Jumat, 22 Februari 2013

Pemberkuasaan

Pemahaman Singkat Pemberkuasaan / Pemberdayaan Istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari “empowerment”, yang secara harfiyah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, sedang dalam arti luas pemberdayaan masyarakat adalah : suatu usaha pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged) melalui perubahan struktur social, dimana rakyat (masyarakat) mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya, sehingga harkat dan martabat kehidupan masyarakat dapat berkembang kearah yang lebih baik. Selain itu istilah pemberdayaan masyarakat hamper memiliki kesamaan tujuan dengan pembangunan (development). Dimana pembangunan (development) itu sendiri adalah proses social yang direncanakan atau di rekayasa untuk memajukan kemajuan masyarakat, dimana pembangunan senantiasa berkembang seiring dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun dari dua istilah diatas terdapat perbedaan paradigma yang sangat mendasar, dimana pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai pemain (actor) utama dalam menentukan kehidupannya, sedangkan pembangunan menempatkan pemerintah sebagai sumber segala-galanya. Terlepas dari itu semua dapat kita temukan tujuan yang ingin dicapai baik oleh pemberdayaan masyarakat maupun pembangunan adalah untuk merubah kondisi kehidupan masyarakat yang awalnya tertinggal, melalui serangkaian proses, program yang terencana, sehingga tercipta kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan kultur pedesaan. Kira-kira separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisi mereka sungguh memprihatikan antara lain, ditandai oleh malnutrion, tingkat pendidikan yang rendah (bahkan sebagian masih buta huruf), dan rentan terhadap penyakit. Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Karena itu tidak mengherannkan bila perkembangan fisik dan mental mereka (termasuk anak-anaknya) juga berjalan agak lamban. Kelambanan itu terasa sekali ketika dalam kehidupan mereka diintroduksi ideologi dan teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perencanaan dan inplementasi sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi sekaligus politik. Nampaknya tidak terlalu berlebihan apabila dinyatakan bahwa medan perang melawan kemiskinan dan kesenjangan yang utama sesungguhnya berada di desa.Masyarakat miskin kini bertambah miskin dan masyarakat yang hampir miskin kini tergelincir menjadi miskin. Oleh sebab itu, bila negara ingin mencapai tujuan ekonomi sebagai cita-cita oleh rakyat maka masalah kependudukan (masyarakat) perlu menjadi unsur utama dalam rencana pembangunan jangka panjang. Dalam proses pemberdayaan dan pembangunan masyarakat pemerintah sebagai pemegang kebijakan memiliki tanggung jawab yang besar dalam memenuhi hak-hak rakyat akan penghidupan yang layak, hak akan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan lain-lain. Dalam hal ini pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis seperti: Pertama, menganalisa kebijakan sosial yaitu merumuskan seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guidline), rencana (plan), penetaan (maping), trada atau strategi yang dirancang untuk mencapai tujuan social. Tujuan social berorientasi pada upaya pemecahan masalah social, pemenuhan kebutuhan sosial, dan pencapaian kesempatankesempatan social yang maksimal. Kedua, menaikkan anggaran untuk program pelayanan social dan kebutuhan social, seperti pogram pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, perluasan lapangan kerja dan lain-lain. Idealnya, negara berkembang dapat mengeluarkan dana untuk pembangunan social minimal 20 persen. Ketiga, peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat dan daerah kerap kali terjadi saling menyalahkan ketika melakukan penanganan masalah dilapangan. Hal ini diakibatkan karena lemahnya koordinasi. Langnkah koordinasi ini penting dalam rangka mencapai pelayanan yang memadai serta mencegah persoalan yang muncul dilapangan Dalam pemberdayan masyarakat paradigm pemerintah sebagai sumber segala-galanya di geser dengan menempatkan masyarakat alikan sebagai pemain utama. actor dalam pembangunan. Demikian juga dengan proses pembangunan seharusnya dilakukan untuk meningkatkan derajad keberdayaan masyarakat sampai kapada tingkat keberdayaan masyarakat yang optimal. Secara bertingkat keberdayaan masyarakat menurut susiladiharti dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Tingkat keberdayaan pertama adalah terpenuhi kebutuhan dasar (basic needs). (2) Tingkat keberdayaan kedua adalah penguasaan dan akses terhadap berbagai system dan sunber yang diperlukan (3) Tinggkat keberdayaan ketiga adalah dimilikinya kesadaran penuh akan berbagai potensi, kekuatan dan kelemahan diri dan lingkungannya. (4) Tingkat keberdayaan keempat adlah kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan yang lebih kuat (5) Tingkat keberdayaan kelima adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan lingkungannya. Tingkat ini dapat dilihat dari keikutsertaan dan dinamika masyarakat dalam mengevaluasi dan mengendalikan berbagai program dan kebijakan intitusi dan pemerintahan. Untuk mewujudkan derajad keberdayaan tersebut perlu dilakukan langkah langkah secara runtun dan simultan, antara lain : 1. Meningkatkan suplai kebutuhan-kebutuhan bagi kelompok masyarakat yang paling tidak berdaya (miskin). 2. Upaya penyadaran untuk memahami diri : potensi, kekuatan, dan kelemahan, serta memahami lingkungannya, 3. Pembentukan dan penguatan institusi terutama institusi ditingkat local, 4. Upaya penguatan kebijakan, 5. 5. Dan pembentukan dan pengembangan jaringan usaha atau kerja Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2134146-tinjauan-teoritik-tentang-pemberdayaan-masyarakat/#ixzz2Lb94MCBy

Pendampingan Masyarakat

STRATEGI PEMBERDAYAAN

SEBAGAI MEDIA PENDAMPINGAN MASYARAKAT

Fajar Sudarwo

Mengapa Pemberdayaan Lahir?

Ketika tahun 1939 krisis ekonomi melanda dunia, semua orang berteriak bahwa kapiatalis / pasar telah gagal ‘mensejahterakan’ rakyat dunia. Salah satu pemikir di Ingrris Keyness yang menyerukan bahwa sebaiknya kesejahteraan rakyat dunia akan lebih baik diserahkan rakyat sendiri melalui institsu negara. Kemudian Presiden Amerika Serikat Truman menyambut dengan mengeluarkan ide development sebagai instrumen negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Ide besar ini dilegitimasi oleh Persatuan Bangsa Bangsa menjadi mandat utama dan bagian struktur organisasi yang tidak terpisahkan dengan nama UNDP (Unity Nation Development Program)

Persoalannya ketika UNDP menggunakan acuan modernisasi sebagai dasar developmenatisme nya maka, pelan dan pasti wacana dan dominasi pasar masuk kemabali melalui mekanisme negara. Sehingga negara negara yang menggunakan developmentalisme sebagai haluan programnya justru menjadi korban pertam kalinya. Indonesia menjadi salah satu korban developmentalisme yang paling kongkrit di depan mata kita. Lihat saja bagaiman kondisi bangsa ini saat sekarang? Pengangguran semakin meningkat, jurang perbedaan kaya dan miskin semakin lebar, tingkat ketergantungan dengan kapital dan organisasi Internasional sangat tinggi, sampai kita berada diambang batas kehancuran sebagai bangsa dan negara. Bahkan yang sangat memprihatinkan developmentalisme ini menjadi alat dan amunisi negara untuk menghegemony rakyat nya, sehingga hak hak dasarnya sebagai warganegara begitu saja dilindas untuk kepentingan rezim yang berkuasa.

Ketika developmentalisme yang acuan utamanya modernisasi ternyata tidak membawa ‘kesejahteraan’ justru menghantarkan ke jurang krisis multy dimensi, maka masyarakat dunia termasuk Indonesia khususnya dari kalangan Non Government Organization (NGO) mencoba mengembangkan kerangka kawasan berpikir (paradigma) empowerment approach sebagai alternatip mengerem proses kehancuran rakyat akibat developmentalisme itu.

Apa itu Pemberdayaan?

Divinisi pemberdayaan sangat discussing untung menyamakan persepsi dan konsepnya, namun pada intinya elemen pemberdayaan adalah bagian dari new social movement paradigm ( Paradigma gerakan social baru). Diaman ada proses rakyat memperkuat dirinya dalam rangka perubahan dari dalam untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Oreintasi dan acuan dasar pemberdayaan adalah bukan modernisasi tetapi kepada pengatualisasian nialai nila local (indigenous value), Pengetahuan dan ilmu local (indigenous knowledge) dan ketrampilan dan teknologi local (indigenous skill and technology). Sedangkan aspeknya ada lima yang menyatu dan tidak terpisahkan, yaitu:

Pertama, aspek basic need providing, dimana kebutuhan dasar adalah bagian yang harus dicukupi untuk semua orang di muka bumi ini. Kebutuhan dasar ini meliputi; (1) Kesehatan, (2) Pangan, (3) Sandang, (4) Perumahan, dan (5) Pendidikan. Lima kebutuhan dasar ini menggunakan indicator dan parameter local sebagai ukuran dasarnya. Sehingga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar disetiap komunitas sangat relatif dan berbeda satu sama lain.

Kedua, Kesadaran dan pikiran kritis, dimana setiap manusia didodorng mempunyai kesadaran dan pikiran kritis untuk memahami relaita social, ekonomi, dan politik secara tajam. Hal ini penting untuk melihat posisi dan out put kinerjanya apakah merupakan bagian penindasan structural atau bagaian proses pemandirian. Sehingga dapat mengkalkulasi semua fenomena social dalam perspektip siapa yang diuntungkan siapa yang dirugian, apakah ada proses pembodohan dan hegemony atau proses pemerdekaan diri?

