Tujuannya: (a) adanya CPNS yang sesuai dengan kebutuhan organisasi dan formasi yang tersedia. (b) Penyempurnaan sistem rekruitmenCPNS melalui penyeleksian yang terencana, sistematik, transparan, non deskriptif, adil dan akuntabel. Indikator capaiannya adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung Perbaikan Sistem Rekruitment Pegawai. (b) Tertibnya penyelenggaraan CPNS tanpa adanya katebelece dan praktek KKN. (c) Diperolehnya CPNS yang berkualitas. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1.Mengadakan evaluasi penyelenggaraan penyeleksian CPNS selama ini.
2.Menyiapkan peraturan pengganti sistem rekruitmen CPNS.
3.Mengadakan sosialisasi sistem rekruitmen CPNS.
4.Mengembangkan sistem rekruitmen dengan menggunakan sistem elektronik.
5.Memantau dan melaporkan pelaksanaan rekruitmen CPNS.
Perbaikan Sistem Penggajian / Remunerasi PNS; Tujuannya adalah: Terwujudnya sistem penggajian/remunerasi PNS berdasarkan merit system, bobot jabatan dan prinsip equal work for equal pay. Sehingga dapat untuk : 1.Memotivasi pegawai pelaksana tugas pelayanan publik. 2.Meningkatkan kinerja aparat pelaksanai pelayanan publik. 3.Meningkatkan insentif aparat pelaksana pelayanan publik. Indikator capaiannya adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung Perbaikan Sistem Penggajian / Remunerasi PNS. (b) Adanya sistem penggajian / remunerasi yang sesuai dengan bobot tugas dan tanggung jawab PNS. (c) Meningkatnya kesejahteraan PNS. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Mengadakan pendataan dan inventarisasi sistem penggajian yang berlaku di dunia usaha dan negara tetangga.
2. Mengadakan evaluasi sistem penggajian dan remunerasi yang berlaku saat ini.
3. Menyiapkan kajian akademis & peraturan pengganti sistem penggajian dan remunerasi CPNS.
4. Mengadakan sosialisasi sistem penggajian dan remunerasi PNS.
5. Memantau dan melaporkan pelaksanaan sistem penggajian dan remunerasi yang baru.
AKUNTABILITAS (accountability): ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas lembaga publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat, dan apakah pelayanan tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhny. A good synonym for the term accountability is answerability. An organisation must be answerable to someone or something outside itself. When things go wrong, someone must be held responsible. (Starling, 1998:164)
JENIS-JENIS AKUNTABILITA, (Stewart, 1989); Policy Accountability, akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat; Program Accountability, akuntabilitas atas pencapaian tujuan/hasil dan efektifitas yang dicapai; Performance Accountability, akuntabilitas terhadap kinerja atau pelaksanaan tugas sebagai pelayan masyarakat; Process Accountability, akuntabilitas atas proses, prosedur atau ukuran yang layak dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan. ;Probity and Legal Accountability, akuntabilitas atas penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang disetujui atau ketaatan terhadap undang-undang yang berlaku.
KINERJA (performance): Hasil akhir (output) organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, transparan dalam pertanggungjawaban, efisien, sesuai dengan kehendak pengguna jasa organisasi, sesuai dengan visi dan misi organisasi, berkualitas, adil, serta diselenggarakan dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Kinerja (menurut Pedoman LAKIP dari LAN): Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi.
INDIKATOR KINERJA; Efisiensi: Perbandingan antara input dan output, untuk mengukur bagaimana organisasi memanfaatkan faktor-faktor produksi; Efektivitas: Apakah tujuan organisasi tercapai? Terkait dengan rasionalitas teknis dan misi organisasi; Keadilan: Mempersoalkan distribusi dan alokasi layanan; Daya tanggap (responsivitas): Apakah layanan umum sudah memenuhi harapan masyarakat; Produktivitas: Apakah aparat dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan misi organisasi; Kualitas layanan: Apakah organisasi pemerintah dapat melaksanakan layanan publik yang memudahkan dan memberi kepuasan kepada masyarakat.
PERATURAN TENTANG PENILAIAN KINERJA; Inpres No.7 tahun 1999 tentang AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah); Seluruh instansi pemerintah harus mempertanggungjawabkan tugas pokok dan fungsinya; SK Kepala LAN No.589/IX/6/1999: Pedoman Penyusunan LAKIP; untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja instansi pemerintah; SK Kepala LAN; No.239/IX/6/8/2003: Perencanaan strategis harus berorientasi kepada hasil. Renstra (Rencana Strategis) dibedakan dengan Renja (Rencana Kerja).

Bagaimana Penerapannya Di PEMDA
Untuk menstimulant lokakarya ini perlu merefleksi kinerja SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten dengan perspektip sebagai berikut:
1. Refleksi menejemen SKPD dalam perspektip ekonomi; Hal ini penting untuk: (a) Memperoleh gambaran apakah penggunaan sumber daya / aset (Manusia, Gedung, Peralatan dll) dikelola secara hemat atau tidak? (b) Memperoleh informasi apakah SKPD yang ada telah mematuhi peraturan per undang undangan yang berkaitan dengan kehematan dan effisiensi.
2. Refleksi effisiensi menggunakan dasar value for money (VFM); Hal ini penting untuk memperoleh informasi: (a) Apakah pelayanan publik yang diberikan tepat sasaran? (b) Apakah terjadi peningkatan mutu kualitas pelayanan? (c) Apakah biaya pelayanan murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources? (d) Apakah alokasi alokasi belanja lebih berorientasi pada kepentingan publik? (e) Apakah ada peningkatan public awarness sebagai akar pelaksanaan pertanggung jawaban publik?
Untuk refleksi tersebut menggunakan indikator standar universal sebagai berikut:
1. Efisiensi: Perbandingan antara input dan output, untuk mengukur bagaimana organisasi memanfaatkan faktor-faktor produksi
2. Efektivitas: Apakah tujuan organisasi tercapai? Terkait dengan rasionalitas teknis dan misi organisasi
3. Keadilan: Mempersoalkan distribusi dan alokasi layanan
4. Daya tanggap (responsivitas): Apakah layanan umum sudah memenuhi harapan masyarakat
5. Produktivitas: Apakah aparat dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan misi organisasi
6. Kualitas layanan: Apakah organisasi pemerintah dapat melaksanakan layanan publik yang memudahkan dan memberi kepuasan kepada masyarakat.
Out-put dalam tindak lanjut lokakarya bagi kepala kepala SKPD di Kabupaten Sleman adalah kemampuan MERANCANG MANAJEMEN KERJA yang menghasilkan:
1. Kalitas pelayanan prima (Tepat, Cepat, Berkualitas, nyaman, dan murah bagi warga masyarakat).
2. Mampu memberi reward and punishment bagi karyawannya.
3. SKPD nya mampu memberi kontribusi terhadap PAD.
4. Performance SKPD yang dipimpinnya dapat memberi kontribusi langsung terhadap visi misi kepala daerah, RPJMD dan RPJPN.