Jumat, 22 Februari 2013

Pemberkuasaan

Pemahaman Singkat Pemberkuasaan / Pemberdayaan Istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari “empowerment”, yang secara harfiyah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, sedang dalam arti luas pemberdayaan masyarakat adalah : suatu usaha pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged) melalui perubahan struktur social, dimana rakyat (masyarakat) mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya, sehingga harkat dan martabat kehidupan masyarakat dapat berkembang kearah yang lebih baik. Selain itu istilah pemberdayaan masyarakat hamper memiliki kesamaan tujuan dengan pembangunan (development). Dimana pembangunan (development) itu sendiri adalah proses social yang direncanakan atau di rekayasa untuk memajukan kemajuan masyarakat, dimana pembangunan senantiasa berkembang seiring dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun dari dua istilah diatas terdapat perbedaan paradigma yang sangat mendasar, dimana pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai pemain (actor) utama dalam menentukan kehidupannya, sedangkan pembangunan menempatkan pemerintah sebagai sumber segala-galanya. Terlepas dari itu semua dapat kita temukan tujuan yang ingin dicapai baik oleh pemberdayaan masyarakat maupun pembangunan adalah untuk merubah kondisi kehidupan masyarakat yang awalnya tertinggal, melalui serangkaian proses, program yang terencana, sehingga tercipta kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan kultur pedesaan. Kira-kira separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisi mereka sungguh memprihatikan antara lain, ditandai oleh malnutrion, tingkat pendidikan yang rendah (bahkan sebagian masih buta huruf), dan rentan terhadap penyakit. Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Karena itu tidak mengherannkan bila perkembangan fisik dan mental mereka (termasuk anak-anaknya) juga berjalan agak lamban. Kelambanan itu terasa sekali ketika dalam kehidupan mereka diintroduksi ideologi dan teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perencanaan dan inplementasi sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi sekaligus politik. Nampaknya tidak terlalu berlebihan apabila dinyatakan bahwa medan perang melawan kemiskinan dan kesenjangan yang utama sesungguhnya berada di desa.Masyarakat miskin kini bertambah miskin dan masyarakat yang hampir miskin kini tergelincir menjadi miskin. Oleh sebab itu, bila negara ingin mencapai tujuan ekonomi sebagai cita-cita oleh rakyat maka masalah kependudukan (masyarakat) perlu menjadi unsur utama dalam rencana pembangunan jangka panjang. Dalam proses pemberdayaan dan pembangunan masyarakat pemerintah sebagai pemegang kebijakan memiliki tanggung jawab yang besar dalam memenuhi hak-hak rakyat akan penghidupan yang layak, hak akan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan lain-lain. Dalam hal ini pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis seperti: Pertama, menganalisa kebijakan sosial yaitu merumuskan seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guidline), rencana (plan), penetaan (maping), trada atau strategi yang dirancang untuk mencapai tujuan social. Tujuan social berorientasi pada upaya pemecahan masalah social, pemenuhan kebutuhan sosial, dan pencapaian kesempatankesempatan social yang maksimal. Kedua, menaikkan anggaran untuk program pelayanan social dan kebutuhan social, seperti pogram pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, perluasan lapangan kerja dan lain-lain. Idealnya, negara berkembang dapat mengeluarkan dana untuk pembangunan social minimal 20 persen. Ketiga, peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat dan daerah kerap kali terjadi saling menyalahkan ketika melakukan penanganan masalah dilapangan. Hal ini diakibatkan karena lemahnya koordinasi. Langnkah koordinasi ini penting dalam rangka mencapai pelayanan yang memadai serta mencegah persoalan yang muncul dilapangan Dalam pemberdayan masyarakat paradigm pemerintah sebagai sumber segala-galanya di geser dengan menempatkan masyarakat alikan sebagai pemain utama. actor dalam pembangunan. Demikian juga dengan proses pembangunan seharusnya dilakukan untuk meningkatkan derajad keberdayaan masyarakat sampai kapada tingkat keberdayaan masyarakat yang optimal. Secara bertingkat keberdayaan masyarakat menurut susiladiharti dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Tingkat keberdayaan pertama adalah terpenuhi kebutuhan dasar (basic needs). (2) Tingkat keberdayaan kedua adalah penguasaan dan akses terhadap berbagai system dan sunber yang diperlukan (3) Tinggkat keberdayaan ketiga adalah dimilikinya kesadaran penuh akan berbagai potensi, kekuatan dan kelemahan diri dan lingkungannya. (4) Tingkat keberdayaan keempat adlah kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan yang lebih kuat (5) Tingkat keberdayaan kelima adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan lingkungannya. Tingkat ini dapat dilihat dari keikutsertaan dan dinamika masyarakat dalam mengevaluasi dan mengendalikan berbagai program dan kebijakan intitusi dan pemerintahan. Untuk mewujudkan derajad keberdayaan tersebut perlu dilakukan langkah langkah secara runtun dan simultan, antara lain : 1. Meningkatkan suplai kebutuhan-kebutuhan bagi kelompok masyarakat yang paling tidak berdaya (miskin). 2. Upaya penyadaran untuk memahami diri : potensi, kekuatan, dan kelemahan, serta memahami lingkungannya, 3. Pembentukan dan penguatan institusi terutama institusi ditingkat local, 4. Upaya penguatan kebijakan, 5. 5. Dan pembentukan dan pengembangan jaringan usaha atau kerja Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2134146-tinjauan-teoritik-tentang-pemberdayaan-masyarakat/#ixzz2Lb94MCBy

Pendampingan Masyarakat

STRATEGI PEMBERDAYAAN

SEBAGAI MEDIA PENDAMPINGAN MASYARAKAT

Fajar Sudarwo

Mengapa Pemberdayaan Lahir?