Ketiga, Akses kepada sumber sumber daya yang ada. Persoalan masyarakat pada umumnya adalah kurangnya akses kepada berbagai suberdaya yang dapat mensuport kepentingan kehidupannya. Oleh karena itu elemen pemberdayaan salah satunya adalah kemampuan mengakses berbagai sumberdaya yang mendukung hidupnya, seperti sumber daya pendidikan, sumber daya ekonomi, sumber daya keuangan (Bank) dan lain sebagainya.

Keempat, aktip berpartisipasi dalam organisasi rakyat. Hal ini menjadi elemen penting dalam pemberdayaan. Karena organisasi rakyat adalah merupakan elemen setrategis, yaitu : (1) Sebagai media belajar (public education). Dimana masyarakat akan terus menerus membelajari dirinya melalui sesama wagra dalam merespon berbagai dinamika kehidupannya. (2) Sebagai media membagun relasi yang adil (equality reltionship). Hal ini penting untuk melatih perilaku demokratis, non patron clean, non patriarchy dan non nepotism, dan tidak anarkhis. (3) untuk membela dirinya (advonkasi) dalam memperthankan hak hak dasaranya sebagai manusia (HAM) dan hak hak politik, social, budaya sebagai warganegara.

Kelima, kemampuan social control and policy control. Salah satu gerakan pemberdayaan rakyat, elemennya adalah ada gerakan kontrol social untuk menjaga norma dan nialai kepada keberadaan entitas budaya setempat. Hal ini penting untuk proses pelestarian budaya. Namun juga ada kemampuan mengontrol kebijakan untuk membangun penegakan dan kepastian hokum formal. Hal ini sangat relevan dan penting mengingat penegakan dan kepastian hokum justru sering ditumbangkan oleh para pengambil keputusan dan pemegang kekuasaan. Oleh karena itu rakyat harus bergerak untuk menyelamatkan dan menegakan hokum itu sendiri secara konstitusional dan non kekerasan.

Lima elemen pemberdayaan di atas tidak berhukum prirek, namun mekanisme kerjanya mengikuti mekanisme spiral. Dimana lima elemen tersebut bekerja dan bergerak secara simultan dan longitudinal satu sama lain. Hal ini penting untuk menghindari dalam proses pendampingannya di lapangan.

Apa Fungsi Strategis Pemberdayaan?

Secara sosiologis persoalan masyarakat ada tiga kawasan, yaitu: (1) Kawasan teknis yang berhubungan dengan sumberdaya manusia. (2) Kawasan idiologis yang berhubungan dengan visi dan misi masa depan dirinya dan aktualisasi budayanya(3) Kawasan structural yang ada hubungannya dengan system dan struktur yang mendominasi dirinya.

Paradigma pemberdayaan ternyata medukung rakyat untuk menghadapi tiga kawasan persoalan diatas secara simultan dan longitudinal. Untuk memecahkan persoalan teknis menggunakan elemen pengembangan suberdaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara teknis dari berbagai dukungan dari aksesnya kepada sumber sumber daya yang dapat dijangkau. Sedangkan untuk memecahkan persoalan idilogis adalah melalui elemen berpikir kritis. Hal ini merupakan bagian proses penggugatan dan pemerdekaan diri dari dominasi piker yang membelenggu dan menindas dirinya. Seadang untuk mengatasi persoalan dikawasan structural melalui elemen organisasi dan kontrol kebijakan sebagai media advokasi diri akan hak hak dasarnya.

Apa Methode dan Media yang dapat untuk Pemberdayaan Rakyat?

Metode pemberdayaan rakyat hampir berbanding terbalik dengan metode pembangunan masyarakat. Diamana proses tidak dimulai dari mainstreaming atau bakuan yang dapat menjadi acuan semua masyarakat, tetapi semua entitas komunitas akan menemukan mainstreaming nya sendiri. Prosesnya dimulai dengan: (1) Penyadaran diri dan mengembangkan pikiran kritis untuk membongkar hegemoni pembangunan yang ada didirnya. (2) Melakukan analisa kritis terhadap berbagai fenomena lingkungan kehidupannya. (3) Menemukan berbagai persoalan strategis. (4) Dari persoalan strategis ini masyarakat didorong untuk menemukan tindakan tindakan strategis. (5) Muncul satu gerakan untuk mengkaji dan mengkritisi berbagai ilmu ilmu rakyat asli. (6) Mengelaborasi atau mengurai ilmu rakyat dalam aspek ontologisnya, ephistimologiny dan methodologinya. (7) Mengaktualisasi dan mensosialisasi ilmu rakyat sebagai acuan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Adapun skema metode pemberdayaan dapat digambarkan sebagai berikut:









Untuk menceriterakan media pemberdayaan, saya akan menceritakan media pemberdayaan rakyata yang digunakan oleh Yayasan USC-SATUNAMA. Beberpa media yang digunkan adalah:

  • Media pertanian organisk. Media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu pertanian rakyat.
  • Media pengadaan air bersih, media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu rakyat tentang ekosistem.
  • Media kesehatan alami, media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu rakyat tentang kesehatan rakyat.
  • Media ekonomi kerakyatan, media ini untuk menggali dan mengaktualisasi ilmu ilmu rakyat tentang ekonomi rakyat.
  • Organisasi petani , sebagai media untuk pembelajaran dalam berorganisasi yang mengacu kepada perilaku demokratisasi, egaliter, transparan dan accountable.
  • Pendidikan kader kritis, ini media untuk menumbuhkan para aktivis pemberdayaan rakyat.
  • Radio komunitas, semagai media untuk mensosialisasi dan mempromosikan ilmu ilmu local.
  • Dongeng dan perpustakaan keliling untuk anak, ini sebagai media transformasi, mensosialisasi dan mempromosikan ilmu ilmu local bagi generasi penerus.
  • Kesenian rakyar sebagai media untuk mengkritisi dan mensosialisasi dan mempromosikan ilmu ilmu local.
  • Majalah tiga bulanan, sebagai media untuk membangun kesadaran kritis para intelektual organic.

Persoalan apa yang muncul dalam Pemberdayaan?

Persoalan yang muncul dalam pemberdayaan adalah ada di dua tataran. Tataran pertama berada pada persoalan konseptual. Apakah pemberdayaan itu merupakan lanjutan developmentalisme atau bagian lain dari developentalisme itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya mudah, lihat saja apa acuan dan orientasinya! Apakah acuan dan oreintasinya masih pada modernisasi ? atau tidak? Kalau orientasi dan acuan dasarnya masih mengacu kepada modernisasi, berarti jargon pemberdayaan masih merupakan kelanjutan developing dan bagian lain dari kawasan itu. Oleh karena itu harus jernih dalam menghadirkan orientasi dan acuannya. Persoalannya ketika kita melihat acuan local non modernisasi sebagai acuannya, kita ada hambatan untuk mengelaborasi dan mengaktualisasi ilmu ilmu local dalam hal onotlogi (inti keilmuan), episthemologi (landasan keilmuan) dan methodology (bagaimana penerapannya). Hambatan itu muncul akibat kurangnya keseriusan kita, nara sumber dan materi materi dasarnya.

Persoalan yang akan muncul di pemberdayaan adalah persoalan teknis relasi. Karena sebagian besar masyarakat telah terhegemoni oleh modernisasi sebagaiacuan dan ukuran kualitas kehgidupannya. Sehingga ketika kita ingin ada perubahan keluar dari hegemoni itu akan ada banyak pertentangan di masyarakat itu sendiri. Kongkritnya banyak masyarakat yang suadah tidak mempercayaai lagi ilmu ilmu aslinya sebagai acuan kehidupannya. Oleh karena itu banyak sekali para aktivis pemberdayaan di lapangan tumbang akbat persoalan teknis ini.

***

Pemberdayaan Masyarakat Lesson Learned Program Penanggulangan Kemiskinan Di Daerah Industri Migas Fajar Sudarwo

