Rabu, 20 Oktober 2010

Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada [1]

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)[2]

Prediksi Konflik Pemilukada

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mempredikasikan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar secara serentak pada 2010 berpotensi timbul banyak konflik. ''Pilkada 2010 marak konflik. BADAN Pengawas Pemilu (Ba-waslu) memprediksi potensi konflik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) lebih besar dibandingkan dengan pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres lalu. Hal ini disebabkan tingkat emosional dan rasa fanatisme masyarakat lebih tinggi kepada salah satu calon kepala daerah. "Isu putera daerah dan fanatisme warga daerah kepada calonnya sangat tinggi, ini menjadi indikator terjadinya konflik." jelas anggota Bawaslu Eka Cahya Widodo kepada Rahul Merdeka.[3]

Fakta konflik dalam proses demokrasi yang sampai pada formulasi perilaku kekerasan dan destruktip, sebagian orang mengatakan, dengan meminjam istilah Geertz, Indonesia tengah mengalami involusi demokrasi, sebuah periode keterbelakangan demokrasi. Kondisi ketika organ Negara sepertinya sudah tak mampu lagi mengurus rakyatnya, partisipasi warganegara pun sedemikian rendahnya, hanya terbatas pada ruang-ruang politik semata. Jamaknya state auxiliary agencies juga menjadi pertanda, ketidak mampuan Negara dalam melakukan pengurusan segala kepentingan Negara, termasuk pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara. Hal ini terjadi di Indonesia sejak kemerdekaannya diploklamiskan pada 17 Agustus 1945. Walaupun sejak keluarnya Surat Sebelas Maret tahun 1966 dari Presden Soekarno kepada Soeharto terjadi adanya kestabilan politik secara semu. Dianggap semu karena hampir seluruh aspirasi politik warga negara ”dibungkam” dalam sistem politik tunggal Orde Baru.

Ketika rezim Orde Baru ”tumbang” tahun 1988, terjadi embrio redemokratisai yang dimulai dengan berkembangnya semangat reformasi. Sayangnya embrio redemokratisiasi ini hanya mampu menciptakan keterbukaan politik di tingkat permukaan. Itu pun hanya sekedar didominasi minoritas elite, rakyat kebanyakan tetap saja belum mempunyai kesadaran politik sebagai warganegara yang berkedaulatan pada rakyat. Akibatnya sebagai warga masyarakat kelas bawah hanya sekedar menjadi mesin pendulang suara waktu pemiliahan umum baik untuk prseiden, legislatip sampai pemilihan umum kepala daearah.

Sementara partai politik yang tumbuh dan berkembang pada era reformasi, boleh dibilang, masih cenderung terkonsentrasi mengurus partai dan administrasi kelembagaan partai. Perhatian dan pemberdaaan poltik terhadap konsituennya masih belum maksimal. Padahal dalam kondisi dan situasi politik seperti sekarang ini anggota masyarakat yang sudah mulai tertarik dan aktip menjadi konsituen partai politik belum cukup dibekali dengan berbagai kemampuan berpolitik. Di mana kebebasan, keterbukaan dan meluasnya demokrasi belum menjadi bagian dari modal utama partai politik dalam berperan aktif melakukan persambungan dan silaturrahmi politik. Oleh karena itu berbagai ekpresi konflik ”politik” yang belum matang akan keluar secara ’brutal” pada berbagai tahapan pemilihan umum. Berdasarkan Peraturan KPU No 20 Tahun 2008, tahapan pemilu legislative terdiri dari 9 tahapan, yaitu; Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, Pendaftaran Peserta Pemilu dan Penetapan Peserta Pemilu, Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, Pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, Masa kampanye, Masa tenang, Pemungutan dan penghitungan suara, Penetapan hasil Pemilu, Sumpah/Janji DPRD Prov, DPRD Kab/kota. Titik rawan yang akan menjadi ajang konflik terbuka adalah pada tahap masa kampanye, penghitungan suara dan pada penetapan hasil pemilu. Alagi kalau secara teknis KPUD tidak mempesiapkan dengan baik akan pengorganisasiannya dan intrumen teknisnya, akan menjadi sasaran utama “amuk massa” bagi para konsituen yang terkeceakan dengan proses dan hasil pemilu kada. Fakta emunjukan bahwa energy konflik pmilukada akan teralihkan sasarnnya kepada KPUD dan berbagai elemen yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilukada tersebut.

Kurangnya Upaya Pendidikan Politik Warga

Tingkat kesadaran dan pemahaman politik sebagian besar masyarakat kita sangat rendah, kalangan keluarga miskin, petani, buruh, nelayan dan sebagainya belum cukup memiliki kesadaran politik yang tinggi karena disibukkan persoalan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermaknapolitik. Setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk dalam hal pendidikan politik. Pendidikan politik kita lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh penguasa dan elite politik.

Akhirnya rakyat merasakan adanya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan, apalagi sampai saat ini hasil proses melihan langsung justru menjadi pendukung fakta empiris Negara belum kunjung melakukan pemajuan kesejahteraan sesuai harapan warga. Kondisi ini bisa terjadi sebagai akibat lemahnya desakan dan dorongan politik masyarakat terhadap elite politik sebagai operator Negara. Atau realitas politik yang memang tidak mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan warganegara, namun hanya sibuk mempertahankan kekuasaannya dan menanggapi berbagi reaksi lawan lawan poltiknya. Maka hakikat Negara yang reason d’etre-nya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganegara belum terwujud.

Realitas politik belum dibangun untuk mengarah pada pemajuan hak-hak warganegara. Proses politik yang ada belum mendorong sebuah masyarakat politik yang kuat, yang mampu mendesakkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Masyarakat politik yang kuat tidak tercipta sekadar dengan pemahaman rakyat atas proses atau mekanisme politik yang harus dilaluinya. Melainkan, terlebih dahulu mereka harus memahami hak-haknya sebagai warganegara, baik hak politik maupun hak sosialnya. Relasi Negara—yang merupakan realitas politik—dengan warganegara harus ditata kemabali dengan pendekatan hak, agar supaya realitas politik terus mengarah pada pemenuhan hak-hak warganegara. Melalui perspektif hak, kiranya ada penegasan bahwa hak-hak warganegara diakui, dijamin, dan akan dimajukan, tidak sekedar tertulis di konstitusi. Harapannya, ada sebuah pendekatan baru yang dibangun untuk menyongsong Pemilukada. Rakyat tidak hanya diarahkan atau ditingkatkan kesadarannya untuk membangun komitmen politik dengan elite politik. Tetapi dikuatkan pula kemampuan untuk menciptakan sebuah komitmen sosial. Pemilukada tidak lagi sekedar menjadi hajatan rutin atas nama demokrasi, melainkan sebuah moment politik untuk mempertegas kontrak sosial rakyat dan Negara.

Pemilihan umum dan pemilukada yang berlangsung belum menggerakan kesadaran poltik rakyat sebagai warganegara yang memegang kedaualatan. Padahal penggerakan kesadaran politik warga, adalah merupakan realitas politik keberpihakan. Karena pada tataran paradigma politik akan menentukan pada siapa atau kelompok mana, realitas politik akan berpihak. Menurut Marx, negera hanyalah sekedar panitia yang mengelola kepentingan kaum berkuasa secara menyeluruh, karenanya politik sebenarnya berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (Budiman, 1997). Oleh karena itu, upaya penguatan kesadaran politik rakyat menjadi penting, agar rakyat tidak terus-menurus sekedar menjadi objek politik. Akan tetapi berkembang menjadi subjek politik, yang mampu mengarahkan realitas politik untuk berpihak kepada rakyat.

Pendidikan Politik Dengan Perspektip Pemberdayaan Masyarakat

Pendidikan politik pada tingkatan warga yang masih pada tahapan ”memenuhi” kebutuhan dasarnya atau sedang dalam menuju kesejahteraannya, diperlukan metode dan media yang mengakomodir kondisi tersbut. Pendidikan politik yang akhistoris atau yang tidak kontekstual dengan kebutuhan warga akan menjadi alat mimpi dan pembiusan masal belaka. Pendidikan politik akan dilecehkan dan akan tidak diterima oleh warga sendiri. Hal ini bisa dimengerti, bagaimana warga bisa mencerna dan memahami hal hal idiologis. ketika perut warga lapar, ketika anak sakit tidak terobati, ketika banyak pengangguran, ketika panghasilan dibawah upah minimum. Apabila pendidikan politik ahistoris dan hanya pada tataran permukaan yang mengungkit emosi emosi kepentingan. Maka yanag akan berkembang adalah politik uang atau politik ”bantuan”. Pemilukada akan menjadi momentum warga pemilih untuk mengharap adanya pembagian uang atau ”bantuan project politik”.