Ketika tahun 1939 krisis ekonomi melanda dunia, semua orang berteriak bahwa kapiatalis / pasar telah gagal ‘mensejahterakan’ rakyat dunia. Salah satu pemikir di Ingrris Keyness yang menyerukan bahwa sebaiknya kesejahteraan rakyat dunia akan lebih baik diserahkan rakyat sendiri melalui institsu negara. Kemudian Presiden Amerika Serikat Truman menyambut dengan mengeluarkan ide development sebagai instrumen negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Ide besar ini dilegitimasi oleh Persatuan Bangsa Bangsa menjadi mandat utama dan bagian struktur organisasi yang tidak terpisahkan dengan nama UNDP (Unity Nation Development Program)

Persoalannya ketika UNDP menggunakan acuan modernisasi sebagai dasar developmenatisme nya maka, pelan dan pasti wacana dan dominasi pasar masuk kemabali melalui mekanisme negara. Sehingga negara negara yang menggunakan developmentalisme sebagai haluan programnya justru menjadi korban pertam kalinya. Indonesia menjadi salah satu korban developmentalisme yang paling kongkrit di depan mata kita. Lihat saja bagaiman kondisi bangsa ini saat sekarang? Pengangguran semakin meningkat, jurang perbedaan kaya dan miskin semakin lebar, tingkat ketergantungan dengan kapital dan organisasi Internasional sangat tinggi, sampai kita berada diambang batas kehancuran sebagai bangsa dan negara. Bahkan yang sangat memprihatinkan developmentalisme ini menjadi alat dan amunisi negara untuk menghegemony rakyat nya, sehingga hak hak dasarnya sebagai warganegara begitu saja dilindas untuk kepentingan rezim yang berkuasa.

Ketika developmentalisme yang acuan utamanya modernisasi ternyata tidak membawa ‘kesejahteraan’ justru menghantarkan ke jurang krisis multy dimensi, maka masyarakat dunia termasuk Indonesia khususnya dari kalangan Non Government Organization (NGO) mencoba mengembangkan kerangka kawasan berpikir (paradigma) empowerment approach sebagai alternatip mengerem proses kehancuran rakyat akibat developmentalisme itu.

Apa itu Pemberdayaan?

Divinisi pemberdayaan sangat discussing untung menyamakan persepsi dan konsepnya, namun pada intinya elemen pemberdayaan adalah bagian dari new social movement paradigm ( Paradigma gerakan social baru). Diaman ada proses rakyat memperkuat dirinya dalam rangka perubahan dari dalam untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Oreintasi dan acuan dasar pemberdayaan adalah bukan modernisasi tetapi kepada pengatualisasian nialai nila local (indigenous value), Pengetahuan dan ilmu local (indigenous knowledge) dan ketrampilan dan teknologi local (indigenous skill and technology). Sedangkan aspeknya ada lima yang menyatu dan tidak terpisahkan, yaitu:

Pertama, aspek basic need providing, dimana kebutuhan dasar adalah bagian yang harus dicukupi untuk semua orang di muka bumi ini. Kebutuhan dasar ini meliputi; (1) Kesehatan, (2) Pangan, (3) Sandang, (4) Perumahan, dan (5) Pendidikan. Lima kebutuhan dasar ini menggunakan indicator dan parameter local sebagai ukuran dasarnya. Sehingga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar disetiap komunitas sangat relatif dan berbeda satu sama lain.

Kedua, Kesadaran dan pikiran kritis, dimana setiap manusia didodorng mempunyai kesadaran dan pikiran kritis untuk memahami relaita social, ekonomi, dan politik secara tajam. Hal ini penting untuk melihat posisi dan out put kinerjanya apakah merupakan bagian penindasan structural atau bagaian proses pemandirian. Sehingga dapat mengkalkulasi semua fenomena social dalam perspektip siapa yang diuntungkan siapa yang dirugian, apakah ada proses pembodohan dan hegemony atau proses pemerdekaan diri?

Ketiga, Akses kepada sumber sumber daya yang ada. Persoalan masyarakat pada umumnya adalah kurangnya akses kepada berbagai suberdaya yang dapat mensuport kepentingan kehidupannya. Oleh karena itu elemen pemberdayaan salah satunya adalah kemampuan mengakses berbagai sumberdaya yang mendukung hidupnya, seperti sumber daya pendidikan, sumber daya ekonomi, sumber daya keuangan (Bank) dan lain sebagainya.

Keempat, aktip berpartisipasi dalam organisasi rakyat. Hal ini menjadi elemen penting dalam pemberdayaan. Karena organisasi rakyat adalah merupakan elemen setrategis, yaitu : (1) Sebagai media belajar (public education). Dimana masyarakat akan terus menerus membelajari dirinya melalui sesama wagra dalam merespon berbagai dinamika kehidupannya. (2) Sebagai media membagun relasi yang adil (equality reltionship). Hal ini penting untuk melatih perilaku demokratis, non patron clean, non patriarchy dan non nepotism, dan tidak anarkhis. (3) untuk membela dirinya (advonkasi) dalam memperthankan hak hak dasaranya sebagai manusia (HAM) dan hak hak politik, social, budaya sebagai warganegara.