Penanggulangan Kemiskinan dengan Pendekatan Pemberdayaan Sejak era reformasi bergulir dan berlakuknya Otonomi Daerah pada tahun tahun 1999, fungsi dasar pemerintah Indonesia disemua tingkatan berubah. Perubahannya pada fungsi melayani dan pembangunan menjadi fungsi memfasilitasi dan pemberdayaan. Pengelolaan fungsi melayani dan pembangunan telah dilaksanakan oleh Rezim Orde Baru lebih dari 32 tahun. Posisi pemerintah pada waktu itu adalah sebagai subyek utama yang mendesign, merencanakan dan melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi pelayanan publik dan pembangunan. Posisi warga masyarakat sebagai obyek untuk dilayani dan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Banyak hal yang telah berhasil secara riil khusunya dalam prestasinya menyediakan berbagai sarana fisik untuk kebutuhan dasar warga dalam hal makan, sandang, kesehatan dan pendidikan. Secara jujur Orde Baru telah mampu merubah kondisi dari kekurangan makan, sandang, pendidikan dan kesehatan menjadi berkecukupan. Namun juga ada berbagai implikasi negatifnya yaitu munculnya perilaku ketergantunga, memanjakan diri, konsumtif dan hidup secara boros. Pada era reformasi dan Otonomi Daerah, fungsi pelayanan dan pembangunan diganti menjadi fungsi fasiltasi dan pemberdayaan. Fungsi fasilitasi adalah memposisikan pemerintah sebagai fasilitor (pihak yang mempercepat dan memperlancar proses) warga masyarakat untuk mencukupi kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Fungsi Pemberdayaan adalah memposisikan pemerintah sebagai penggerak tumbuh dan berkembangnya vision, power/energi diri, potensi diri (spiritualitas, caracter, knowledge, skill, technology) warga masyarakat agar berdaya dalam menghadapi berbagai gejolak, dinamika dan persoalan global, nasional dan lokal. Sehingga akan terwujud menjadi warga masyarakat yang mandiri dalam meningkatkan kualitas kehidupannya dan mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupannya. Pengelolaan dan pelaksanaan fungsi fasilitasi dan pemberdayaan jauh lebih sulit dari pada menjalankan fungsi pelayanan dan pembangunan. Sebab program-program fasiltasi dan pemberdayaan secara sepintas tidak populis dan tidak terlalu “menarik” warga masyarakat. Lebih-lebih bagi masyarakat yang sudah terlalu lama mendapat berbagai bentuk pelayanan dan pembanguan yang berupa subsidi dan “bantuan”. Dipihak aparatus pemerintah, juga mengalami kesulitan dalam melakukan perubahan sikap dan perilaku. Perubahan yang paling sulit adalah berubahnya perilaku administratur, birokratis menjadi perilaku sebagai pelancar proses dan technical assistant. Tantatangan Utama Pemberdayaan Masyarakat Tantangan utama program pemberdayaan masyarakat secara substansial sama dengaan tantangan nasional pemerintahan Otonomi Daerah, yaitu dalam hal mengatasi dan mengentaskan kemiskinan. Pemerintahan Otonomi Daerah yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun, mengalami ”jatuh bangun” dalam mengatasi dan mengentaskan kemiskinan di wilayahnya. Ibaratnya bagaikan orang menimba air dari lautan yang tidak pernah terkuras walaupun sudah ditimba setiap hari dengan berbagai peralatan. Ada beberapa hasil penelitaan (termasuk angka dari BPS) menunjukan angka kemiskinan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tidak mengalami pengurangan bahkan ada fluktuasi yang membengkak khusunya pada saat warga terkena krisis sosial ekonomi atau terkena musibah bencana alam. Penanganan dan program pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan warga, sudah dan sedang terus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten. Pola penanganan pengentasan kemiskinan mengacu kepada berbagai cara pandang atau kerangka berpikir konvensional, seperti: Pertama, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah “nasib”. Solusi yang dilakukan adalah memberi semacam bantuan Cuma- cuma (caritative) tanpa sarat apapun (syaratnya hanya “miskin”). Kedua, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah “lemahnya sumber daya manusia” dan keterbatasan sarana dan prasarana. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan program-program pembangunan baik fisik maupun non fisik. Ketiga, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah adanya sistem atau struktur sosial ekonomi yang meminggirkan warga kecil untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Solusi yang dilakukan adalah mereformasi dan melakukan restrukturisasi berbagai sistem yang dapat memberi akses dan kesempatan warga miskin untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Keempat, pemahaman bahwa sumber kemiskinan adalah tidak/kurang berdayanya manusia menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang berkembang, baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan program program pemberdayaan masyarakat. Kelima, pemahaman bahawa sumber kemiskinan adalah adanya penafsiran nilai dan budaya yang menghambat percepatan warga untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Solusi yang dilakukan adalah melaksanakan revitalisasi nilai budaya dalam perspektif re-intepretation yang lebih mendukung warga miskin untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Lima pemahaman dan strategi di atas memang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah bersama stakeholder-nya. Secara manajerial dan kualitas penangannya untuk program-program diatas memang masih dalam proses penyempurnaan. Hal ini mengingat para apartus pemerintahan maupun warga masyarakat masih pada masa transisi perubahan dari kebiasaan melakukan kerja-kerja pelayanan dan pembangunan menjadi kerja kerja yang bersifat ”fasiltasi” dan pemberdyaan. Oleh karena itu sangat penting adanya berbagai masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan strategi dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program program pemberdayaan masyarakat. Hasil kajian IRE selama lebih dari dua tahun mencermati desa-desa di Wilayah kerja MCL-ExxonMobil di khususnya yang berada lapangan Blok Cepu memperoleh lesson learned bahwa ada perubahan karakter dan pemahaman ”miskin” bagi warga masyarakat. Perubahan ini sama dengan kondisi secara umum di masyarakat Indonesia. Jadi perubahan ini tidak hanya terjadi di wilayah Kabupaten Bojonegoro . Perubahan yang subtansial sedang terjadi adalah; Pertama; Ada pergeseran pemahaman stereotype tentang “miskin” bagi warga masyarakat. Label miskin yang dilekatkan kepada warga bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap “aib” atau hal yang perlu disembunyikan. Label miskin justru dianggap sebagai identitas yang dapat menjadi persyaratan social administrasi untuk mendapat hak menerima bantuan. Perubahan ini mempunyai pengaruh terhap berbagai program pengentasan kemiskinan. Kedua; fakta kemiskinan ada pergeseran dari kosentrasi kepada pemenuhan kebutuhan primer menjadi kosentrasi pada pemenuhan kebutuhan sekunder. Pengertian pemahaman kebutuhan primer pada paper ini adalah kebutuhan yang berhubungan dengan kepentingan untuk mempertahankan hidup secara fisik (makan, sandang, papan). Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang berhubungan dengan pemenuhan berbagai keinginan sesuai dengan wacana yang dimiliki. Ketiga; ada perubahan sumber asupan kebutuhan dasar dari asupan alam ke asupan “rekayasa”. Warga desa sebagaian besar beralih dari perilaku ketergantungan terhadap asupan alam (kelangkaan beras diganti dengan ubi, jagung dll) menjadi ketergantungan terhadap asupan berbagai rekayasa (kelangkaan beras diganti dengan indomi). Implikasinya terhadap berbagai perubahan berbagai persoalan kesehatan warga. Keempat, ada perubahan fakta dari ketidak tercukupinya kehidupan pada tingkat local menjadi fakta dari ketertinggalan terhadap berbagai perubahan gaya kehidupan global. Kelima, ada perubahan perilaku manajemen keluarga dari diversifikasi sumberdaya yang ada berubah menjadi ketergantungan terhadap industri imitasi. Artinya ada perubahan perilaku dari reproduksi di dalam rumah menjadi perilaku konsumtif terhadap berbagai barang industri produk instan dan imitasi yang kualitasnya jauh dari standard baku kesehatan manusia. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Pada era globalisasi ekonomi, persoalan kemiskinan menjadi semakin komplek dan meluas. Pengaruh resesi negara lain atau benua lain bisa berimbas terhadap munculnya kemiskinan di masyarakat tertentu. Begitu juga pada wilayah kerja tempat operasi pengambilan minyak bumi yang dikeloa perusahaan internasional. Niscaya pada wilayah tersebut akan dimasuki perilaku ekonomi global yang akan akan mempengaruhi perilaku ekonomi dan kehidupan lokal. Oleh karena MCL, IRE, dan Pemerintah Daerah beserta kelembagaan desa dalam penanggulangn kemiskinan di wilayah tersebut menggunakan startegi sistemik yang berkesinambungan dan mampu menggerakan seluruh elemen yang ada. Setrategi sistemik pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja MCL mengacu kepada perkembangan kerja pencarian dan pengambilan minyak. Dimana pada lima tahun pertama akan mengalami pelimpahan berbagai project dan bantuan untuk mendukung pekerjaan di tahap produksi awal sampai pada produksi puncak. Pada lima tahun kedua dan ketiga akan mulai ada penurunan volume berbagai pekerjaan/project namun akan ada peningkatan jumlah bagi hasil produksi minyak pada tingkat puncak produksi melalui APBD Kabupaten yang dapat menopang pengentasan kemiskinan. Pada lima tahun keempat dan kelima akan terjadi penurunan produksi minyak yang implikasinya akan ada penurunan jumlah bagi hasil yang diterima masyarakat melalui APBD kabupaten. Pada masa lima tahun keempat dan selanjutnya diharapkan warga sudah berdaya untuk menjaga kualitas kehidupannya. Pada lima tahun keenam dan masa depan masyarakat di lokasi kerja MCL-ExxonMobil akan mempunyai ketahanan pemberdayaan dirinya untuk menjaga kualitas kehidupannya. Dengan demikian MCL bersama Pemerintah Daerah beserta lembaga-lembaga Non Pemerintah yang didampingi IRE Jogjakarta mempunyai acuan untuk mewujudkan kriteria manusia, keluarga, desa dan masyarakat yang berdaya di wilayah kerja MCL sebagai berikut: 1. Indikator manusia/warga berdaya adalah: Sesuai dengan mandat nilai-nilai adiluhung para pendiri bangsa yang terkandung dalam filosofi character building manusia Indonesia, manusia/warga berdaya adalah; (a) Manusia yang mempunya karakter ”swa-karsa”, yaitu manusia yang mempunyai visioning, kehendak dan pasi kehidupan yang dituangkan dalam berbagai ide-ide kreatif dan inovatif untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kehidupannya.(b) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-karya”, yaitu manusia yang mempunyai karya untuk merealisasikan ide-ide kreatif dan inovasinya. (c) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-dana”, yaitu manusia yang mempunyai kemampuan pendukung untuk menopang karya-karyanya. (d) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-daya”, yaitu manusia yang mempunyai ketahanan untuk menanggung berbagai beban dan resiko yang menerpa kehidupannya. (e) Manusia yang mempunyai karakter ”swa-sembada”, yaitu manusia yang mempunyai kualitas diri yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan keluarga, masyarkat dan negara. 2. Indikator keluarga berdaya adalah: Sesuai dengan mandat konsesus nasional dalam perspektif perencanaan keluarga berencana, maka indikator keluarga berdaya adalah; (a) Keluarga yang mempunyai kemampuan mencukupi kebutuhan dasar dalam hal; makanan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. (b) Keluarga yang mempunyai kemampuan mengakses ke berbagai pusat-pusat sumberdaya yang dapat mendukung perkembangkan kualitas kehidupan keluarga. (c) Keluarga yang mempunyai kemampuan mewariskan lapangan kerja dan berusaha untuk generasi berikutnya. Tanpa harus menggantungkan diri pada sektor pekerjaan sebagai buruh atau pegawai. (d) Keluarga yang mempunyai kemampuan dalam berpartisipasi dan memberi kontribusi terhadap pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. (e) Keluarga yang mempunyai kemampuan melakukan kontrol sosial dan kontrol kebijakan yang ada hubungannya dengan kehidupan keluarganya. 