Dengan demikian pendidikan politik yang paling tepat pada saat ini adalah pendidikan politik yang berperspektip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan adalah proses peningkatan daya masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Bukan proses memberi bantuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya namun menghilangkan potensi dan daya masyarakat sendiri. Maka dari itu metode dan media pendidikan politik yang berperspekti pemberdayaan adalah mempunyai dua output. Pertama Output strategis idiologis dan kedua adalah output praktis pragmatis basic need. Ada lima aspek pokok bahasana pendidikan poltik dengan perspektip pemberdayaan yaitu; Pertama; Penggerakan dan peningkatan daya warga dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Kedua; Analisis kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial, ekonomi, politik dan ekosisitem lingkungannya. Ketiga; Peningkatan membangun akses keberbagai pusat pusat sumberdaya yang dapat mendukung kehidupannya. Keempat; partisipasi dalam organisasi rakyat yang dapat menjadi proses berafiliasi dan berganing politik dengan partai poltik. Kelima; Membangun kemampuan dalam kontrol sosial dan berbagai kebijakan publik.

Pendidikan poltik dengan perspektip pemberdayaan masyarakat diperlukan kecerdasan dan kreativitas dalam pengemasan modul dan kurikulum. Modul dan kurikulum pendidikan politik yang terbagus adalah apabila menggunakan media kerja yang langsung menyentuh kepentingan dan kebututuhan warga. Metode yang paling tepat digunakan adalah menggunakan metode pendidikan orang dewasa dengan pendekatan partisipatip. Memang tidak mudah membuat pendidikan poltik dengan perpektip pemberdayaan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan...selamat mencoba.....!

***



[1] Paper bahan diskusi pada acara Peningakatan Pneidikan Politik Masyarakat Oleh KPUD Bojonegpro tgl 20 Oktober 2010

[2] Senior Peneliti IRE Jogjakarta

[3] Diambil dari Batviase.co.id pada Oktober 2010.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Pemberdayaan Masyarakat Lesson Learned Program Kerjasama Public and Government Afair MCL-Exxon Mobil Dengan IRE Dalam Perspektip Kemitraan Penan

Fajar Sudarwo

Penanggulangan Kemiskinan dengan Pendekatan Pemberdayaan

Sejak era reformasi bergulir dan berlakuknya Otonomi Daerah pada tahun tahun 1999, fungsi dasar pemerintah Indonesia disemua tingkatan berubah. Perubahannya pada fungsi melayani dan pembangunan menjadi fungsi memfasilitasi dan pemberdayaan. Pengelolaan fungsi melayani dan pembangunan telah dilaksanakan oleh Rezim Orde Baru lebih dari 32 tahun. Posisi pemerintah pada waktu itu adalah sebagai subyek utama yang mendesign, merencanakan dan melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi pelayanan publik dan pembangunan.[1] Posisi warga masyarakat sebagai obyek untuk dilayani dan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Banyak hal yang telah berhasil secara riil khusunya dalam prestasinya menyediakan berbagai sarana fisik untuk kebutuhan dasar warga dalam hal makan, sandang, kesehatan dan pendidikan. Secara jujur Orde Baru telah mampu merubah kondisi dari kekurangan makan, sandang, pendidikan dan kesehatan menjadi berkecukupan.[2] Namun juga ada berbagai implikasi negatifnya yaitu munculnya perilaku ketergantunga, memanjakan diri, konsumtif dan hidup secara boros.

Pada era reformasi dan Otonomi Daerah, fungsi pelayanan dan pembangunan diganti menjadi fungsi fasiltasi dan pemberdayaan. Fungsi fasilitasi adalah memposisikan pemerintah sebagai fasilitor (pihak yang mempercepat dan memperlancar proses) warga masyarakat untuk mencukupi kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Fungsi Pemberdayaan adalah memposisikan pemerintah sebagai penggerak tumbuh dan berkembangnya vision, power/energi diri, potensi diri (spiritualitas, caracter, knowledge, skill, technology) warga masyarakat agar berdaya dalam menghadapi berbagai gejolak, dinamika dan persoalan global, nasional dan lokal. Sehingga akan terwujud menjadi warga masyarakat yang mandiri dalam meningkatkan kualitas kehidupannya dan mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupannya.

Pengelolaan dan pelaksanaan fungsi fasilitasi dan pemberdayaan jauh lebih sulit dari pada menjalankan fungsi pelayanan dan pembangunan. Sebab program-program fasiltasi dan pemberdayaan secara sepintas tidak populis dan tidak terlalu “menarik” warga masyarakat. Lebih-lebih bagi masyarakat yang sudah terlalu lama mendapat berbagai bentuk pelayanan dan pembanguan yang berupa subsidi dan “bantuan”. Dipihak aparatus pemerintah, juga mengalami kesulitan dalam melakukan perubahan sikap dan perilaku. Perubahan yang paling sulit adalah berubahnya perilaku administratur, birokratis menjadi perilaku sebagai pelancar proses dan technical assistant.

Tantatangan Utama Pemberdayaan Masyarakat

Tantangan utama program pemberdayaan masyarakat secara substansial sama dengaan tantangan nasional pemerintahan Otonomi Daerah, yaitu dalam hal mengatasi dan mengentaskan kemiskinan. Pemerintahan Otonomi Daerah yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun, mengalami ”jatuh bangun” dalam mengatasi dan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya. Ibaratnya bagaikan orang menimba air dari lautan yang tidak pernah terkuras walaupun sudah ditimba setiap hari dengan berbagai peralatan. Ada beberapa hasil penelitaan (termasuk angka dari BPS) menunjukan angka kemiskinan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tidak mengalami pengurangan bahkan ada fluktuasi yang membengkak khusunya pada saat warga terkena krisis sosial ekonomi atau terkena musibah bencana alam.

Penanganan dan program pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan warga, sudah dan sedang terus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Blora bersama berbagai LSM dan Lembaga Bisnis Swasta termasuk MCL-Exxon Mobil dan JOB Pertamina-PetroChina East Java (JOB P-PEJ). Pola penanganannya mengacu kepada pemahaman dan kajian masing masing pihak yang bersumber kepada berbagai analisis, seperti: Pertama, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah “nasib”. Solusi yang dilakukan adalah memberi semacam bantuan Cuma- cuma (caritative) tanpa sarat apapun (syaratnya hanya “miskin). Kedua, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah “lemahnya sumber daya manusia” dan keterbatasan sarana dan prasarana. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan program-program pembangunan baik fisik maupun non fisik. Ketiga, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah adanya sistem atau struktur sosial ekonomi yang meminggirkan warga kecil untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Solusi yang dilakukan adalah mereformasi dan melakukan restrukturisasi berbagai sistem yang dapat memberi akses dan kesempatan warga miskin untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.[3] Keempat, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah tidak/kurang berdayanya manusia menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang berkembang, baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan program program pemberdayaan masyarakat. [4] Kelima, pemahaman bahawa sumber kemiskinan adalah adanya penafsiran nilai dan budaya yang menghambat percepatan warga untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan revitalisasi nilai budaya dalam perspektif re-intepretation yang lebih mendukung warga miskin untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. [5]

Lima pemahaman dan strategi di atas memang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bersama stakeholder-nya. Secara manajerial dan kualitas penangannya untuk program-program diatas memang masih dalam proses penyempurnaan. Hal ini mengingat para apartus pemerintahan maupun warga masyarakat masih pada masa transisi perubahan dari kebiasaan melakukan kerja-kerja pelayanan dan pembangunan menjadi kerja kerja yang bersifat ”fasiltasi” dan pemberdyaan. Oleh karena itu sangat penting adanya berbagai masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan strategi dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program program pemberdayaan masyarakat.