Kelima, kemampuan social control and policy control. Salah satu gerakan pemberdayaan rakyat, elemennya adalah ada gerakan kontrol social untuk menjaga norma dan nialai kepada keberadaan entitas budaya setempat. Hal ini penting untuk proses pelestarian budaya. Namun juga ada kemampuan mengontrol kebijakan untuk membangun penegakan dan kepastian hokum formal. Hal ini sangat relevan dan penting mengingat penegakan dan kepastian hokum justru sering ditumbangkan oleh para pengambil keputusan dan pemegang kekuasaan. Oleh karena itu rakyat harus bergerak untuk menyelamatkan dan menegakan hokum itu sendiri secara konstitusional dan non kekerasan.

Lima elemen pemberdayaan di atas tidak berhukum prirek, namun mekanisme kerjanya mengikuti mekanisme spiral. Dimana lima elemen tersebut bekerja dan bergerak secara simultan dan longitudinal satu sama lain. Hal ini penting untuk menghindari dalam proses pendampingannya di lapangan.

Apa Fungsi Strategis Pemberdayaan?

Secara sosiologis persoalan masyarakat ada tiga kawasan, yaitu: (1) Kawasan teknis yang berhubungan dengan sumberdaya manusia. (2) Kawasan idiologis yang berhubungan dengan visi dan misi masa depan dirinya dan aktualisasi budayanya(3) Kawasan structural yang ada hubungannya dengan system dan struktur yang mendominasi dirinya.

Paradigma pemberdayaan ternyata medukung rakyat untuk menghadapi tiga kawasan persoalan diatas secara simultan dan longitudinal. Untuk memecahkan persoalan teknis menggunakan elemen pengembangan suberdaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara teknis dari berbagai dukungan dari aksesnya kepada sumber sumber daya yang dapat dijangkau. Sedangkan untuk memecahkan persoalan idilogis adalah melalui elemen berpikir kritis. Hal ini merupakan bagian proses penggugatan dan pemerdekaan diri dari dominasi piker yang membelenggu dan menindas dirinya. Seadang untuk mengatasi persoalan dikawasan structural melalui elemen organisasi dan kontrol kebijakan sebagai media advokasi diri akan hak hak dasarnya.

Apa Methode dan Media yang dapat untuk Pemberdayaan Rakyat?

Metode pemberdayaan rakyat hampir berbanding terbalik dengan metode pembangunan masyarakat. Diamana proses tidak dimulai dari mainstreaming atau bakuan yang dapat menjadi acuan semua masyarakat, tetapi semua entitas komunitas akan menemukan mainstreaming nya sendiri. Prosesnya dimulai dengan: (1) Penyadaran diri dan mengembangkan pikiran kritis untuk membongkar hegemoni pembangunan yang ada didirnya. (2) Melakukan analisa kritis terhadap berbagai fenomena lingkungan kehidupannya. (3) Menemukan berbagai persoalan strategis. (4) Dari persoalan strategis ini masyarakat didorong untuk menemukan tindakan tindakan strategis. (5) Muncul satu gerakan untuk mengkaji dan mengkritisi berbagai ilmu ilmu rakyat asli. (6) Mengelaborasi atau mengurai ilmu rakyat dalam aspek ontologisnya, ephistimologiny dan methodologinya. (7) Mengaktualisasi dan mensosialisasi ilmu rakyat sebagai acuan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Adapun skema metode pemberdayaan dapat digambarkan sebagai berikut:









Untuk menceriterakan media pemberdayaan, saya akan menceritakan media pemberdayaan rakyata yang digunakan oleh Yayasan USC-SATUNAMA. Beberpa media yang digunkan adalah:

  • Media pertanian organisk. Media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu pertanian rakyat.
  • Media pengadaan air bersih, media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu rakyat tentang ekosistem.
  • Media kesehatan alami, media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu rakyat tentang kesehatan rakyat.
  • Media ekonomi kerakyatan, media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu rakyat tentang ekonomi rakyat.
  • Organisasi petani , sebagai media untuk pembelajaran dalam berorganisasi yang mengacu kepada perilaku demokratisasi, egaliter, transparan dan accountable.
  • Pendidikan kader kritis, ini media untuk menumbuhkan para aktivis pemberdayaan rakyat.
  • Radio komunitas, semagai media untuk mensosialisasi dan mempromosikan ilmu ilmu local.
  • Dongeng dan perpustakaan keliling untuk anak, ini sebagai media transformasi, mensosialisasi dan mempromosikan ilmu ilmu local bagi generasi penerus.
  • Kesenian rakyar sebagai media untuk mengkritisi dan mensosialisasi dan mempromosikan ilmu ilmu local.
  • Majalah tiga bulanan, sebagai media untuk membangun kesadaran kritis para intelektual organic.

Persoalan apa yang muncul dalam Pemberdayaan?

Persoalan yang muncul dalam pemberdayaan adalah ada di dua tataran. Tataran pertama berada pada persoalan konseptual. Apakah pemberdayaan itu merupakan lanjutan developmentalisme atau bagian lain dari developentalisme itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya mudah, lihat saja apa acuan dan orientasinya! Apakah acuan dan oreintasinya masih pada modernisasi ? atau tidak? Kalau orientasi dan acuan dasarnya masih mengacu kepada modernisasi, berarti jargon pemberdayaan masih merupakan kelanjutan developing dan bagian lain dari kawasan itu. Oleh karena itu harus jernih dalam menghadirkan orientasi dan acuannya. Persoalannya ketika kita melihat acuan local non modernisasi sebagai acuannya, kita ada hambatan untuk mengelaborasi dan mengaktualisasi ilmu ilmu local dalam hal onotlogi (inti keilmuan), episthemologi (landasan keilmuan) dan methodology (bagaimana penerapannya). Hambatan itu muncul akibat kurangnya keseriusan kita, nara sumber dan materi materi dasarnya.