3. Indikator desa berdaya adalah; Sesuai dengan UU 32/2004 dan berbagai peraturan dan perudang undangan yang berhubungan dengan desa, termasuk PNPM Mandiri Perdesaan, maka indikator desa berdaya adalah; (a) Desa mempunyai sistem informasi dan dokumentasi kependudukan dan potensi desa yang cepat mudah di update dan diakses. (b) Desa mempunyai perencanaan pembangunan jangka menengah desa sebagai acuan perencanaan tahunan desa, perencanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, dan rencana kerja tahunan desa. (c) Desa mempunyai rencana tata ruang dan tata wilayah desa sebagai acuan perencanaan tata desa. (d) Desa mempunyai minimal delapan peraturan desa untuk tata kelola pelayanan prima. (e) Desa mempunyai Badan Usaha Milik Desa yang mampu menjadi sumber pendanaan kelembagaan dan pembangunan desa. 4. Indikator masyarakat berdaya adalah; Sesuai dengan era globalisasi dan nilai-nilai universal dinama acuan karakter masyarakat adalah sebagai civil society atau masyarakat madani, maka indikator masyarakat adalah; (a) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai namusia demokratis, yaitu masyarakat yang menghormati proses partisipasi dan pengambilan keputusan secara bersama. (b) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai manusia yang menghormati Hak Asasi Manusia, yaitu masyarakat mempunyai kesadaran akan hak hak dasarnya dan sekaligus mampu mempertahankan cara non kekerasan. (c) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai masyarakat pluralis, yaitu masyarakat yang menghormati berbagai kultur budaya warga dunia sebagai manusia yang beradab. (d) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai penjaga terjadinya good governance, yaitu ada tata pengaturan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mendukung terjadinya masyarakat yang adil dan makmur. (e) Masyarakat yang mempunyai karakter sebagai penjaga pelestarian ekosisitem dan alam lingkungan. Positioning dan Kapasitas Kontribusi Program kerja sama IRE dan MCL dalam Penanggulangan kemiskinan. Positioning dan Kapasitas Program kerja sama IRE dan MCL dalam proses penanggulangan kemiskinan adalah sebagai daya stimulant dan pendukung Pemerintah Daerah beserta kelembagaan desa untu memberdayakan manusia, keluarga, desa dan masyarakat. Strategi yang dipilih adalah melakukan “Pendampingan dan Konsultasi Pemberdayaan Kepemimpinan dan Kelembagaan Desa di wilayah kerja MCL. Beberapa program yang telah dilakukan sejak akhir tahun 2007 adalah: Pertama, program pembangunan desa yang berbasis kawasan (cluster). Program ini adalah memfasilitasi dan menstimulant kerja sama antar desa untuk membangun fasilitas umum (Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi) yang direncanakan dan dilaksanakan bersama antar desa dalam satu cluster. Hasil program tersebut adalah mampu 21 infrastruktur penunjang kegiatan admin Desa, 19 Infrastruktur Kesehatan, 18 infrastruktur Pendidikan dan 17 Infrastruktur sosial dan ekonomi. Program tersebut telah mampu menggerakan swadaya sebesar Rp. 1,710,203,000 (satu milyar tujuh ratus sepuluh juta duaratus tiga ribu rupiah) Kedua, program penguatan kapasitas dan kemampuan pimpinan kelembagaan desa untuk menangani bencana banjir dengan pendekatan involvmen evacuation. Program ini mendorong dan mengembangkan manajemen penanggulangan bencana banjir yang berbasis kepada warga masyarakat sekitar bencana. Mengaktualisasi local value, local skill and local technology masyarakat sekitar bencana untuk menjadi stakeholder utamaa penolong warga yang menjadi korban. Jumlah desa yang menjadi peserta program ini adalah 12 kecamatan beserta 112 desa. Hasil program ini adalah adanya pengaturan dan SOP desa dalam penganan dan penggulangan bencana banjir berbasis masyarakat. Total swadaya setiap desa ketika menagani bencana bisa mengatasi lebih dari 80% dari seluruh kebutuhan para korban dalam hal kebutuhan pokok. Yang paling berat ditangani dari swadaya adalah perbaikan fasilitas umum yang rusak akibat banjir. Ketiga, program penguatan kapasitas pimpinan kelembagaan pendidikan dan desa untuk merencanakan, mengelola dan merawat fasilitas pendidikan. Program ini mendorong dan mengembangkan manajemen pengelolaan fasilitas pendidikan yang berbasis desa. Pimpinan kelembagaan pendidikan dan pimpinan desa bersama sama menggerakan warga untuk mengidentifikasi kebutuhan, merencanakan, melaksanakan dan merawat berbagai fasilitas pendidikan secara transparan dan partisipatip. Program ini telah mampu membangun 16 unit TK dengan total swadaya yang bisa terkumpul sebesar Rp 92,517,000 (sembilan puluh dua juta lima ratus tujuh belas ribu rupiah) Keempat, program pengembangan jaringan kerja sama antar pimpinan desa pada 15 desa di wilayah Banyuurip untuk melakukan proses saling belajar, saling tukar pengalaman, dan saling membantu penyelesaian persoalan persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintah dan pembangunan desa. Hasil program ini adalah adanya forum informal 15 desa yang secara rutin malakukan komunikasi dan konsolidasi untuk saling belajar dan tukar pengalaman mengelola pembanguan dan pemerintahan desa. Kelima, program peningkatan kapasitas pimpinan kelembagaan desa secara intensif. Program pendampingan desa ini pada jangka panjang adalah untuk mendukung pemberdayaan desa dalam proses mempercepat pengembangan pemberdayaan manusia, keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan warga masyarakat di desa-desa tersebut dan untuk jangka menengah (lima tahun pertama) adalah untuk; (1). Mendukung percepatan optimalisasi fungsi kelembagaan desa khususnya dalam pemberdayaan kelembagaan sosial (kesehatan, pendidikan dan ekonomi) untuk memberi pelayanan kebutuhan dasar warga masyarakat desa yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; (2) Mendukung percepatan kerjasama antar desa dan antar kelembagaan desa dan dengan pihak-pihak lain baik swasta maupun pemerintah yang ada hubungannya dengan program pembangunan dan pengelolaan pemerintahan desa. Fokus kegiatan pada tahun 2009/2010 adalah pada delapan desa di kecamatan Ngasem dan Kecamatan Kalitidu, yaitu: (1). Menggali, mengkaji, memprofile isi desa (in-depth village mapping) secara mendalam dan menyeluruh termasuk local content. serta persoalan, konflik dan jaringannya. Maksud local content tersebut adalah potensi dan keunggulan lokal khususnya dalam hal ekonomi yang meliputi sumberdaya alam, sumber daya manusia (termasuk yang pernah mendapatkan pelatihan dari MCL), sumberdaya kelembagaan (Lembaga lembaga bisnis, termasuk koprasi, KUD dll) dan produk unggulan. (2) Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen tata kerja, dan quality control untuk pemberdayaan kepemimpinan dan kelembagaan desa agar mampu mengelola pemerintahan dan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, (3). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen untuk pengelolaan dan tata ruang pembangunan desa. (4). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem dan instrumen untuk capacity building bagi organisasi masyarakat sipil agar lebih mampu memberi kontribusi kepada kualitas kesejahteraan warga dan mampu menghidupi dirinya. (5). Mendukung percepatan adanya kelembagaan, sistem, instrumen tata kerja dan quality control untuk pelayanan publik ditingkat desa, khususnya dalam hal kesehatan, pendidikan dan ekonomi. (6) Mereduksi atau mengelola potensi konflik menjadi bagian dari pola interaksi yang konstruktif dan mendorong terciptanya pola komunikasi serta relasi yang sehat antara pemerintah desa dan masyarakat setempat dengan MCL. Proses dan Metode: Pendampingan terhadap masyarakat khususnya untuk penguatan kepemimpinan dan kelembagaan desa memerlukan waktu yang relatif panjang, ketekunan, kredibilitas, konsisten serta “seni berkomunikasi”. Sebab para pemimpin dan tokoh desa adalah merupakan warga yang sangat dinamis, agak politis, menyimpan agenda kepentingan pribadi, cepat berubah dan mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang dianggapnya lebih memberi keuntungan pragmatis dirnya. Oleh karena itu untuk mendampingi mereka harus menggunakan pendekatan community engagement dan social psychology dalam kurun waktu yang tidak pendek. Sebab dalam pendampingan proses pemberdayaan tidak menggunakan kekuatan otoritas jabatan (seperti relasi antara camat dan kepala desa), juga tidak menggunakan kekuatan bantuan (seperti relasi antara funding dan penerima bantuan), juga tidak menggunakan kekuatan patron client (seperti relasi antara ketua adat dengan warga). Oleh karena itu telah dilakukan assessment secara mendalam, detil dan menyeluruh tentang kondisi desa sebagai bagaian awal pelaksanaan program ini. Metode Proses Pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJPM) Desa dan turunannya seperti Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa dengan mengacu pada PP No 72/2005 dan Permendagri No 38/2007 serta aturan terkait lainnya dan Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM) yang mengacu pada Permendagri No 51/2007 yang meliputi 3 pilar kegiatan, yaitu: (1) Penataan Ruang Partisipatif, (2) Penetapan dan Pengembangan Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa (PPTAD) (3) Penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan; Proses pembuatan program RPJPM dan PKPBM tersebut dimulai dengan penggalian visioning, ide, harapan dari berbagai forum, organisasi kemasyarakatan yang selama ini langsung mengajukan proposal dukungan program ke MCL dengan mengatasnamakan warga masyarakat. Metode yang digunakan dengan cara individual, informal, dan legal formal. Berbagai forum dan organisasi kemasyarakatan tersebut akan menuangkan visioning, ide, dan peran sertanya dalam pelaksanaan program, dan resource contribution mereka yang dituangkan dalam dokumen RPJPMDesa dan PKPBM. Proses pembuatan RPJPMDesa dan PKPBM juga akan melibatkan secara aktif pihak pemerintahan kecamatan dan pemerintahan Kabupaten agar menyambung/sejalan dengan RPJPM Kabupaten. Sehingga dengan itu akan ada jaminan bahwa pihak kabupaten mendukung secara riil RPJMDesa dalam bentuk merespon realisai usulan desa dari MUSRENBANGDES tahunan secara signifikan. Hasil program ini adalah: (1) Dokumen data kependududukanm potensi desa yang dapat diupdate dan diketahui secara cepat dengan metode web-click sistem di 8 desa. (2) Dokumen profiel desa dan set up manajemen aset desa di 8 desa. (3) Dokumen Perencanaan Jangka Panjang dan Menengah Desa (RPJMDes) di 8 desa. (4) Rencana tata ruang dan tata wilayah di dellapan desa lengkap panduan teknis untuk pembanguan desa yang memerlukan ruang dan tempat. Posisi kerja sama IRE dan MCL dengan program kerja sama IRE dan UNDEF. Lesson learned and best practices dari Program kerja sama IRE dan MCL adalah merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya program kerja sama IRE dan UNDEF dalam menanggulangi kemiskinan di wilayah MIGAS dan tambang. Dimana penanggulangan kemiskinan di wilayah tersebut membutuhkan pendekatan kemitraan dari pihak pemerintah daerah, Perusahaan, BP Migas, Pemerintah Desa dan Organisasi Masyarakat Sipil. Fokus kemitraan ini adalah berfokus kepada penguatan masyarakat untuk memberdayakan dirinya yang disupport dan distimulant dari berbagai pihak secara partisipatif, kreatif dan inovatif secara integrated dan berkelanjutan. Fokus kerja sama IRE, MCL, Pemerintah daerah dan Kelembagaan Desa yang telah berjalan selama ini adalah berfokus kepada pengembangan sistem kelembagaan dan kepemimpinan kelembagaan desa yang mampu menyediakan sistem sebagai berikut: Pertama, ada sistem dan data yang menjamin terjadinya kemudahan berbagai pihak untuk mengakses berbagai informasi yang berhubungan dengan penanggulangan kemisikinan secara cepat, tepat dan mudah. Sehingga mempermudah seluruh stakeholder yang akan melakukan dukungan terhadap pemberdayaan warga masyarakat. Pihak-pihak yang potensi mampu menyediakan kepada warga pelayanan kesehatan yang cepat, murah, berkualitas. Kedua, ada sistem dan data tentang perencanaan pembangunan jangka panjang desa yang dapat diakses secara cepat mudah dan valid. Ketiga, ada pengaturan yang menjamin terjadinya kerjasama stakeholder dengan kelembagaan desa untuk mewujudkan kemudahan warga memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Keempat, ada pengaturan desa dan kapasitas pimpinan kelembagaan desa yang mempermudah warga dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan hak haknya sebagai warga negara. Fokus program kerja sama IRE, UNDEF adalah sebagai media untuk menggalang dan memperkuat kemitraan dari semua elemen stakeholder agar ada sinergistas antar potensi dan dukungan dari semua elemen stakeholder. Hal ini penting mengingat upaya penanganan penanggulangan kemiskinan memerlukan pola kerja sama yang integrated, berkesinambungan dan dibutuhkan kemampuan berkreasi dan berinovasi dari berbagai pihak. Program ini juga akan memberi kontribusi terhadap proses pendokumentasian dan sosialisasi lesson learned and bast practices dari kerja sama antar stakeholder yang mampu berkreasi dan berinovasi untuk menanggulangi kemiskinan pada masyarakat di wilayah Migas dan Tambang. Sehingga dapat menjadi salah satu rujukan berbagai pihak baik di tingkat nasional, regional maupun global yang berkepentingan dalam penanggulangan kemiskinan di wilayah Migas dan tambang. ***