Hasil kajian IRE selama lebih dari dua tahun mencermati desa-desa di Wilayah kerja MCL-ExxonMobil di khususnya yang berada lapangan Blok Cepu memperoleh lesson learned bahwa ada perubahan karakter dan pemahaman ”miskin” bagi warga masyarakat. Perubahan ini sama dengan kondisi secara umum di masyarakat Indonesia. Jadi perubahan ini tidak hanya terjadi di wilayah Kabupaten Bojonegoro[6]. Perubahan yang subtansial sedang terjadi adalah; Pertama; Ada pergeseran pemahaman stereotype tentang “miskin” bagi warga masyarakat. Label miskin yang dilekatkan kepada warga bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap “aib” atau hal yang perlu disembunyikan. Label miskin justru dianggap sebagai identitas yang dapat menjadi persyaratan social administrasi untuk mendapat hak menerima bantuan. Perubahan ini mempunyai pengaruh terhap berbagai program pengentasan kemiskinan.[7] Kedua; fakta kemiskinan ada pergeseran dari kosentrasi kepada pemenuhan kebutuhan primer menjadi kosentrasi pada pemenuhan kebutuhan sekunder. Pengertian pemahaman kebutuhan primer pada paper ini adalah kebutuhan yang berhubungan dengan kepentingan untuk mempertahankan hidup secara fisik (makan, sandang, papan). Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang berhubungan dengan pemenuhan berbagai keinginan sesuai dengan wacana yang dimiliki.[8] Ketiga; ada perubahan sumber asupan kebutuhan dasar dari asupan alam ke asupan “rekayasa”. Warga desa sebagaian besar beralih dari perilaku ketergantungan terhadap asupan alam (kelangkaan beras diganti dengan ubi, jagung dll) menjadi ketergantungan terhadap asupan berbagai rekayasa (kelangkaan beras diganti dengan indomi). Implikasinya terhadap berbagai perubahan berbagai persoalan kesehatan warga.[9] Keempat, ada perubahan fakta dari ketidak tercukupinya kehidupan pada tingkat local menjadi fakta dari ketertinggalan terhadap berbagai perubahan gaya kehidupan global. Kelima, ada perubahan perilaku manajemen keluarga dari diversifikasi sumberdaya yang ada berubah menjadi ketergantungan terhadap industri imitasi. Artinya ada perubahan perilaku dari reproduksi di dalam rumah menjadi perilaku konsumtif terhadap berbagai barang industri produk instan dan imitasi yang kualitasnya jauh dari standard baku kesehatan manusia.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Pada era globalisasi ekonomi, persoalan kemiskinan menjadi semakin komplek dan meluas. Pengaruh resesi negara lain atau benua lain bisa berimbas terhadap munculnya kemiskinan di masyarakat tertentu. Begitu juga pada wilayah kerja tempat operasi pengambilan minyak bumi yang dikeloa perusahaan internasional. Niscaya pada wilayah tersebut akan dimasuki perilaku ekonomi global yang akan akan mempengaruhi perilaku ekonomi dan kehidupan lokal. Oleh karena MCL, IRE, dan Pemerintah Daerah beserta kelembagaan desa dalam penanggulangn kemiskinan di wilayah tersebut menggunakan startegi sistemik yang berkesinambungan dan mampu menggerakan seluruh elemen yang ada.

Setrategi sistemik pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja MCL mengacu kepada perkembangan kerja pencarian dan pengambilan minyak. Dimana pada lima tahun pertama akan mengalami pelimpahan berbagai project dan bantuan untuk mendukung pekerjaan di tahap produksi awal sampai pada produksi puncak. Pada lima tahun kedua dan ketiga akan mulai ada penurunan volume berbagai pekerjaan/project namun akan ada peningkatan jumlah bagi hasil produksi minyak pada tingkat puncak produksi melalui APBD Kabupaten yang dapat menopang pengentasan kemiskinan. Pada lima tahun keempat dan kelima akan terjadi penurunan produksi minyak yang implikasinya akan ada penurunan jumlah bagi hasil yang diterima masyarakat melalui APBD kabupaten. Pada masa lima tahun keempat dan selanjutnya diharapkan warga sudah berdaya untuk menjaga kualitas kehidupannya. Pada lima tahun keenam dan masa depan masyarakat di lokasi kerja MCL-ExxonMobil akan mempunyai ketahanan pemberdayaan dirinya untuk menjaga kualitas kehidupannya. Dengan demikian MCL bersama Pemerintah Daerah beserta lembaga-lembaga Non Pemerintah yang didampingi IRE Jogjakarta mempunyai acuan untuk mewujudkan kriteria manusia, keluarga, desa dan masyarakat yang berdaya di wilayah kerja MCL sebagai berikut:

  1. Indikator manusia/warga berdaya adalah: Sesuai dengan mandat nilai-nilai adiluhung para pendiri bangsa yang terkandung dalam filosofi character building manusia Indonesia, manusia/warga berdaya adalah; (a) Manusia yang mempunya karakter ”swa-karsa”, yaitu manusia yang mempunyai visioning, kehendak dan pasi kehidupan yang dituangkan dalam berbagai ide-ide kreatif dan inovatif untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kehidupannya.(b) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-karya”, yaitu manusia yang mempunyai karya untuk merealisasikan ide-ide kreatif dan inovasinya. (c) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-dana”, yaitu manusia yang mempunyai kemampuan pendukung untuk menopang karya-karyanya. (d) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-daya”, yaitu manusia yang mempunyai ketahanan untuk menanggung berbagai beban dan resiko yang menerpa kehidupannya. (e) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-sembada”, yaitu manusia yang mempunyai kualitas diri yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan keluarga, masyarkat dan negara.
  2. Indikator keluarga berdaya adalah: Sesuai dengan mandat konsesus nasional dalam perspektif perencanaan keluarga berencana, maka indikator keluarga berdaya adalah; (a) Keluarga yang mempunyai kemampuan mencukupi kebutuhan dasar dalam hal; makanan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. (b) Keluarga yang mempunyai kemampuan mengakses ke berbagai pusat-pusat sumberdaya yang dapat mendukung perkembangkan kualitas kehidupan keluarga. (c) Keluarga yang mempunyai kemampuan mewariskan lapangan kerja dan berusaha untuk generasi berikutnya. Tanpa harus menggantungkan diri pada sektor pekerjaan sebagai buruh atau pegawai. (d) Keluarga yang mempunyai kemampuan dalam berpartisipasi dan memberi kontribusi terhadap pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. (e) Keluarga yang mempunyai kemampuan melakukan kontrol sosial dan kontrol kebijakan yang ada hubungannya dengan kehidupan keluarganya.
  3. Indikator desa berdaya adalah; Sesuai dengan UU 32/2004 dan berbagai peraturan dan perudang undangan yang berhubungan dengan desa, termasuk PNPM Mandiri Perdesaan, maka indikator desa berdaya adalah; (a) Desa mempunyai sistem informasi dan dokumentasi kependudukan dan potensi desa yang cepat mudah di update dan diakses. (b) Desa mempunyai perencanaan pembangunan jangka menengah desa sebagai acuan perencanaan tahunan desa, perencanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, dan rencana kerja tahunan desa. (c) Desa mempunyai rencana tata ruang dan tata wilayah desa sebagai acuan perencanaan tata desa. (d) Desa mempunyai minimal delapan peraturan desa untuk tata kelola pelayanan prima. (e) Desa mempunyai Badan Usaha Milik Desa yang mampu menjadi sumber pendanaan kelembagaan dan pembangunan desa.
  4. Indikator masyarakat berdaya adalah; Sesuai dengan era globalisasi dan nilai-nilai universal dinama acuan karakter masyarakat adalah sebagai civil society atau masyarakat madani, maka indikator masyarakat adalah; (a) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai namusia demokratis, yaitu masyarakat yang menghormati proses partisipasi dan pengambilan keputusan secara bersama. (b) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai manusia yang menghormati Hak Asasi Manusia, yaitu masyarakat mempunyai kesadaran akan hak hak dasarnya dan sekaligus mampu mempertahankan cara non kekerasan. (c) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai masyarakat pluralis, yaitu masyarakat yang menghormati berbagai kultur budaya warga dunia sebagai manusia yang beradab. (d) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai penjaga terjadinya good governance, yaitu ada tata pengaturan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mendukung terjadinya masyarakat yang adil dan makmur. (e) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai penjaga pelestarian ekosisitem dan alam lingkungan.