Persoalan yang akan muncul di pemberdayaan adalah persoalan teknis relasi. Karena sebagian besar masyarakat telah terhegemoni oleh modernisasi sebagaiacuan dan ukuran kualitas kehgidupannya. Sehingga ketika kita ingin ada perubahan keluar dari hegemoni itu akan ada banyak pertentangan di masyarakat itu sendiri. Kongkritnya banyak masyarakat yang suadah tidak mempercayaai lagi ilmu ilmu aslinya sebagai acuan kehidupannya. Oleh karena itu banyak sekali para aktivis pemberdayaan di lapangan tumbang akbat persoalan teknis ini.

***

Pemberdayaan Masyarakat Lesson Learned Program Penanggulangan Kemiskinan Di Daerah Industri Migas Fajar Sudarwo

Penanggulangan Kemiskinan dengan Pendekatan Pemberdayaan Sejak era reformasi bergulir dan berlakuknya Otonomi Daerah pada tahun tahun 1999, fungsi dasar pemerintah Indonesia disemua tingkatan berubah. Perubahannya pada fungsi melayani dan pembangunan menjadi fungsi memfasilitasi dan pemberdayaan. Pengelolaan fungsi melayani dan pembangunan telah dilaksanakan oleh Rezim Orde Baru lebih dari 32 tahun. Posisi pemerintah pada waktu itu adalah sebagai subyek utama yang mendesign, merencanakan dan melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi pelayanan publik dan pembangunan. Posisi warga masyarakat sebagai obyek untuk dilayani dan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Banyak hal yang telah berhasil secara riil khusunya dalam prestasinya menyediakan berbagai sarana fisik untuk kebutuhan dasar warga dalam hal makan, sandang, kesehatan dan pendidikan. Secara jujur Orde Baru telah mampu merubah kondisi dari kekurangan makan, sandang, pendidikan dan kesehatan menjadi berkecukupan. Namun juga ada berbagai implikasi negatifnya yaitu munculnya perilaku ketergantunga, memanjakan diri, konsumtif dan hidup secara boros. Pada era reformasi dan Otonomi Daerah, fungsi pelayanan dan pembangunan diganti menjadi fungsi fasiltasi dan pemberdayaan. Fungsi fasilitasi adalah memposisikan pemerintah sebagai fasilitor (pihak yang mempercepat dan memperlancar proses) warga masyarakat untuk mencukupi kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Fungsi Pemberdayaan adalah memposisikan pemerintah sebagai penggerak tumbuh dan berkembangnya vision, power/energi diri, potensi diri (spiritualitas, caracter, knowledge, skill, technology) warga masyarakat agar berdaya dalam menghadapi berbagai gejolak, dinamika dan persoalan global, nasional dan lokal. Sehingga akan terwujud menjadi warga masyarakat yang mandiri dalam meningkatkan kualitas kehidupannya dan mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupannya. Pengelolaan dan pelaksanaan fungsi fasilitasi dan pemberdayaan jauh lebih sulit dari pada menjalankan fungsi pelayanan dan pembangunan. Sebab program-program fasiltasi dan pemberdayaan secara sepintas tidak populis dan tidak terlalu “menarik” warga masyarakat. Lebih-lebih bagi masyarakat yang sudah terlalu lama mendapat berbagai bentuk pelayanan dan pembanguan yang berupa subsidi dan “bantuan”. Dipihak aparatus pemerintah, juga mengalami kesulitan dalam melakukan perubahan sikap dan perilaku. Perubahan yang paling sulit adalah berubahnya perilaku administratur, birokratis menjadi perilaku sebagai pelancar proses dan technical assistant. Tantatangan Utama Pemberdayaan Masyarakat Tantangan utama program pemberdayaan masyarakat secara substansial sama dengaan tantangan nasional pemerintahan Otonomi Daerah, yaitu dalam hal mengatasi dan mengentaskan kemiskinan. Pemerintahan Otonomi Daerah yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun, mengalami ”jatuh bangun” dalam mengatasi dan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya. Ibaratnya bagaikan orang menimba air dari lautan yang tidak pernah terkuras walaupun sudah ditimba setiap hari dengan berbagai peralatan. Ada beberapa hasil penelitaan (termasuk angka dari BPS) menunjukan angka kemiskinan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tidak mengalami pengurangan bahkan ada fluktuasi yang membengkak khusunya pada saat warga terkena krisis sosial ekonomi atau terkena musibah bencana alam. Penanganan dan program pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan warga, sudah dan sedang terus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten. Pola penanganan pengentasan kemiskinan mengacu kepada berbagai cara pandang atau kerangka berpikir konvensional, seperti: Pertama, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah “nasib”. Solusi yang dilakukan adalah memberi semacam bantuan Cuma- cuma (caritative) tanpa sarat apapun (syaratnya hanya “miskin”). Kedua, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah “lemahnya sumber daya manusia” dan keterbatasan sarana dan prasarana. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan program-program pembangunan baik fisik maupun non fisik. Ketiga, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah adanya sistem atau struktur sosial ekonomi yang meminggirkan warga kecil untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Solusi yang dilakukan adalah mereformasi dan melakukan restrukturisasi berbagai sistem yang dapat memberi akses dan kesempatan warga miskin untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Keempat, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah tidak/kurang berdayanya manusia menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang berkembang, baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan program program pemberdayaan masyarakat. Kelima, pemahaman bahawa sumber kemiskinan adalah adanya penafsiran nilai dan budaya yang menghambat percepatan warga untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan revitalisasi nilai budaya dalam perspektif re-intepretation yang lebih mendukung warga miskin untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Lima pemahaman dan strategi di atas memang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah bersama stakeholder-nya. Secara manajerial dan kualitas penangannya untuk program-program diatas memang masih dalam proses penyempurnaan. Hal ini mengingat para apartus pemerintahan maupun warga masyarakat masih pada masa transisi perubahan dari kebiasaan melakukan kerja-kerja pelayanan dan pembangunan menjadi kerja kerja yang bersifat ”fasiltasi” dan pemberdyaan. Oleh karena itu sangat penting adanya berbagai masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan strategi dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program program pemberdayaan masyarakat. Hasil kajian IRE selama lebih dari dua tahun mencermati desa-desa di Wilayah kerja MCL-ExxonMobil di khususnya yang berada lapangan Blok Cepu memperoleh lesson learned bahwa ada perubahan karakter dan pemahaman ”miskin” bagi warga masyarakat. Perubahan ini sama dengan kondisi secara umum di masyarakat Indonesia. Jadi perubahan ini tidak hanya terjadi di wilayah Kabupaten Bojonegoro . Perubahan yang subtansial sedang terjadi adalah; Pertama; Ada pergeseran pemahaman stereotype tentang “miskin” bagi warga masyarakat. Label miskin yang dilekatkan kepada warga bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap “aib” atau hal yang perlu disembunyikan. Label miskin justru dianggap sebagai identitas yang dapat menjadi persyaratan social administrasi untuk mendapat hak menerima bantuan. Perubahan ini mempunyai pengaruh terhap berbagai program pengentasan kemiskinan. Kedua; fakta kemiskinan ada pergeseran dari kosentrasi kepada pemenuhan kebutuhan primer menjadi kosentrasi pada pemenuhan kebutuhan sekunder. Pengertian pemahaman kebutuhan primer pada paper ini adalah kebutuhan yang berhubungan dengan kepentingan untuk mempertahankan hidup secara fisik (makan, sandang, papan). Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang berhubungan dengan pemenuhan berbagai keinginan sesuai dengan wacana yang dimiliki. Ketiga; ada perubahan sumber asupan kebutuhan dasar dari asupan alam ke asupan “rekayasa”. Warga desa sebagaian besar beralih dari perilaku ketergantungan terhadap asupan alam (kelangkaan beras diganti dengan ubi, jagung dll) menjadi ketergantungan terhadap asupan berbagai rekayasa (kelangkaan beras diganti dengan indomi). Implikasinya terhadap berbagai perubahan berbagai persoalan kesehatan warga. Keempat, ada perubahan fakta dari ketidak tercukupinya kehidupan pada tingkat local menjadi fakta dari ketertinggalan terhadap berbagai perubahan gaya kehidupan global. Kelima, ada perubahan perilaku manajemen keluarga dari diversifikasi sumberdaya yang ada berubah menjadi ketergantungan terhadap industri imitasi. Artinya ada perubahan perilaku dari reproduksi di dalam rumah menjadi perilaku konsumtif terhadap berbagai barang industri produk instan dan imitasi yang kualitasnya jauh dari standard baku kesehatan manusia. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Pada era globalisasi ekonomi, persoalan kemiskinan menjadi semakin komplek dan meluas. Pengaruh resesi negara lain atau benua lain bisa berimbas terhadap munculnya kemiskinan di masyarakat tertentu. Begitu juga pada wilayah kerja tempat operasi pengambilan minyak bumi yang dikeloa perusahaan internasional. Niscaya pada wilayah tersebut akan dimasuki perilaku ekonomi global yang akan akan mempengaruhi perilaku ekonomi dan kehidupan lokal. Oleh karena MCL, IRE, dan Pemerintah Daerah beserta kelembagaan desa dalam penanggulangn kemiskinan di wilayah tersebut menggunakan startegi sistemik yang berkesinambungan dan mampu menggerakan seluruh elemen yang ada. Setrategi sistemik pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja MCL mengacu kepada perkembangan kerja pencarian dan pengambilan minyak. Dimana pada lima tahun pertama akan mengalami pelimpahan berbagai project dan bantuan untuk mendukung pekerjaan di tahap produksi awal sampai pada produksi puncak. Pada lima tahun kedua dan ketiga akan mulai ada penurunan volume berbagai pekerjaan/project namun akan ada peningkatan jumlah bagi hasil produksi minyak pada tingkat puncak produksi melalui APBD Kabupaten yang dapat menopang pengentasan kemiskinan. Pada lima tahun keempat dan kelima akan terjadi penurunan produksi minyak yang implikasinya akan ada penurunan jumlah bagi hasil yang diterima masyarakat melalui APBD kabupaten. Pada masa lima tahun keempat dan selanjutnya diharapkan warga sudah berdaya untuk menjaga kualitas kehidupannya. Pada lima tahun keenam dan masa depan masyarakat di lokasi kerja MCL-ExxonMobil akan mempunyai ketahanan pemberdayaan dirinya untuk menjaga kualitas kehidupannya. Dengan demikian MCL bersama Pemerintah Daerah beserta lembaga-lembaga Non Pemerintah yang didampingi IRE Jogjakarta mempunyai acuan untuk mewujudkan kriteria manusia, keluarga, desa dan masyarakat yang berdaya di wilayah kerja MCL sebagai berikut: 1. Indikator manusia/warga berdaya adalah: Sesuai dengan mandat nilai-nilai adiluhung para pendiri bangsa yang terkandung dalam filosofi character building manusia Indonesia, manusia/warga berdaya adalah; (a) Manusia yang mempunya karakter ”swa-karsa”, yaitu manusia yang mempunyai visioning, kehendak dan pasi kehidupan yang dituangkan dalam berbagai ide-ide kreatif dan inovatif untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kehidupannya.