Selasa, 26 Juli 2011

TEKNIK MEMBANGKITKAN ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIP PEMBERDAYAAN DIRI

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)



FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA ETOS KERJA

Kita sering mendengar berbagai keluhan orang atau bahkan diri kita sendiri sering mengeluh dalam hal pekerjaan. Orang yang belum bekerja keluhannya adalah sulitnya mendapat pekerjaan. Sedangkan orang yang sudah bekerja baik karyawan swasta, karyawan project sampai pegawai negri sipil justru mengeluhkan pekerjaanya. Keluhan orang yang sudah bekerja justru lebih banyak macamnya, mulai dari keluhan tentang jumlah honor yang diterima, system dan peraturan kerja, target kerja, membuat laporan kerja, mendapat supervisi, evaluasi atau audit sampai kepada rekan kerja yang menyebalkan. Berbagai keluahan itu terus tertanam, terakumulasi dan teraktualisasi di dalam dirinya sampai diungkapkan kepada rekan sekerjanya maupun kepada orang lain di luar lingkungannya baik secara sadar maupun tidak sadar. Semua keluhan yang tertanam dalam dirinya akan didukung oleh “rasionalitas” dan “legitimasinya” yang ditemukan oleh pikirannya dan fakta fakta di luar dirinya yang mendukungnya. Keluhan keluhan seseorang tentang pekerjaanya akan saling bersambut dengan keluhan keluan dari reka kerjanya. Keluhan tersebut bermula secara individual kemudian akan merebak menjadi keluan kolektip. Apabila keluhan itu sudah menjadi keluhan kolektip maka kosentrasi para pekerja akan bermuara pada munculnya berbagai masalah dan hambatan yang seolah olah bersumber dari faktor diluar dirinya. Mereka biasanya menuduh terhadap peraturan, system, kepemimpinan pada organisasi / lembaga tempat naungan pekerjaannya.
Keluhan yang didukung oleh rasionalitas dari pikirannya akan menumpulkan kemampuan dalam menjelaskan dan meyakinkan kepada dirinya mengapa pekerjaan dan kekaryaanya tersebut menjadi pilihannya. Akibatnya orang tersebut kehilangan atas penghormatan, kebanggaan dan pengharapan terhadap pekerjaan dan kekaryaan yang telah menjadi pilihannya. Berkurangnya penghormatan dan kebanggaan tersebut lambat laun akan mengurangi atau bahkan menghilangkan etos yang ada pada dirinya. Padahal etos adalah merupakan sumber energy untuk berkarya, bekerja, dan daya mendorong untuk berkreasi dan berinovasi. Orang yang kehilangan sumber energy-nya biasanya akan kehilangan achievement motivation-nya, sehingga orang tersebut sering mengalami; kelesuan, keloyoan, kemalasan, mudah capai, kurang tekun, mudah putus asa, suka menunda nunda pekerjaan, suka melimpahkan pekerjaanya pada orang lain. Akibatnya orang tersebut sulit menghasilkan karya atau ciptaannya yang optimal.
Orang yang kehilangan etos kerja pada dirinya bisa jadi adalah orang orang yang melupakan sulitnya bagaimana memperoleh pekerjaan. Mereka melupakan bagaimana susah payahnya ketika sedang memperoleh pekerjaan tersebut. Pada saat akan mendapatkan pekerjaan tersebut banyak orang rela untuk berdesak desakan antri mendaftarakan diri, berjuang untuk lolos dalam ujian seleksi bahkan banyak kasus orang melakukan tidakan yang tidak terpuji seperti “menyuap” dan lain sebagainya. Mereka lupa terhadap puluhan bahkan ribuan orang yang sedang memimpikan terhadap pekerjaan yang sedang dia sandang.
Orang yang kehilangan etos kerja pada dirinya banyak yang tidak meninggalkan pekerjaanya. Karena mereka khawatir tidak dapat mendapatkan pekerjaan lagi. Orang yang berada posisi ini adalah orang yang dalam kondisi tidak “merdeka” atau “tertindas”. Ciri orang yang tertindas dalam pekerjaanya adalah; memandang pekerjaan adalah beban, target hasil kerja dianggap momok yang membayang bayangi kehidupannya, aturan kerja dianggap pemenjaraan dirinya untuk berkreasi dan berinovasi, pembuatan laporan dianggap sebagai hukuman, supervisi dan audit dianggap pemeriksaan terhadap dirinya yang menakutkan.
Orang yang kehilangan etos kerjanya pada umumnya menggantikan sumber energy dirinya dalam bekerja dan berkaryanya adalah karena adanya ketakutan atau mengejar hadiah/ganjaran. Hal yang sangat menakutkan bagi mereka adalah dikeluarkan dari pekerjaanya, diturunkan jabatannya, dikurangi honornya. Hal yang sangat didambakan adalah adanya kenaikan pangkat, kenaikan honor dan tambahnya fasilitas yang menambah kenikmatan hidupnya. Dorongan kerja dan karya yang seperti itu akan mebawa kerugian secara ganda, yaitu; (1) merugikan diri sendiri karena selamanya akan menjadi orang “tertindas” dan tidak mampu berinovasi dan berkrase. (2) merugikan institusi / organisasi karena hasil kinerjanya tidak pernah optimal namun high cost untuk pembelanjaan pegawainya. (3) Merugikan para pengguna atau pemanfaat secara luas karena tidak mampu memberi produk yang prima dan berkualitas namun harga mahal.
Hilangnya etos kerja bagi orang orang yang bekerja pada sector pelayanan public akan sangat menciderai performance secara kelembagaan. Hubungan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya berhubungan secara signifikan dengan etos kerja yang dimiliki oleh pegawai pemerintahannya. Lemabaga swasta baik yang non profit seperti lembaga swadaya masyarakat maupuan yang profit seperti perusahaan menaruhkan mati dan hidupnya lembaga pada etos kerja para aktivisnya. Lebih lebih bagi para pekerja pendamping pemberdayaan masyarakat seperti orang orang yang bergabung dalam PNPM baik yang menanganai perkotaan maupun perdesaan, etos kerja para pendamping / fasilitator / konsultan / relawan adalah menjadi tumpuhan untama bagi keberhasilan program programnya. Oleh karena itu keberadaan etos kerja adalah merupakan kunci keberhasilan atau kegagalan bagi kehidupan manusia secara universal. Dengan demikian menjaga dan membangkitkan etos kerja menjadi prioritas bagi masnusia, masyarakat, lembaga bahkan Negara yang akan maju dan berkembang.