Positioning dan Kapasitas Kontribusi Program kerja sama IRE dan MCL dalam Penanggulangan kemiskinan.

Positioning dan Kapasitas Program kerja sama IRE dan MCL dalam proses penanggulangan kemiskinan adalah sebagai daya stimulant dan pendukung Pemerintah Daerah beserta kelembagaan desa untu memberdayakan manusia, keluarga, desa dan masyarakat. Strategi yang dipilih adalah melakukan “Pendampingan dan Konsultasi Pemberdayaan Kepemimpinan dan Kelembagaan Desa di wilayah kerja MCL. Beberapa program yang telah dilakukan sejak akhir tahun 2007 adalah: Pertama, program pembangunan desa yang berbasis kawasan (cluster). Program ini adalah memfasilitasi dan menstimulant kerja sama antar desa untuk membangun fasilitas umum (Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi) yang direncanakan dan dilaksanakan bersama antar desa dalam satu cluster. Hasil program tersebut adalah mampu 21 infrastruktur penunjang kegiatan admin Desa, 19 Infrastruktur Kesehatan, 18 infrastruktur Pendidikan dan 17 Infrastruktur sosial dan ekonomi. Program tersebut telah mampu menggerakan swadaya sebesar Rp. 1,710,203,000 (satu milyar tujuh ratus sepuluh juta duaratus tiga ribu rupiah)

Kedua, program penguatan kapasitas dan kemampuan pimpinan kelembagaan desa untuk menangani bencana banjir dengan pendekatan involvmen evacuation. Program ini mendorong dan mengembangkan manajemen penanggulangan bencana banjir yang berbasis kepada warga masyarakat sekitar bencana. Mengaktualisasi local value, local skill and local technology masyarakat sekitar bencana untuk menjadi stakeholder utamaa penolong warga yang menjadi korban. Jumlah desa yang menjadi peserta program ini adalah 12 kecamatan beserta 112 desa.

Hasil program ini adalah adanya pengaturan dan SOP desa dalam penganan dan penggulangan bencana banjir berbasis masyarakat. Total swadaya setiap desa ketika menagani bencana bisa mengatasi lebih dari 80% dari seluruh kebutuhan para korban dalam hal kebutuhan pokok. Yang paling berat ditangani dari swadaya adalah perbaikan fasilitas umum yang rusak akibat banjir.

Ketiga, program penguatan kapasitas pimpinan kelembagaan pendidikan dan desa untuk merencanakan, mengelola dan merawat fasilitas pendidikan. Program ini mendorong dan mengembangkan manajemen pengelolaan fasilitas pendidikan yang berbasis desa. Pimpinan kelembagaan pendidikan dan pimpinan desa bersama sama menggerakan warga untuk mengidentifikasi kebutuhan, merencanakan, melaksanakan dan merawat berbagai fasilitas pendidikan secara transparan dan partisipatip. Program ini telah mampu membangun 16 unit TK dengan total swadaya yang bisa terkumpul sebesar Rp 92,517,000 (sembilan puluh dua juta lima ratus tujuh belas ribu rupiah)

Keempat, program pengembangan jaringan kerja sama antar pimpinan desa pada 15 desa di wilayah Banyuurip untuk melakukan proses saling belajar, saling tukar pengalaman, dan saling membantu penyelesaian persoalan persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintah dan pembangunan desa. Hasil program ini adalah adanya forum informal 15 desa yang secara rutin malakukan komunikasi dan konsolidasi untuk saling belajar dan tukar pengalaman mengelola pembanguan dan pemerintahan desa.

Kelima, program peningkatan kapasitas pimpinan kelembagaan desa secara intensif. Program pendampingan desa ini pada jangka panjang adalah untuk mendukung pemberdayaan desa dalam proses mempercepat pengembangan pemberdayaan manusia, keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan warga masyarakat di desa-desa tersebut dan untuk jangka menengah (lima tahun pertama) adalah untuk; (1). Mendukung percepatan optimalisasi fungsi kelembagaan desa khususnya dalam pemberdayaan kelembagaan sosial (kesehatan, pendidikan dan ekonomi) untuk memberi pelayanan kebutuhan dasar warga masyarakat desa yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; (2) Mendukung percepatan kerjasama antar desa dan antar kelembagaan desa dan dengan pihak-pihak lain baik swasta maupun pemerintah yang ada hubungannya dengan program pembangunan dan pengelolaan pemerintahan desa.

Fokus kegiatan pada tahun 2009/2010 adalah pada delapan desa di kecamatan Ngasem dan Kecamatan Kalitidu, yaitu: (1). Menggali, mengkaji, memprofile isi desa (in-depth village mapping) secara mendalam dan menyeluruh termasuk local content. serta persoalan, konflik dan jaringannya. Maksud local content tersebut adalah potensi dan keunggulan lokal khususnya dalam hal ekonomi yang meliputi sumberdaya alam, sumber daya manusia (termasuk yang pernah mendapatkan pelatihan dari MCL), sumberdaya kelembagaan (Lembaga lembaga bisnis, termasuk koprasi, KUD dll) dan produk unggulan. (2) Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen tata kerja, dan quality control untuk pemberdayaan kepemimpinan dan kelembagaan desa agar mampu mengelola pemerintahan dan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, (3). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen untuk pengelolaan dan tata ruang pembangunan desa. (4). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen untuk capacity building bagi organisasi masyarakat sipil agar lebih mampu memberi kontribusi kepada kualitas kesejahteraan warga dan mampu menghidupi dirinya. (5). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem, instrumen tata kerja dan quality control untuk pelayanan publik ditingkat desa, khususnya dalam hal kesehatan, pendidikan dan ekonomi. (6) Mereduksi atau mengelola potensi konflik menjadi bagian dari pola interaksi yang konstruktif dan mendorong terciptanya pola komunikasi serta relasi yang sehat antara pemerintah desa dan masyarakat setempat dengan MCL.

Proses dan Metode: Pendampingan terhadap masyarakat khususnya untuk penguatan kepemimpinan dan kelembagaan desa memerlukan waktu yang relatif panjang, ketekunan, kredibilitas, konsisten serta “seni berkomunikasi”. Sebab para pemimpin dan tokoh desa adalah merupakan warga yang sangat dinamis, agak politis, menyimpan agenda kepentingan pribadi, cepat berubah dan mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang dianggapnya lebih memberi keuntungan pragmatis dirnya. Oleh karena itu untuk mendampingi mereka harus menggunakan pendekatan community engagement dan social psychology dalam kurun waktu yang tidak pendek. Sebab dalam pendampingan proses pemberdayaan tidak menggunakan kekuatan otoritas jabatan (seperti relasi antara camat dan kepala desa), juga tidak menggunakan kekuatan bantuan (seperti relasi antara funding dan penerima bantuan), juga tidak menggunakan kekuatan patron client (seperti relasi antara ketua adat dengan warga). Oleh karena itu telah dilakukan assessment secara mendalam, detil dan menyeluruh tentang kondisi desa sebagai bagaian awal pelaksanaan program ini.