(b) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-karya”, yaitu manusia yang mempunyai karya untuk merealisasikan ide-ide kreatif dan inovasinya. (c) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-dana”, yaitu manusia yang mempunyai kemampuan pendukung untuk menopang karya-karyanya. (d) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-daya”, yaitu manusia yang mempunyai ketahanan untuk menanggung berbagai beban dan resiko yang menerpa kehidupannya. (e) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-sembada”, yaitu manusia yang mempunyai kualitas diri yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan keluarga, masyarkat dan negara. 2. Indikator keluarga berdaya adalah: Sesuai dengan mandat konsesus nasional dalam perspektif perencanaan keluarga berencana, maka indikator keluarga berdaya adalah; (a) Keluarga yang mempunyai kemampuan mencukupi kebutuhan dasar dalam hal; makanan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. (b) Keluarga yang mempunyai kemampuan mengakses ke berbagai pusat-pusat sumberdaya yang dapat mendukung perkembangkan kualitas kehidupan keluarga. (c) Keluarga yang mempunyai kemampuan mewariskan lapangan kerja dan berusaha untuk generasi berikutnya. Tanpa harus menggantungkan diri pada sektor pekerjaan sebagai buruh atau pegawai. (d) Keluarga yang mempunyai kemampuan dalam berpartisipasi dan memberi kontribusi terhadap pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. (e) Keluarga yang mempunyai kemampuan melakukan kontrol sosial dan kontrol kebijakan yang ada hubungannya dengan kehidupan keluarganya. 3. Indikator desa berdaya adalah; Sesuai dengan UU 32/2004 dan berbagai peraturan dan perudang undangan yang berhubungan dengan desa, termasuk PNPM Mandiri Perdesaan, maka indikator desa berdaya adalah; (a) Desa mempunyai sistem informasi dan dokumentasi kependudukan dan potensi desa yang cepat mudah di update dan diakses. (b) Desa mempunyai perencanaan pembangunan jangka menengah desa sebagai acuan perencanaan tahunan desa, perencanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, dan rencana kerja tahunan desa. (c) Desa mempunyai rencana tata ruang dan tata wilayah desa sebagai acuan perencanaan tata desa. (d) Desa mempunyai minimal delapan peraturan desa untuk tata kelola pelayanan prima. (e) Desa mempunyai Badan Usaha Milik Desa yang mampu menjadi sumber pendanaan kelembagaan dan pembangunan desa. 4. Indikator masyarakat berdaya adalah; Sesuai dengan era globalisasi dan nilai-nilai universal dinama acuan karakter masyarakat adalah sebagai civil society atau masyarakat madani, maka indikator masyarakat adalah; (a) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai namusia demokratis, yaitu masyarakat yang menghormati proses partisipasi dan pengambilan keputusan secara bersama. (b) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai manusia yang menghormati Hak Asasi Manusia, yaitu masyarakat mempunyai kesadaran akan hak hak dasarnya dan sekaligus mampu mempertahankan cara non kekerasan. (c) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai masyarakat pluralis, yaitu masyarakat yang menghormati berbagai kultur budaya warga dunia sebagai manusia yang beradab. (d) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai penjaga terjadinya good governance, yaitu ada tata pengaturan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mendukung terjadinya masyarakat yang adil dan makmur. (e) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai penjaga pelestarian ekosisitem dan alam lingkungan. Positioning dan Kapasitas Kontribusi Program kerja sama IRE dan MCL dalam Penanggulangan kemiskinan. Positioning dan Kapasitas Program kerja sama IRE dan MCL dalam proses penanggulangan kemiskinan adalah sebagai daya stimulant dan pendukung Pemerintah Daerah beserta kelembagaan desa untu memberdayakan manusia, keluarga, desa dan masyarakat. Strategi yang dipilih adalah melakukan “Pendampingan dan Konsultasi Pemberdayaan Kepemimpinan dan Kelembagaan Desa di wilayah kerja MCL. Beberapa program yang telah dilakukan sejak akhir tahun 2007 adalah: Pertama, program pembangunan desa yang berbasis kawasan (cluster). Program ini adalah memfasilitasi dan menstimulant kerja sama antar desa untuk membangun fasilitas umum (Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi) yang direncanakan dan dilaksanakan bersama antar desa dalam satu cluster. Hasil program tersebut adalah mampu 21 infrastruktur penunjang kegiatan admin Desa, 19 