ETOS KERJA KERJA DALAM PERSPEKTIP PEMBERDAYAAN

Dalam perspektip pemberdayaan, etos kerja sesorang adalah merupakan tanggung jawab dirinya dalam memelihara dan membangkitkannya. Hanya dirinyalah yang mampu memelihara dan membangkitkan etos kerjanya. Faktor dari luar dirinya seperti peraturan kerja, sistem kerja, manajemen dan kepemimpinan adalah hanya sebagai faktor pendukung belaka. Keberdayaan diri seseorang bukan datang secara misterius, tiba tiba atau pembawaan dari lahir. Pemberdayaan merupakan proses alami dimana orang telah melewati berbagai kondisi yang secara langsung atau tidak langsung menempa dirinya untuk menjadi orang yang berdaya. Kesulitan bagi sesorang adalah merupakan tempaan diri untuk mendapatkan suatu kecerdasan. Orang yang sering mendapat kesulitan dan selalu berusaha untuk menyelesaikannya akan mendapat kecerdasan dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya orang yang tidak pernah berani mengatasi berbagai kesulitan, dia tidak akan pernah mendapatkan tambahan daya kecerdasan dalam dirinya. Orang yang sering mendapat tantangan dalam kehidupannya dan berusaha untuk menghadapinya akan mendapat ketaguhan dan ketegaran dalam dirinya. Sebaliknya orang yang tidak pernah bernai menghadapi tantangan akan menjadi orang yang lemah dan mudah putus asa. Orang yang sering mendapat beban bila terus berusaha untuk menanggungnya akan mendapatkan tambahan daya kekuatan dirinya. Sebaliknya orang yang tidak pernah menanggung beban tidak akan pernah mendapat tambahan daya kekuatan didalam dirinya.
Orang orang yang cerdas mengatasi kesulitan, tangguh dalam menghadapi tantangan dan kuat dalam menanggung beban adalah orang orang yang berdaya. Etos kerja dalam perspektip orang berdaya adalah selalu dilatih dan ditumbuh-kembangkan di dalam dirinya. Bagaimana cara orang berdaya menjaga dan menumbuh kembangkan etos kerjanya yaitu memandang kesulitan bagaikan charger untuk meningkatkan daya kecerdasannya. Memandang tantangan dan hambatan sebagai charger untuk meningkatkan daya untuk ketangguhan dirinya, dan memandang beban sebagai charger untuk meningkatkan daya ketahannnya. Memandang ancaman sebagai charger untuk meningkatkan daya kesiapan dirinya. Sebaliknya orang orang yang tidak pernah menghadapi ancaman akan menjadi orang tidak pernah siap dalam menghadapi berbagai resiko. Etos kerja bagaikan sebuat accu atau batre yang selalu membutuhkan charger, bila tidak pernah di cahrger, etos kerja akan redup dan kemudian mati dan menjadi sampah yang tidak pernah ada gunanya.

MERUBAH KELUHAN MENJADI MEDIA PENINGKATAN KAPASITAS DIRI

Keluhan yang dirasakan sebagian besar orang yang bekerja adalah akibat dari cara memandang kesulitan bagaikan factor penghabat dalam proses kehidupannya. Kesulitan merupakan penderitaan dan siksaan. Maka sebagaian orang mengeluh dengan adanya berbagai kesulitan dalam pekerjaanya. Keluahan adalah merupakan ekpresi sepontan namun tidak penting untuk diteruskan dan ditanamkan dalam dirinya. Keluhan spontan terhadap kesulitan dalam pekerjaannya bisa dimaknai sebagai media pembelajaran untuk mendapatkan lesson learned tentang berbagai teknik dan strategi problem solving.
Keluhan terhadap hambatan dan tantangan kerja adalah hal yang wajar dan tidak salah diungkapkan. Namun keluhan yang terus menerus diungkapkan dan ditanamkan didalam dirinya justru akan menemukan rasionalisasi terhadap keluhannya namun tidak pernah mendapatkan jalan keluar untuk menghadapi tantangan dan hambatan tersebut. Tantangan dan hambatan adalah merupakan media pemicu diri untuk menggali dan mengembangkan kemampuan diri dalam menghadapi tantangan dan hambatan.
Keluhan terhadap target capaian kerja yang diamanatkan pada diri seseorang karena orang memandang bahhwa target kerja tersebut adalah merupakan beban berat bagi dirinya. Namun target capaian kerja yang diamanatkan pada dirinya sesungguhnya bisa dimaknai sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap kapasitas dirinya. Sebaiknya orang yang mendapat mandat untuk mencapai target hasil kerja perlu mengingat bahwa tidak semua orang mendapatkan mandat tersebut. Oleh karena itu sudah sepantasnya bila orang yang mendapat mandate tersebut memandang bahwa target hasil pekerjaannya adalah merupakan media membuktikan akan kapasitas dirinya yang sudah mendapat kepercayaan dan penghormatan dari pihak pemberi mandat.

TEKNIK MENINGKATKAN ETOS KERJA DENGAN MEMERDEKAAN DIRINYA

Dalam perspektip pemberdayaan, bahwa etos kerja bisa ditumbuhkan, dipertahankan dan dikembangkan oleh orang orang yang bekerja dalam suasana diri ”merdeka”. Karena orang merdeka menerima dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu anugrah hadirnya obsesi dan cita citanya. Orang merdeka memandang pekerjaan adalah merupakan media aktualisasi diri sebagai manusia yang diberi kesempatan untuk berkarya dan cipta selama hidupnya. Pekerjaan adalah merupakan bagian identitas diri yang paling berarti dalam hidupnya dibanding identitas lainnya yang melekat dalam dirinya. Pekerjaan yang selama ini disandangnya telah menjadi bentuk pengakuan dan penghormatan orang, institusi atau masyarakat kepada dirinya. Oleh karena itu jangan sekali kali menyia nyiakan pengakuan dan penghormatan tersebut. Namun perlu meningkatkan agar orang semakin mengakui, mempercayai dan memberi penghormatan terhadap identitas diri dengan cara menghormati dan terus menerus mencari berbagai rasionalitas yang mampu meyakinkan pada dirinya bahwa pekerjaan tersebut sangat bermanfaat bukan saja bagi diri pribadi, keluarga, dan orang atau institusi yang memberi mandat namun juga bermanfaat bagi kehidupan yang lebih luas. Orang merdeka dalam bekerja bisa menikmati proses berkarya cipta demi mengekspresikan prestasi dirinya. Orang yang merdeka dalam bekerja akan mengejar suatu prestasi sebagai kebanggaan dalam kehidupannya karena dapat menghasilkan karya dan cipta yang bisa bermanfaat mulai dari rinya, keluarganya, lembaganya dan kehidupan manusai yang lebih luas.
Sebaliknya orang yang tidak merdeka memandang pekerjaan yang disandangnya hanya sebagai alat untuk mencapai hasil atau kenikmatan semata. Pekerjaan merupakan suatu beban yang harus dikerjakan demi memperoleh hasil yang bisa dinikamati. Kenikmatan bukan berada pada proses mejalankan perkerjaan, bukan berada pada proses berkarya dan ciptanya namun kenikmatan bagi orang yang tidak merdeka berada pada hasilnya. Bahkan yang paling nista ada orang memandang proses bekerja dan proses berkarya cipta adalah merupakan ”penderitaan” dan ”siksaan”. Mereka lebih banyak mengejar hasil yang memberi kenikmatan dirinya. Maka apa bila ada kemungkinan mendapat hasil atau kenikmatan tanpa harus melalui proses bekerja, berkarya cipta, orang orang tersebut akan meninggalkannya. Sehingga banyak kasus terjadi di kehidupan ini orang tidak pernah bekerja dan berkarya namun bisa memperoleh hasil atau bisa hidup ”enak”. Orang orang seperti itu bisa terjerumus pada perilaku pemanjaan diri dengan jalan tanpa bekerja dan berkarya. Bila perilkau itu berkembang bisa terperangkap pada perilaku kriminal seperti korupsi, manipulasi dan lain sebagianya yang tidak saja merugikan dirinya namun juga merugikan banyak orang dan merusak sendi sendi kehidupan yang paling hakiki.
Kenikmatan bagi orang merdeka adalah berada pada proses bekerja dan berkarya ciptanya, kebanggan yang dimiliki adalah prestasi dan hasil karya yang bermanfaat pada kehidupannya dan kehidupan yang lebih luas. Maka orang orang merdeka selalu berusaha untuk mendapat atau menciptakan pekerjaan dan kesempatan berkarya cipta sebagai proses pembentukan identitas dan menemukan jati dirinya. Orang merdeka selalu berusaha mendapat dan menambah kepercayaan dari orang atau institusinya dengan bentuk mendapat target target hasil kerja yang menantang. Orang orang tersebut akan merasa sangat terhormat apabila bisa mendapatkan target kerja yang banyak orang tidak bisa mencapainya. Bahkan kalau tidak ada orang lain atau isntitusi yang memberi target kerja untuk dirinya, mereka akan membuat target kerja sendiri.
Orang merdeka memandang ”laporan kerja” sebagai media untuk menyampaikan berbagai prestasi kerjanya untuk mendapat pengakuan akan kapasitasnya. ”Laporan kerja” juga merupakan media bagi orang merdeka untuk menunjukan dan mengungkapkan berbagai kegagalannya secara utuh untuk menjaga dan menambah kredibiltas dirinya. Sebaliknya orang yang tidak merdeka memandang ”laporan kerja” sebagai bentuk penghambaan diri pada pemberi kerja. Laporan kerja dianggap sebagai beban berat sebagai hamba yang harus bisa menyenangkan hati atasan kerjanya atau pemberi kerjaanya. Maka tidak jarang mendengar orang berkeluh kesah ketika diminta membuat laporan kerja dan bahkan ada yang sampai setres dalam membuat laporan kerja.
Orang merdeka dalam bekerja memandang supervisi, inspeksi, audit dan evaluasi kerja sebagai media untuk membangan kredibilitas dirinya terhadap pekerjaan yang dimandatkan. Orang merdeka sangat membutuhkan suatu bukti yang diakui oleh banyak pihak terhadap prestasi presti atau keberhasilan yang telah diraihnya. Orang merdeka juga sangat membutuhkan untuk ditunjukan bukti bukti yang obyektip terhadap berbagai kegagalan dan ketidak berhasilannya dalam bekerja dalam rangka untuk memperbaiki kualitas kinerjanya. Orang merdeka sangat risau dan ragu apabila pekerjaannya tidak pernah mendapat supervisi, inspeksi, audit atau dievaluasi. Mereka sangat tidak menerima berbagai statement atau keputusan yang berhubungan dengan pekerjaanya yang tidak melaui proses tersebut. Sebaliknya orang yang tidak merdeka dalam bekerja memandang supervisi, inspeksi, audit dan evaluasi kerja sebagai bentuk interogasi, penyelidikan, penyidikan dan pengadilan dirinya sebagai hamba yang seolah olah akan menjadi ”nara pidana” yang siap untuk diberi ”hukuman”. Maka dari itu banyak orang yang sangat ketakutan daan bahkan sering menghindar kalau akan ada audit evaluasi atau inspeksi terhadap hasil pekerjaannya. Upaya untuk membangun kepercayaan bagi orang orang tidak merdeka lebih suka dengan melakukan pendekatan ”mengambil kebaikan hati” para atasan kejanya atau pemberi mandat kerja.