Metode Proses Pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJPM) Desa dan turunannya seperti Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa dengan mengacu pada PP No 72/2005 dan Permendagri No 38/2007 serta aturan terkait lainnya dan Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM) yang mengacu pada Permendagri No 51/2007 yang meliputi 3 pilar kegiatan, yaitu: (1) Penataan Ruang Partisipatif, (2) Penetapan dan Pengembangan Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa (PPTAD) (3) Penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan; Proses pembuatan program RPJPM dan PKPBM tersebut dimulai dengan penggalian visioning, ide, harapan dari berbagai forum, organisasi kemasyarakatan yang selama ini langsung mengajukan proposal dukungan program ke MCL dengan mengatasnamakan warga masyarakat. Metode yang digunakan dengan cara individual, informal, dan legal formal. Berbagai forum dan organisasi kemasyarakatan tersebut akan menuangkan visioning, ide, dan peran sertanya dalam pelaksanaan program, dan resource contribution mereka yang dituangkan dalam dokumen RPJPMDesa dan PKPBM. Proses pembuatan RPJPMDesa dan PKPBM juga akan melibatkan secara aktif pihak pemerintahan kecamatan dan pemerintahan Kabupaten agar menyambung/sejalan dengan RPJPM Kabupaten. Sehingga dengan itu akan ada jaminan bahwa pihak kabupaten mendukung secara riil RPJMDesa dalam bentuk merespon realisai usulan desa dari MUSRENBANGDES tahunan secara signifikan. Hasil program ini adalah: (1) Dokumen data kependududukanm potensi desa yang dapat diupdate dan diketahui secara cepat dengan metode web-click sistem di 8 desa. (2) Dokumen profiel desa dan set up manajemen aset desa di 8 desa. (3) Dokumen Perencanaan Jangka Panjang dan Menengah Desa (RPJMDes) di 8 desa. (4) Rencana tata ruang dan tata wilayah di dellapan desa lengkap panduan teknis untuk pembanguan desa yang memerlukan ruang dan tempat.

Posisi kerja sama IRE dan MCL dengan program kerja sama IRE dan UNDEF.

Lesson learned and best practices dari Program kerja sama IRE dan MCL adalah merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya program kerja sama IRE dan UNDEF dalam menanggulangi kemiskinan di wilayah MIGAS dan tambang. Dimana penanggulangan kemiskinan di wilayah tersebut membutuhkan pendekatan kemitraan dari pihak pemerintah daerah, Perusahaan, BP Migas, Pemerintah Desa dan Organisasi Masyarakat Sipil. Fokus kemitraan ini adalah berfokus kepada penguatan masyarakat untuk memberdayakan dirinya yang disupport dan distimulant dari berbagai pihak secara partisipatif, kreatif dan inovatif secara integrated dan berkelanjutan.

Fokus kerja sama IRE, MCL, Pemerintah daerah dan Kelembagaan Desa yang telah berjalan selama ini adalah berfokus kepada pengembangan sistem kelembagaan dan kepemimpinan kelembagaan desa yang mampu menyediakan sistem sebagai berikut: Pertama, ada sistem dan data yang menjamin terjadinya kemudahan berbagai pihak untuk mengakses berbagai informasi yang berhubungan dengan penanggulangan kemisikinan secara cepat, tepat dan mudah. Sehingga mempermudah seluruh stakeholder yang akan melakukan dukungan terhadap pemberdayaan warga masyarakat. Pihak-pihak yang potensi mampu menyediakan kepada warga pelayanan kesehatan yang cepat, murah, berkualitas. Kedua, ada sistem dan data tentang perencanaan pembangunan jangka panjang desa yang dapat diakses secara cepat mudah dan valid. Ketiga, ada pengaturan yang menjamin terjadinya kerjasama stakeholder dengan kelembagaan desa untuk mewujudkan kemudahan warga memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Keempat, ada pengaturan desa dan kapasitas pimpinan kelembagaan desa yang mempermudah warga dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan hak haknya sebagai warga negara.

Fokus program kerja sama IRE, UNDEF adalah sebagai media untuk menggalang dan memperkuat kemitraan dari semua elemen stakeholder agar ada sinergistas antar potensi dan dukungan dari semua elemen stakeholder. Hal ini penting mengingat upaya penanganan penanggulangan kemiskinan memerlukan pola kerja sama yang integrated, berkesinambungan dan dibutuhkan kemampuan berkreasi dan berinovasi dari berbagai pihak. Program ini juga akan memberi kontribusi terhadap proses pendokumentasian dan sosialisasi lesson learned and bast practices dari kerja sama antar stakeholder yang mampu berkreasi dan berinovasi untuk menanggulangi kemiskinan pada masyarakat di wilayah Migas dan Tambang. Sehingga dapat menjadi salah satu rujukan berbagai pihak baik di tingkat nasional, regional maupun global yang berkepentingan dalam penanggulangan kemiskinan di wilayah Migas dan tambang. ***



[1] Rezim Orde Baru memiliki GBHN yang dielaborasi menjadi Perencanaan Lima Tahunan sebagai acuan utama pemerintah dalam mengelola dan melaksanakan pelayanan publik dan pembangunan nasional.

[2] Sebelum Orde Baru banyak kasus; Anak kecil menangis minta makan, saat ini banyak kasus anak menangis dipaksa untuk makan. Banyak anak desa yang tidak mempunyai gedung sekolah dasar, saat ini banyak gedung sekolah dasar yang tidak ada muridnya. Dokter dan para medis sudah hampir merata di setiap kecamatan bahkan desa. Pakaian tidak lagi hanya dibeli pada waktu hari raya, namun bisa dibeli kapanpun warga suka.

[3] Pemerintah Kabupaten Bojonegora sejak kepemeimpinan Bapak Suyoto telah melakukan berbagai terobosan untuk mengakseskan warga ke permodalan, pemasaran dan alat produksi pertanian termasuk peternakan.

[4] Keseriusan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro secara kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat dibuktikan adanya instansi atau divisi yang khusus menangani pemberdayaan masyarakat mulai dari dari tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa.

[5] Pemerintah Kabupaten Bojonegora sejak kepemimpinan Bapak Suyoto telah melakukan berbagai terobosan untuk menggerkan motivasi dan kinerja para apartusnya mulai dari pelatihan motivasi dengan pendekatan outbond sampai kerangka berpikir yang berubah dari ”kepala SKPD” menjadi ”manager”.

[6] Hasil pengalaman menjadi lead consultant pemberdayaan masyarakat kerja sama IRE, MCL dan Pemerintah Desa di sekitar Lapangan Banyuurip selama lebih dari dua tahun.

[7] Banyak kasus warga yang meminta didaftar sebagai warga miskin untuk memperoleh BLT, Raskin, Askeskin dll.

[8] Banyak warga penerima BLT, Raskin yang secara administratif memiliki label miskin namun menggunakan HP, TV bahkan sepeda motor, dan istrinya menggunakan peralatan perias wajah dll

[9] Warga jarang sekali yang bersedia memasak sendiri dengan nasi ubi, nasi jagung namun lebih suka memasak mie instant.

Jumat, 15 Oktober 2010

Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pengelolaan Dana Publik

Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pengelolaan Dana Publik

Dari Pengalaman Langsung Seorang Fasilitator Warga

Seri Kasus Program CSR MCL-Exxon Mobil

Di Wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Tuban Propinsi Jawa Timur

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)

Latar belakang

Pada akhir penghujung tahun 2007, saya sebagai seorang fasilitator pemberdayaan masyarakt desa yang tinggal di Jogjakarta, kedatangan tamu pengurus Asosiasi Pamong Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur. Mereka meminta saya untuk mendampingi Pamong desa yang pada saat itu mengalami keterpurukan kepercayaan baik dari warganya maupun dari berbagai pihak yang berhubungan dengan desa. Kepercayaan terhadap para pamong desa merosot akibat diikutkan dosa dosanya rezim orde baru. Pada waktu kepemimpinan Soeharto dilengserkan dan diganti oleh rezim reformasi dan otonomi daerah. Terjadi eforia untuk menghapus seluruh anasir anasir yang berbau Soeharto. Pamong desa dianggap sebagai anasir Soeharto yang paling bawah. Pamong desa dianggap sangat elitis bias warga akar rumput, tidak demokratis, tidak transparan, tidak acountable dan tidak partisipatip dalam mengelola dana publik. Pamong desa dianggap lebih berperan sebagai ”antek” nya pemerintah dari pada sebagai pembela kepentingan warga. Oleh karena itu beberapa pihak yang berhubungan dengan program program desa tidak melibatkan kepala desa beserta pamong desanya. Nasib pamong yang merosot kepercayaannya sebetulnya tidak hanya terjadi di Kabupaten Bojonegoro saja. Namun juga dialami oleh hampir seluruh pamong desa di Indonesia.