Infrastruktur Kesehatan, 18 infrastruktur Pendidikan dan 17 Infrastruktur sosial dan ekonomi. Program tersebut telah mampu menggerakan swadaya sebesar Rp. 1,710,203,000 (satu milyar tujuh ratus sepuluh juta duaratus tiga ribu rupiah) Kedua, program penguatan kapasitas dan kemampuan pimpinan kelembagaan desa untuk menangani bencana banjir dengan pendekatan involvmen evacuation. Program ini mendorong dan mengembangkan manajemen penanggulangan bencana banjir yang berbasis kepada warga masyarakat sekitar bencana. Mengaktualisasi local value, local skill and local technology masyarakat sekitar bencana untuk menjadi stakeholder utamaa penolong warga yang menjadi korban. Jumlah desa yang menjadi peserta program ini adalah 12 kecamatan beserta 112 desa. Hasil program ini adalah adanya pengaturan dan SOP desa dalam penganan dan penggulangan bencana banjir berbasis masyarakat. Total swadaya setiap desa ketika menagani bencana bisa mengatasi lebih dari 80% dari seluruh kebutuhan para korban dalam hal kebutuhan pokok. Yang paling berat ditangani dari swadaya adalah perbaikan fasilitas umum yang rusak akibat banjir. Ketiga, program penguatan kapasitas pimpinan kelembagaan pendidikan dan desa untuk merencanakan, mengelola dan merawat fasilitas pendidikan. Program ini mendorong dan mengembangkan manajemen pengelolaan fasilitas pendidikan yang berbasis desa. Pimpinan kelembagaan pendidikan dan pimpinan desa bersama sama menggerakan warga untuk mengidentifikasi kebutuhan, merencanakan, melaksanakan dan merawat berbagai fasilitas pendidikan secara transparan dan partisipatip. Program ini telah mampu membangun 16 unit TK dengan total swadaya yang bisa terkumpul sebesar Rp 92,517,000 (sembilan puluh dua juta lima ratus tujuh belas ribu rupiah) Keempat, program pengembangan jaringan kerja sama antar pimpinan desa pada 15 desa di wilayah Banyuurip untuk melakukan proses saling belajar, saling tukar pengalaman, dan saling membantu penyelesaian persoalan persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintah dan pembangunan desa. Hasil program ini adalah adanya forum informal 15 desa yang secara rutin malakukan komunikasi dan konsolidasi untuk saling belajar dan tukar pengalaman mengelola pembanguan dan pemerintahan desa. Kelima, program peningkatan kapasitas pimpinan kelembagaan desa secara intensif. Program pendampingan desa ini pada jangka panjang adalah untuk mendukung pemberdayaan desa dalam proses mempercepat pengembangan pemberdayaan manusia, keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan warga masyarakat di desa-desa tersebut dan untuk jangka menengah (lima tahun pertama) adalah untuk; (1). Mendukung percepatan optimalisasi fungsi kelembagaan desa khususnya dalam pemberdayaan kelembagaan sosial (kesehatan, pendidikan dan ekonomi) untuk memberi pelayanan kebutuhan dasar warga masyarakat desa yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; (2) Mendukung percepatan kerjasama antar desa dan antar kelembagaan desa dan dengan pihak-pihak lain baik swasta maupun pemerintah yang ada hubungannya dengan program pembangunan dan pengelolaan pemerintahan desa. Fokus kegiatan pada tahun 2009/2010 adalah pada delapan desa di kecamatan Ngasem dan Kecamatan Kalitidu, yaitu: (1). Menggali, mengkaji, memprofile isi desa (in-depth village mapping) secara mendalam dan menyeluruh termasuk local content. serta persoalan, konflik dan jaringannya. Maksud local content tersebut adalah potensi dan keunggulan lokal khususnya dalam hal ekonomi yang meliputi sumberdaya alam, sumber daya manusia (termasuk yang pernah mendapatkan pelatihan dari MCL), sumberdaya kelembagaan (Lembaga lembaga bisnis, termasuk koprasi, KUD dll) dan produk unggulan. (2) Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen tata kerja, dan quality control untuk pemberdayaan kepemimpinan dan kelembagaan desa agar mampu mengelola pemerintahan dan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, (3). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen untuk pengelolaan dan tata ruang pembangunan desa. (4). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen untuk capacity building bagi organisasi masyarakat sipil agar lebih mampu memberi kontribusi kepada kualitas kesejahteraan warga dan mampu menghidupi dirinya. (5). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem, instrumen tata kerja dan quality control untuk pelayanan publik ditingkat desa, khususnya dalam hal kesehatan, pendidikan dan ekonomi. (6) Mereduksi atau mengelola potensi konflik menjadi bagian dari pola interaksi yang konstruktif dan mendorong terciptanya pola komunikasi serta relasi yang sehat antara pemerintah desa dan masyarakat setempat dengan MCL. Proses dan Metode: Pendampingan terhadap masyarakat khususnya untuk penguatan kepemimpinan dan kelembagaan desa memerlukan waktu yang relatif panjang, ketekunan, kredibilitas, konsisten serta “seni berkomunikasi”. Sebab para pemimpin dan tokoh desa adalah merupakan warga yang sangat dinamis, agak politis, menyimpan agenda kepentingan pribadi, cepat berubah dan mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang dianggapnya lebih memberi keuntungan pragmatis dirnya. Oleh karena itu untuk mendampingi mereka harus menggunakan