MENGHADIRKAN OPTIMISME KE DALAM HATI DAN PIKIRANNYA
Secara konvensional orang orang yang bisa memerdekakan dirinya adalah mempunyai kemampuan untuk menghadirkan optimisme dalam pikiran dan hatinya. Menurut berbagai sumber di internet seperti yang saya kutipkan ini bahwa bahwa optimisme dapat mendukung dan mengembangkan diri sebagai manusia merdeka karena orang merdeka harus mampu memecahkan berbagai masalah dan mengatasi tantangan secara mandiri. Sifat orang optimis menurut McGinnis adalah orang yang mampu untuk memecahkan masalah. Orang tersbut juga menyimpan segudang alternatif pemecahan masalah dimana ketika satu cara pendekatan penyelesaian masalah gagal maka ia akan beralih ke alternatif lainnya. Selain itu orang yang optimis adalah orang yang berbicara secara leluasa tentang perasaan negatifnya seperti halnya C.S. Lewis pada contoh di atas. Tekanan jiwa sering disebabkan oleh menelan suatu emosi negatif, yang paling umum adalah kemarahan dan kesedihan. Menjadi orang yang optimis bukan berarti menolak emosi yang dirasakan tetapi menerima perasaan negatifnya dan menyatakan perasaan negatifnya tersebut.
Beberapa saran yang diberikan oleh banyak akhli ilmu jiwa seperti yang saya ambil dari salh satu situs di internet, untuk dapat menjadi orang yang optimis, diantaranya : Berpikir positif; Menilai diri sendiri dengan positif, bukan mengatakan bahwa "Saya adalah orang yang tidak berguna." Atau "Saya adalah seorang pekerja yang gagal yang tidak mungkin berhasil.". PIkiran yang positif akan mengarahkan kita untuk memiliki sikap-sikap yang tidak mudah menyerah. Membantah keyakinan yang negatif dalam diri sendiri; Seringkali kita berbicara dengan diri sendiri (self talking) mengenai keyakinan yang negatif dalam diri sendiri. Kita tidak menyadarinya karena sudah sering dilakukan dan akhirnya menjadi kebiasaan. Untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini, Dr. Seligman menyarankan agar menuliskan pemikiran atau keyakinan yang negatif apa saja yang muncul tentang diri sendiri. Kemudian beranikan diri untuk membantah pemikiran tersebut. Menikmati; Berusaha untuk menemukan hal-hal yang dapat dinikmati seburuk apa pun situasi yang dihadapi. Menikmati percakapan yang terjadi dengan sang interviewer walaupun akhirnya tidak lolos dalam seleksi kerja, menikmati dinginnya udara ketika hujan turun dengan sangat derasnya, dan sebagainya.
Uraian saya di atas memaparkan bahwa etos kerja bagi orang berdaya adalah harus tekun mengikuti proses pembelajaran untuk menempa diri dalam rangka meningkatkan etos kerjanya sebagai proses aktualisasi dan pengemabangan diri sebagai manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan kehidupan lebih luas. Kuncinya berani berubah untuk meninggalkan perilaku yang memenjarakan dirinya. Jadilah orang merdeka sekarang juga. Karena hidup tidak akan bermakna apapun tanpa ada kemerdekaan dalam dirinya termasuk merdeka dalam bekerja....Selamat mencoba.