Termasuk diri saya sebagai pekerja fasilitator pemberdayaan masyarakat yang pernah bergabung dengan LSM-Bina Swadaya Jakarta (1986 – 1999) dan SATUNAMA Jogjakarta (1987 – 2006) serta dengan IRE Jogjakarta (2006 sampai sekarang) juga mengalami penurunan kepercayaan terhadap para pamong desa. Memang saya menyaksikan langsung pada waktu itu banyak kegiatan community development dari Organisasi Non Pemerintah termasuk program CSR dari perusahaan tidak terlalu melibatkan kepala desa dan pamong desa. Akibatnya banyak munculnya para tokoh masyarakat ”setengah dewa” yang membentuk berbagai organisasi di tingkat local yang mengatasnamakan warga masyarakat. Merekalah yang menggantikan posisi pamong desa untuk menjadi mediator antara warga desa dengan berbagai pihak yang berpotensi untuk memberi ”program bantuan” ke desa. Maka beberapa program CSR dari perusahaan maupun dari lembaga penyandang dana non pemerintah banyak yang melalui Lembaga Swadaya Masyarakat.

Tidaklah terlalu salah apa bila banyak pihak menurun kepercayaannya kepada kepala desa dan pamong desa khsusnya dalam mengelola dana dana program masyarakat. Hal ini karena ada beberpa kasus yang penah saya ketemukan mendukung untuk tidak terlalu percaya kepada kepala desa dan pamong desa, antara lain; (1) Proses perencanaan program pembangunan desa hanya melibatkan para elite desa yang mendukung kepentingan kekuasaannya. Bahkan ada yang dibuat sendiri oleh kepala desanya. (2) Proses pelaksanaan pembangunan desa dan pembelanjaan dana masyarakat hanya melibatkan para elite desa yang mendukung kepentingan kekuasaannya dan keluarga dekatnya. (3) Penerima manfaat program pembangunan desa lebih diutamakan untuk keluarga dekatnya dan warga yang mendukung kekuasaannya. (4) Laporan pertanggung jawaban penggunaan dana publik beserta bukti buktinya hanya untuk melayani pimpinan diatasnya yaitu pihak kecamatan atau kabupaten. Sedangkan warga masyarakatnya kurang mendapat akses untuk memperoleh informasi tersebut. Kalaupun ada warga yang menanyakan atau ingin tahu akan diberi sikap yang tidak ramah. Bahkan pernah menanyakan laporan pertanggungjawaban APBDes kepada seorang kepala desa, dijawab bahwa APBDes adalah rahasia negara, artinya hanya negara yang boleh mengetahui. (5) Pengadminitrasian dan pendokumentasian dana publik tidak dilakukan secara baik,

Pada saat saya sedang diminta oleh Asosiasi pamong Kabupaten Bojonegoro untuk mendampinginya dalam pengembalian kepercayaan dan peningkatan kapasitas pamong des. Pada bulan yang sama, saya sebagai personil IRE Jogjakarta diminta oleh Mobil Cepu Ltd. (MCL - Eexxon Mobil) untuk memberi pelatihan untuk penguatan kepemimpinan dan kelembagaan desa di wilayah kerjanya yang meliputi pada 121 desa yang berada di Kabupaten Blora Jawa Tengah, Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban Jawa Timur. Sungguh seperti ”gayung bersambut” antara keinginan para pamong desa untuk meningkatkan kepercayaan dari warganya dan meningkatkan kapasitasnya sebagai pengelola pemerintahan desa dan pembangunan desa, dengan harapan MCL –Exxon Mobil akan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan dan kepemimpinan desa untuk mengelola program program masyarakat yang berfokus pada meningkatkan kualitas kehidupan warga disekitar lokasi kerjanya dlam hal pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. .

Atas dukungan kerjasama dan dukungan dari MCL-Exxon Mobil, IRE Jogjakarta menugaskan saya sebagai lead fasilitator pelatihan penguatan kapasitas kepemimpinan dan kelembagaan desa untuk 121 desa tersebut diatas. Modul pelatihan kami susun dengan fokus pada pengelolaan dana publik yang bisa mengembalikan kepercayaan para pemimpin desa dan kelembagaan desa. Maka dari itu materi pelatihan untuk para pemimpin kelembagaan desa adalah sebagai berikut:

1. Transparansi dan Akuntabilitas;

Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik dikelola secara “terbuka” dimana rakyat berhak dan dipermudah untuk mengakses berbagai informasi yang berhubungan dengan dana publik (sumber, alokasi penggunaan, mekanisme penggunaan, siapa yang bertanggung jawab, dan bentuk pertanggungjawaban, dan siapa penerima pertantanggungjawaban). Semua dana publik harus jelas bentuk, sistem dan intrumen pertanggungjawabannya

2. Partisipatip;

Teknik dan isntrumen pengelolaan Dana Publik secara yang mengikutsertakan pebulik dalam proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan, proses audit dan pengawasan dan proses pertanggung jawaban-nya.

3. Disiplin Anggaran;

Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik yang dapat mendorong kedidisiplinan dalam pengalokasiannya, dalam pengadministrasiannya, audit dan pengawasannnya, dan disiplin dalam pertanggungjawabannya serta ada kepastian punishment terhap berbagai penyimpangannya.

4. Keadilan Anggaran;

Teknik dan isntrumen pengeloaan dana publik yang berprinsip kepada keadilan dalam berhubungan dengan beneficiaries (penerima manfaat baik langsung maupun tidak langsung). Keadilan disini berukuran pada kaidah kaidah nilai universal maupun lokal dalam perspektip kesejahteraan rakyat.

5. Efesiensi dan Efektivitas;

Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik dilakukan secara “irit tidak boros” dan dapat dipastikan berdaya guna. Pengelolaan dana publik secara prinsipil tidak pantas digunakan secara sewenang wenang tanpa ukuran ukuran effisiensi dan effektivitas yang terbuka secara publik.

6. Format Anggaran;

Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik menggunakan format anggaran bakuan sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku dan sesuai dengan SoP dan Juklak, Juknis dan instrumen akuntansi standard yang disyahkan oleh institusi yang legitimated dan kompeten

7. Rasional dan Terukur;

Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik yang rasional dimana ada sejumlah penjelasan yang bisa dimengerti oleh penalaran dan logika berpikir rakyat. Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik yang menggunakan kaidah kaidah ukuran baku yang dapat dinilai dalam satuan satuan atau unit unit dengan alat ukur yang syah secara yuridis, ekonomi maupun sosial.

8. Pendekatan Kinerja

Teknik dan isntrumen sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (out put ) dari perencanaan alokasi biaya (input ) out come yang ditetapkan. Output (keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan (input) yang digunakan. Input (masukan) adalah besarnya sumber-sumber, dana sumber daya manusia, material, waktu dan teknologi yang sesuai dengan (input,yang digunakan. Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara input (masukan) dengan output (keluaran)

9. Dokumen Publik;

Teknik dan isntrumen Pengelolaan dana publik ditungakan dalam perencanaan dan pertanggungjawaban dokumen publik pada APBDes.

Teknik dan isntrumen pengelolaan dana publik yang dapat dengan mudah untuk dipublikasikan oleh media massa. Pengenalan pengelolaan dana publik yang dapat diaudit oleh akuntan publik.

Pelaksanaan Pelatihan:

Pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan desa direncanakan untuk 15 anggota cluster (kenyataannya di lapangan ada 16 cluster) dimana lima cluster di Kabupaten Tuban yang meliputi 39 desa dan sebelas cluster di Kabupaten Bojonegoro yang meliputi 82 desa. Total desa yang harus dilatih berjumlah 121 desa. Masing masing desa mengirim 3 orang sebagai peserta, sehingga jumlah orang yang harus dilatih sebanyak 363 orang. Jadwal pelaksanaan pelatihan direncanakan pada bulan November dan Desember 2007. Pelaksanaan pelatihan dikabupaten tuban dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun pelaksanaan pelatihan di Kabupaten Bojonegoro ditunda. Hal ini dikarenakan pada bulan Desember 2007 ada Pilihan Kepala Daerah di Kabupaten Bojonegoro dan pada awal bulan januari 2008 terjadi bencana banjir, maka pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan desa di Bojonegoro baru bisa dilakukan pada tgl 28 Januari 2008 sampai 04 Maret 2008 . Pelatihan ini berlangsung selama empat hari efektif pada setiap angkatan.