pendekatan community engagement dan social psychology dalam kurun waktu yang tidak pendek. Sebab dalam pendampingan proses pemberdayaan tidak menggunakan kekuatan otoritas jabatan (seperti relasi antara camat dan kepala desa), juga tidak menggunakan kekuatan bantuan (seperti relasi antara funding dan penerima bantuan), juga tidak menggunakan kekuatan patron client (seperti relasi antara ketua adat dengan warga). Oleh karena itu telah dilakukan assessment secara mendalam, detil dan menyeluruh tentang kondisi desa sebagai bagaian awal pelaksanaan program ini. Metode Proses Pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJPM) Desa dan turunannya seperti Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa dengan mengacu pada PP No 72/2005 dan Permendagri No 38/2007 serta aturan terkait lainnya dan Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM) yang mengacu pada Permendagri No 51/2007 yang meliputi 3 pilar kegiatan, yaitu: (1) Penataan Ruang Partisipatif, (2) Penetapan dan Pengembangan Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa (PPTAD) (3) Penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan; Proses pembuatan program RPJPM dan PKPBM tersebut dimulai dengan penggalian visioning, ide, harapan dari berbagai forum, organisasi kemasyarakatan yang selama ini langsung mengajukan proposal dukungan program ke MCL dengan mengatasnamakan warga masyarakat. Metode yang digunakan dengan cara individual, informal, dan legal formal. Berbagai forum dan organisasi kemasyarakatan tersebut akan menuangkan visioning, ide, dan peran sertanya dalam pelaksanaan program, dan resource contribution mereka yang dituangkan dalam dokumen RPJPMDesa dan PKPBM. Proses pembuatan RPJPMDesa dan PKPBM juga akan melibatkan secara aktif pihak pemerintahan kecamatan dan pemerintahan Kabupaten agar menyambung/sejalan dengan RPJPM Kabupaten. Sehingga dengan itu akan ada jaminan bahwa pihak kabupaten mendukung secara riil RPJMDesa dalam bentuk merespon realisai usulan desa dari MUSRENBANGDES tahunan secara signifikan. Hasil program ini adalah: (1) Dokumen data kependududukanm potensi desa yang dapat diupdate dan diketahui secara cepat dengan metode web-click sistem di 8 desa. (2) Dokumen profiel desa dan set up manajemen aset desa di 8 desa. (3) Dokumen Perencanaan Jangka Panjang dan Menengah Desa (RPJMDes) di 8 desa. (4) Rencana tata ruang dan tata wilayah di dellapan desa lengkap panduan teknis untuk pembanguan desa yang memerlukan ruang dan tempat. Posisi kerja sama IRE dan MCL dengan program kerja sama IRE dan UNDEF. Lesson learned and best practices dari Program kerja sama IRE dan MCL adalah merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya program kerja sama IRE dan UNDEF dalam menanggulangi kemiskinan di wilayah MIGAS dan tambang. Dimana penanggulangan kemiskinan di wilayah tersebut membutuhkan pendekatan kemitraan dari pihak pemerintah daerah, Perusahaan, BP Migas, Pemerintah Desa dan Organisasi Masyarakat Sipil. Fokus kemitraan ini adalah berfokus kepada penguatan masyarakat untuk memberdayakan dirinya yang disupport dan distimulant dari berbagai pihak secara partisipatif, kreatif dan inovatif secara integrated dan berkelanjutan. Fokus kerja sama IRE, MCL, Pemerintah daerah dan Kelembagaan Desa yang telah berjalan selama ini adalah berfokus kepada pengembangan sistem kelembagaan dan kepemimpinan kelembagaan desa yang mampu menyediakan sistem sebagai berikut: Pertama, ada sistem dan data yang menjamin terjadinya kemudahan berbagai pihak untuk mengakses berbagai informasi yang berhubungan dengan penanggulangan kemisikinan secara cepat, tepat dan mudah. Sehingga mempermudah seluruh stakeholder yang akan melakukan dukungan terhadap pemberdayaan warga masyarakat. Pihak-pihak yang potensi mampu menyediakan kepada warga pelayanan kesehatan yang cepat, murah, berkualitas. Kedua, ada sistem dan data tentang perencanaan pembangunan jangka panjang desa yang dapat diakses secara cepat mudah dan valid. Ketiga, ada pengaturan yang menjamin terjadinya kerjasama stakeholder dengan kelembagaan desa untuk mewujudkan kemudahan warga memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Keempat, ada pengaturan desa dan kapasitas pimpinan kelembagaan desa yang mempermudah warga dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan hak haknya sebagai warga negara. Fokus program kerja sama IRE, UNDEF adalah sebagai media untuk menggalang dan memperkuat kemitraan dari semua elemen stakeholder agar ada sinergistas antar potensi dan dukungan dari semua elemen stakeholder. Hal ini penting mengingat upaya penanganan penanggulangan kemiskinan memerlukan pola kerja sama yang integrated, berkesinambungan dan dibutuhkan kemampuan berkreasi dan berinovasi dari berbagai pihak. Program ini juga akan memberi kontribusi terhadap proses pendokumentasian dan sosialisasi lesson learned and bast practices dari kerja sama antar stakeholder yang mampu berkreasi dan berinovasi untuk menanggulangi kemiskinan pada masyarakat di wilayah Migas dan Tambang. Sehingga dapat menjadi salah satu rujukan berbagai pihak baik di tingkat nasional, regional maupun global yang berkepentingan dalam penanggulangan kemiskinan di wilayah Migas dan tambang. ***