Hampir setiap pelatihan yang berhubungan dengan desa, jumlah peserta pelatihan perempuan sangat sedikit. Karena secara umum kultur patriarkhi masih berlaku di desa -desa Indonesia. Namun Peserta Perempuan yang mengikuti pelatihan ini cukup banyak , karena program ini menekankan adanya quota minimal 30% keterlibatan perempuan, penegasan keterlibatan perempuan tersebut dituangkan dalam undangan yang dikirimkan MCL ke Desa-desa anggota Cluster.

Peserta Pelatihan Capacity building kelembagaan Desa

Peserta Pelatihan dari Kabupaten Tuban

Peserta pelatihan secara formal diundang oleh MCL, sedangkan pendamping IRE mengantar undangan dan sekaligus ikut menyeleksi calon-calon peserta bersama sama kepala desa. Setiap desa mengirim tiga orang yang mewakili unsur pemerintah desa, kelembagaan desa (BPD / LPMD / Karang Taruna) dan dari organisasi perempuan di desa (PKK).

Jumlah peserta pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan desa di Kabupaten Tuban sebanyak 118 orang (80 laki laki dan 38 perempuan) dari 39 desa anggota lima cluster (Melebihi jumlah target yang diundang). Adapun komposisi keragaman peserta Training dari Kabupaten Tuban adalah seperti yang digambarkan grafik dibawah ini;

Peserta pelatihan di Tuban didominasi oleh perangkat desa, hal ini sesuai dengan hasil kesepakatan di setiap desa yang mendapat undangan menyatakan bahwa perangkat desa yang paling membutuhkan pelatihan ini. Sebab di dalam undangan pelatihan disebutkan materi pelatihan lebih banyak berhubungan dengan kerja perangkat desa. Peserta yang paling sedikit adalah Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat. Hal ini disebabkan hampir seluruh Kepala desa dan Tokoh Masyarakat telah mengikuti berbagai pelatihan termasuk ”Operation Tarining” yang diselenggarakan MCL dan DAI-USAID.

Peserta Pelatihan dari Kabupaten Bojonegoro

Peserta pelatihan secara formal diundang oleh MCL seperti pelaksanaan pelatihan di Kabupaten Tuban. Pendamping IRE membantu mengantar undangan dan sekaligus ikut menyeleksi calon calon peserta bersama sama kepala desa. Setiap desa mengirim tiga orang yang mewakili unsur pemerintah desa, kelembagaan desa (BPD / LPMD / Karang Taruna) dan dari organisasi perempuan di desa (PKK).

Jumlah peserta pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan desa di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 249 orang (165 laki laki dan 84 perempuan) berasal dari 82 desa anggota sebelas cluster melebihi jumlah peserta yang ditargetkan (246 peserta) . Ada tiga orang peserta tambahan berasal dari unsur Badan Permusyawarhan Desa 02 orang dan Penggerak PKK 1 Orang, mereka bersemangat untuk mengikuti pelatihan karena mendengar dari para alumni pelatihan bahwa materi pelatihannya sangat bermanfaat bagi pengembangan diri peserta. Dalam proses pelatihan tiga orang peserta tambahan ini mengikuti secara serius dan disiplin walaupun tidak mendapat transport .Adapun Keragaman Unsur Peserta Training dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Komposisi keragaman unsur Peserta pelatihan Training CW Bojonegoro hampir mirip dengan keragaman unsur peserta training di Tuban, peserta yang hadir didominasi oleh perangkat desa. Alasannya hampir sama seperti Tuban, yaitu hasil kesepakatan seleksi di setiap desa yang mendapat undangan, menganggap bahwa perangkat desa yang paling membutuhkan pelatihan ini. Sebab di dalam undangan pelatihan disebutkan materi pelatihan lebih banyak berhubungan dengan kerja perangkat desa. Peserta yang paling sedikit adalah Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat. Hal ini disebabkan hampir seluruh Kepala desa dan Tokoh Masyarakat telah mengikuti berbagai pelatihan termasuk ”Operation Training” yang diselenggarakan MCL dan DAI-USAID.

Materi dan Metode Pelatihan

Materi pelatihan untuk seluruh pelatihan baik di Tuban maupun di Bojonegoro sesuai dengan modul di atas. Memang di realitasnya ada beberapa perubahan waktu penyampaian karena faktor menyesuaikan waktu yang dimiliki narasumber dari Pemerintah Daerah. Setiap akhir pelatihan, seluruh peserta selalu menyusun Rencana tindak lanjut yang akan dilakukan di desanya masing masing. Panitia selalu melakukan evaluasi pelatihan dan menyelenggarakan acara penutupan, nyanyi bersama dan foto bersama seluruh peserta dengan MCL dan IRE.

Lead fasilitator seluruh pelatihan ini adalah Fajar Sudarwo dibantu oleh co fasilitator Heru Nugroho dan Bambang Hudayana. Penyelenggaraan pelatihan ini dikoordinir oleh Nurul Jariyatin. Pelatihan ini juga mengundang narasumber dari Pemerintah Daerah (Tuban dan Bojonegoro) dan dari kalangan LSM setempat.

Tempat pelatihan untuk Kabupaten Tuban di Hotel Mustika dan tempat pelatihan untuk Kabupaten Bojonegoro di Hotel GDK. Tempat pelatihan tersebut sangat mendukung proses karena luas, nyaman dan bersih.

Metode pelatihan yang digunakan adalah metode pendidikan orang dewasa. Metode ini sangat mendorong peserta untuk aktip menyampaikan pikiran dan pengalamannya yang dapat menjadi pembelajaran bersama. Media yang digunakan untuk mendorong partisipasi, dinamika, keseriusan, semangat dan kedisiplinan peserta adalah; (1) Simulasi / bermain peran, (2) pemutaran film, animasi dan gambar berceritera, (3) Diskusi kelompok dan Focus Group Discusion, (4) Metha-plan sebagai kartu ide untuk mengakomodir peserta yang kurang berani dan terampil berorasi, (5) Pemberian tugas dan review idividual, (6) Monolog dengan kemasan populer. (7) Berbagai permainan untuk menjaga kelelahan dan kebosanan. (8) Kontemplasi untuk mendorong kedisiplinan dan keseriusan peserta.

Hasil Pelatihan

Secara umum hasil evaluasi peserta untuk seluruh pelatihan diangap cukup baik. Hal ini bisa dilihat di dalam rekap evaluasi sebagai berikut. Proses evaluasi ini dilakukan oleh setiap peserta, dimana panitia membagi angket tanpa peserta menulis nama kepada seluruh peserta. Evaluasi peserta dikumpulkan dan didokumentasi dan ditabulasi oleh koordinator pelatihan. Lead fasilitator dan co fasilitator tidak memberi intervensi apapun terhadap proses evaluasi tersebut.

Secara lengkap hasil pelatihan berdasarkan evalusi pada akhir pelatihan adalah sebagai berikut:

Kesuaian Materi dengan Kebutuhan Peserta

Materi pelatihan yang disajikan dinilai oleh sebagain besar peserta sudah sesuai dengan harapan atau kebutuhan peserta sebagai pemimpin kelembagan desa. Hampir semua peserta pelatihan di Kabupaten Tuban menilai bahwa materi pelatihan sudah sesuai dengan kebutuhan peserta yang berperan sebagai perangkat pemerintah desa atau sebagai pengurus kelembagaan desa. Gambaran hasil evaluasi kesesuaian materi training Bojonegoro dapat dilihat pada garfik dibawah ini; Ada sebagian kecil peserta di Bojonegoro yang menilai bahwa materi pelatihan kurang sesuai dengan kebutuhan. Fakta ini terlihat di kelas ketika pada saat pemaparan sub materi pengelolaan anggaran yang berkeadilan gender. Ada sebagian kecil peserta laki laki yang kurang ”nyaman” menerima materi tersebut. Hal ini bisa dimengerti karena adanya resistensi budaya patriarkhi khususnya peserta yang dari tokoh agama.

Penguasaan Materi Pelatihan Oleh Fasilitator

Penguasaan materi oleh fasilitator pelatihan ini dinilai oleh sebagain besar peserta sudah sesuai dengan harapan atau kebutuhan peserta sebagai pemimpin kelembagan desa. Hal ini bisa dilihat dari hasil evaluasi pelatihan baik di Tuban maupun di Bojonegoro.Hampir semua peserta pelatihan di Kabupaten Tuban menilai bahwa fasilitor menguasai materi yang disajikan kepada peserta.

Peserta pelatihan di Bojonegoro juga hampir semuanya menilai bahwa fasilitator menguasai materi yang disajikan. Hal ini terlihat pada saat diskusi di kelas, peserta selalu meminta contoh kongkrit, langkah praktis tentang materi pelatihan yang disampaikan oleh fasilitator. Peserta juga sering meminta konsultasi teknis atau pemecahan masalah yang dihadapi peserta di desanya. Ketika fasilitator dapat memenuhi hal tersbut, sebagai besar peserta merasa puas dan menilai bahwa fasilitator menguasai materi. Peserta dari Tuban maupun Bojonegoro rata rata tidak puas terhadap jawaban -jawaban narasumber dari Pemerintah Daerah terhadap pertanyaan yang berbasis realitas di lapangan. Narasumber dari kabupaten hanya menyampaikan secara teoritis dan normatip, ketika peserta meminta menunjukan realita tidak ditanggapi secara baik oleh narasumber dari Pemerintah Daerah.

Gaya dan Metode Fasilitator

Gaya dan metode penyampaian materi oleh fasilitator pelatihan ini dinilai oleh sebagaian besar peserta sudah sesuai dengan harapan dan selera peserta sebagai orang dewasa dan pemimpin kelembagan desa. Hal ini bisa dilihat hasil evaluasi pelatihan baik di Tuban maupun di Bojonegoro.

Hampir semua peserta pelatihan di Kabupaten Tuban menilai bahwa gaya/metode yang digunakan fasilitor dalam menyampaikan materi kepada peserta sudah cukup bagus , hanya sebagian kecil yang menilai kurang puas terhadap gaya dan metode fasilitator dalam menyampiakan materinya.

Gaya dan metode penyampaian materi yang digunakan oleh fasilitator mempermudah peserta untuk memahami materi yang disampaikan. Karena fasilitator menggunakan berbagai media yang tepat penggunaannya dan momentumnya. Sehingga peserta hampir tidak pernah merasa bosan dan lelah serta terjaga semangat dan kedisiplinanya. Hampir seluruh peserta ketika menyampaikan dalam kesempatan review dan penutupan sangat tertarik dan terkesan dengan gaya dan metode fasilitator dalam menyajikan materi.

Kualitas pelayanan panitia

Kapasitas dan kualitas pelayanan panitia terhadap peserta dinilai oleh hampir seluruh peserta dianggap sudah memuaskan. Bentuk pelayanan yang diberikan panitia meliputi pelayanan administrasi, pelayanan informasi yang berkaitan dengan pelatihan, pelayanan kebutuhan teknis dan konsumsi selama mengikuti pelatihan. Gambaran kepuasan peserta dapat dilihat dari hasil evaluasi pelatihan baik di Tuban maupun di Bojonegoro.

Hampir semua peserta pelatihan di Kabupaten Tuban menilai bahwa pelayanan panitia sudah memuaskan peserta dalam mengikuti proses pelatihan ini.

Peserta pelatihan di Bojonegoro sebagaian besar menilai pelayanan panitia memuaskan dan mendukung kondisi peserta untuk mengikuti pelatihan secara nyaman.

Walapun panitia pelatihan ini hanya satu orang namun dinilai peserta pelayanan memuaskan karena ada beberapa factor yang bisa digunakan untuk lesson learned penyelenggaraan pelatihan lainnya dimasa yang akan datang. Faktor factor tersebut adalah:

a. Panitia tersebut adalah seorang yang sudah profesional dan berpengalaman di dalam NGO.

b. Ada system dan management yang mendorong panitia bekerja secara profesional dan sistematis.

c. Adanya sistem perencanaan pelatihan yang dilakukan secara baik, artinya jelas indikator pencapainnya dan jelas sumberdaya yang akan digunakannya.

Penutupan Pelatihan

Penutupan pelatihan angkatan terakhir diselenggarakan berbarengan dengan upacara serah terima dana (secara simbolis) cluster Tuban dan Bojonegoro pada tanggal 4 Maret 2008, yang mengundang seluruh alumni peserta training capacity Building kelembagaan desa Cluster Bojonegoro dan Pengurus Cluster Tuban dan Bojonegoro. Seluruh orang yang hadir pada acara tersebut sebanyak 329 orang yang berasal dari; (a) Alumni pelatihan sebanyak 246 dari 249 orang atau ada 3 orang yang tidak hadir karena sakit. (b) Pengurus cluster sebanyak 41 orang. (c) tamu undangan termasuk wartawan sebanyak 42 orang.

Lesson learned dari acara penutupan bersama tersebut adalah:

· Seluruh alumni pelatihan dan pengurus cluster yang diundang hampir hadir semua kecuali yang sakit. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan pelatihan capacity building kelembagaan desa dan program pembangunan fasilitas umum oleh cluster sangat sesuai dengan harapan dan kebutuhan warga. Sekaligus bahwa pelayanan MCL dan IRE dalam menangani program ini cukup memuaskan bagi peserta program.

· Pemerintah Daerah Bojonegoro dan Tuban pada awalnya ”meremehkan” acara ini, sehingga yang hadir bukan pejabat puncaknya. Namun dari dialog dengan pejabat yang hadir pada acara tersebut dengan team IRE mengatakan bahwa mereka sangat terkesima dan terkagum kagum dengan banyaknya peserta yang hadir dan datang tepat waktu serta mengikuti semua acara sampai selesai dengan hidmat dan serius. Mereka menyesalkan fihak Pemerintah Daerah yang tidak menghadirkan pejabat puncaknya. Kalau tahu bahwa acara ini berlangsung sangat meriah dan hidmat maka yang hadir pada cara tersebut dari Pemerintah daerah adalah pejabat puncaknya. Artinya; Pemerintah Daerah Bojonegoro dan Tuban menyadari bahwa cara MCL membangun relasi dengan warga masyarakat cukup berhasil walaupun tanpa ”campur tangan Pemerintah Daerah”. Padahal selama ini Pemerintah Daerah selalu memitoskan bahwa tanpa pemerintah semua kegiatan dengan pemerintah desa dan warga masyarakat tidak akan berhasil, atau kurang dipercaya oleh masyarakat.

· Wartawan yang diundang melalui telepon hampir hadir semua dan meliput dalam pemberitaan di media mereka. Artinya; Bahwa acara ini cukup layak menjadi perhatian publik.

Tindak Lanjut Pelatihan

Setiap desa peserta pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan desa di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro membuat rencana tindak lanjut pada akhir proses pelatihan. Secara umum setiap desa membuat rencana: (1) Penataan administrasi desa (2) Penataan atau pembuatan RPJPM Desa (3) Pembuatan Perdesa BUMDesa (4) Menyusun dan mengkritisi RAPBDesa dan LKPJ Tahunan Desa. Untuk memperlancar proses pelaksanaan tindak lanjut pelatihan, seluruh pendamping IRE yang ditempatkan di Kabupaten Tuban sudah memberikan bantuan teknis.

Kisah Sukses Hasil Pelatihan

Beberapa hal yang dapat dicatat sebagai kesuksesan pada pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan desa di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro adalah:

a. Peserta sangat disiplin dan bersemangat, terbukti mereka datang tepat waktu dan pulang melebihi waktu yang dijadwalkan. Jumlah peserta sejak dimulai pelatihan sampai akhir pelatihan tidak berkurang.

b. Hampir setiap peserta ikut aktip dalam proses, terbukti seluruh peserta mengerjakan tugas tugas yang diberikan fasilitator secara serius dan menghasilkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan fasilitator.

c. Setiap desa membuat rencana tindak lanjut setelah pelatihan, indikatornya ada dokumen RTL yang relatip cukup jelas dan kongkrit.

d. Mulai ada perubahan cara pikir pamong dan tokoh masyarakat bahwa pengelolaan dana publik untuk pembangunan desa diperuntukan sepenuhnya pensejahteraan warga dan dilaksankan secara partisipatip, transparan dan acountable.

@