Rabu, 20 Juli 2011

Menejemen Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah

Pendahuluan
Berbagai jawaban kritis warga muncul ketika berbagai NGO Indonesia di era reformasi melakukan FGD dengan warga masyarakat sipil tentang peran pemerintah terhadap kehidupan warga masyarakat. Sebagaian warga menjawab bahwa peran pemerintah hampir disamanakan seperti yayasan sosial. Yaitu sebagai lembaga penyalur bantuan, atau tenaga proyek lembaga donor bukan sebagai institusi negara yang mengelola menejemen pelayanan publik.
Peran Pemerintah Daerah dalam era Otonomi Daerah (UU 32/2004 sebagai pengganti UU 22 / 99) juga disamakan sebagai lembaga penyalur “dana bantuan dari pusat’. Apakah benar bahwa realita peran Pemerintah Daerah hanya sebagai “tukang pos” mengantar kiriman dana dari pusat untuk warga masyarakat? Atau hanya seperti institusi pelaksana proyek dari pusat?
Kalau saja Pemerintah daerah berperan sebagai ‘tukang pos’ atau tenaga proyek pemerintah pusat. Dihubungkan dengan struktur pembelanjaan keuangan daerah (APBD) yang rata rata diatas 60% terserap untuk biaya aparatus dan operasional sedangkan untuk rakyat dibawah 40% apakah masih layak sebagai ‘tukang pos’ / pekerja proyek yang effisien?
Pertanyaan lebih jauh, kalau saja tidak ada dana dari Pemerintah Pusat baik DAU atau dana dana lainnya tidak ada. Bagaimana eksistensi Pemerintah Daerah, apakah akan bubar? Kalau tidak ada Pemda bagai mana nasib rakyat?....Kelihatannya rakyat akan tenang tenang saja. Sebab di era kehidupan ‘pasar bebas’ dimana negara tidak mampu mengontrol kehendak pasar seperti kasus mahalnya dan langkanya minyak goreng akibat pemerintah tidak mampu mengendalikan produsen bahan baku minyak goreng. Ada benarnya juga kalau warga tidak terlalu hirau dengan keberadaan Pemerintah. Secara akademis juga sudah ada buku Governance without Government yang mempertanyakan peran pemerentah terhadap kesejahteraan kehidupan warga? Logikanya warga butuh jalan raya, namun selama masih ada produsen mobil dan motor, jalan raya pasti akan dibangun mereka. Ketika warga butuh pendidikan, selama ada lembaga bisnis pendidikan, tetap masih ada sekolahan…toh sekolah yang dikelola pemerintah pun mahal juga. Ketika warga butuh kesehatan selama masih ada pedagang obat dan bisnis kesehatan, tetap masih ada rumah sakit. Logika logika “nyleneh” itu semakin menggelinding ketika pemerintah tidak mampu menunjukan kualitas menejemen pelayanan publik.
Image Publik terhadap Pelayanan Publik RI
Ada kasus ketika warga Indonesia menggunakan jasa pelaksana Rusamah Sakit Penang Malesia. Dimana pelayanan terhadap para pasien sangat prima; dimana satu pasien didampingi tiga perawat, satu dokter umum secara intensip dengan supervisi dokter akhli. Namun biaya jasa pelayanan itu jauh lebih murah dari pada pelayanan publik kesehatan di Rumah Sakit Negeri Indonesia. Sementara gaji / honor para medisnya jauh lebih tinggi dari pada gaji yang diterima oleh para medis di Rumah Sakit Negri Indonesia. Sementara tidak ada subsidi apapun dari negeri. Kualitas pelayanan, murahnya biaya pelayanan dan sejahteranya para pegawai semata karena adanya kecerdasan menejemen para pemimpin unit kerja pelayanan, bukan karena adanya santunan atau subsidi dari manapun.
Logika pelayanan publik di Inodonesia secara umum adalah; kalau warga ingin mendapat pelayanan prima dia harus bayar mahal, atau ada pelayanan prima tetapi kesejahteraan pegawainya rendah (sukarelawan sosial), atau kalau ada subsidi negara yang berlimpah! Logika ini berjalan kalau belum ada kecerdasan menejeman. Artinya tanpa menejemenpun kalau pengguna jasa itu bisa membayar mahal, pelayanannya semestinya bisa prima, atau pelayanan prima dan pengguna membayar murah tetapi para karyawannya upahnya rendah inipun tanpa menejemen pun bisa. Sebab analogi menejemen adalah bagaikan perut orang sehat, dimana masuk kopi tidak keluar kopi namun masuk kopi keluar energi manusia yang berlipat. Kalau perut manusia dimasuki kopi keluarnya kopi, maka fungsi perut itu sudah tidak ada, atau menejemen pengolahan makan / minum di perut tidak ada!
Dengan demikian pertanyaannya apakah di Indonesia khususnya para kepala SKPD di Pemerintah Daerah Sleman sudah menerapkan menejemen yang cerdas untuk mengelola pelayanan yang prima, biaya murah dan karyawan sejahtera?
Perkembangan Ilmu Menejemen Publik
Sejak pertengahan tahun 1980 di Eropa dan Amerika terjadi perubahan menejemen menejemen sektor publik yang cukup dratis dari tradisional (Kaku, birokratis, hirarkhis) menjadi ke new public management yang berorientasi penilaian kinerja dan effisien bukan berorientasi pada kebijakan. Strategi menejemen tersebut menggunakan pendekatan rethingking and reiventing goverment. Salah satu model pemerintahan di era New Publik Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep “reiventing government Elemen reiventing government secara umum terdiri dari:
Pemerintah Katalis; Fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah Daerah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Sebaiknya Pemda memfokuskan diri pada pemeberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta atau LSM. Pemerintah Daerah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non pemerintah.
Pemerintah milik Masyarakat; Pemerintah Daerah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong diri sendiri (Community self-help).
Pemerintah yang Kompetetip; Peran Pemerintah daerah adalah menyuntikan semangat kompetetip pada birokrasinya. Kompetisi adalah satu satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Pemerintahan yang digerakan oleh Misi; Mengubah organisasi yang digerakan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakan oleh Misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, relatip terhadap kondisinya di tahun sebelumnya.
Pemerintah yang berorientasi pada hasil; Pada pemerintah daerah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi (Pemerintah Daerah membiayai masukan). Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijaksanaan ini kelihatan logis dan adil, tetapi yang terjadi adalah unit kerja tidak mempunyai insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Jsutru mereka memiliki peluang baru: semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah Daerah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu: membiayai hasil dan bukan masukan. Pemda wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja, yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Pemerintah yang berorientasi pada pelanggan; Orintasi Pemerintah Daerah berorintasi memenuhi pelanggan bukan birokrasi. Pemda tradisional sering salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Penerima pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya harus disetujui oleh DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan APBD adalah pelanggannya. Tetapi bila mereka menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka pelanggan yang sebenarnya akan dilupakan. Dalam kondisi ini Pemda tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis, mereka seringkali arogan. Pada Pemerintah Daerah wirausaha akan memfokuskan pada pelanggan yang sebenarnya. Mereka akan menciptakan dual accountability yaitu kepada DPRD dan kepada masyarakat / bisnis.
Pemerintah Wira-Usaha; Ciri utamanya adalah mampu memberikan “pendapatan” bukan hanya membelanjakan. Pemerintah Daerah harus meninggalkan cara cara lama yang hanya membelanjakan “jatah negara”. Namun perlu mengembangkan berbagai sumber sumber pendapatan yang tidak memberatkan masyarakatnya. Hindari sumber pendapatan dari hasil pungutan warga.
Pemerintah Antisipatip; Pemerintah Daerah tradisional yang birokratis memsuatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik. Pemda birokratis cenderung bersifat reaktif. Pemda wirausah tidak reaktif tetapi proaktif. Tidak hanya mencerna masalah yang ada tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Menggunakan perencanaan strategis untuk menentukan visi daerah.
Pemerintah Desentralisasi; Pemerintah Daerah sudah harus mulai memberikan kewenangan kewenangan teknis kepada unit unit kerja pemerintah daerah yang paling dekta dengan pelanggan.
Pemerintah Yang Berorientasi Pasar; Pemerintah Daerah melakukan perubahan dengan menggunakan mekanisme “pasar” yaitu ada sistem insentif dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan).
Semangat Pelaksanaan Di Indoensia
Semangat untuk memperbaharui menejemen pemerintahan di Indonesia sudah mulai terlihat. Hal ini bisa dilihat di sekian banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh perintah Republik Indonesia, antara lain adalah: Inpres No.7 tahun 1999 tentang AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah); Seluruh instansi pemerintah harus mempertanggungjawabkan tugas pokok dan fungsinya. SK Kepala LAN No.589/IX/6/1999: Pedoman Penyusunan LAKIP; untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja instansi pemerintah. SK Kepala LAN No.239/IX/6/8/2003: Perencanaan strategis harus berorientasi kepada hasil. Renstra (Rencana Strategis) dibedakan dengan Renja (Rencana Kerja). Semangat perubahan terebut dilandasi oleh pemahaman Kementrian pemberdayaan Aparatur Negara tentang performance birokrasi Pemerintah daerah pada era reformasi adalah: (1) SKPD yang ada terlalu banyak, tidak ramping, tidak effisien dan tidak optimal effektivitasnya. (2) Sebagaian besar PNS non fungsional (guru dan para medis) mengalami kelelahan psikhologis karena hampir setiap hari datang ke kantor tidak jelas apa yang harus dilakukan. (3) Kerja SKPD beserta PNSnya (Non guru dan paramedis) tidak jelas kerjanya dan sering “terlihat” santai dan di jalanan di waktu jam kerja. (4) Pelayanan publik SKPD untuk kebutuhan administrasi warga lambat, berbelit belit, dan sangat tergantung kepada kepala unit kerjanya. (5) Berbgai Tupoksi secara substansial telah diatur Tetapi menjabarkannya belum optimal dilakukan oleh SKPD, maka ada beberapa kasus PNS kurang jelas output kerjanya.
Strategi perubahan menejemen pemerintah salah satunya adalah melakukan reformasi birokrasi yang berhubungan dengan hal hal elementer sebagai berikut:
• Pembaharuan mind-set & Cultural-Set yang meliputi; 1.Pengembangan budaya kerja (penerapan nilai budaya kerja pada setiap unit pelaksana pelayanan publik) 2. Internalisasi & konkritisasi Prinsip tata pemerintahan yang baik.
• Sistem Manajemen Pemerintahan yang meliputi; 1.Penciptaan pola dasar organisasi lembaga pemerintah (unit pelaksana pelayanan publik). 2.Pengubahan dari menejemen ketatausahaan ke menejemen SDM Aparatur. 3.Simplikasi & Otomatisasi tata laksana, sistem, prosedur, & Mekanisme pelayanan publik. 4.Perbaikan sistem pengelolaan aset/barang milik negara. 5.Pembaharuan sistem manajemen keuangan unit pelayanan publik. 6.Perbaikan sistem pengawasan & akuntabilitas aparatur.
Fokus perubahan menejemen pemerintah dalam era otonomi daerah adalah:
Perbaikan Sistem & Mekanisme Pelayanan Publik; tujuannya adalah (1) Terwujudnya sistem & mekanisme pelayanan publik yang sederhana, mudah, transparan, Dan akuntabel (2) Menyederhanakan & memangkas prosedur pelayanan publik yg panjang & bertele-tele. (3) Mengadakan simplifikasi dan otomatisasi pelayanan publik. (4) Memperbaiki sarana & prasarana pelayanan publik termasuk desain office lay out. Indikator keluaran hasil perbaikan tersebut adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung terjadinya Perbaikan Sistem & Mekanisme Pelayanan Publik. (b) Terwujudnya Masyarakat & dunia usaha lebih mudah,murah,cepat,& tepat dalam memperoleh pelayanan publik. (c) Terjadinya penghapusan perantara, percaloan, dan pungutan liar. (d) Meningkatnya kinerja unit untuk pelaksana pelayanan publik. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Mengadakan pendataan & inventarisasi pelayanan publik.
2. Mengadakan kajian & analisis sistem dan mekanisme pelayanan publik.
3. Membuat rancang bangun sistem pelayanan publik.
4. Mengembangkan sistem pelayanan terpadu.
5. Memantau dan mengevaluasi implementasi sistem dan mekanisme pelayanan publik.
Pengembangan E-Gov ; Terwujudnya sistem manajemen pelayanan publik yang handal dengan menggunakan Teknologgi Informasi (TI) yang meliputi E-office, E-procedurement.1.Pengembangan sistem pelayanan yg handal & terpercaya serta terjangkau masy.luas. 2.Optimalisasi pemanfaatan TI. 3.Pengembangan SDM aparatur di bidang TI. 4. Efisiensi & efektivitas tatalaksana administrasi pemerintah. Indikator capaian hasilnya adalah: (a) Jumlah instansi yang mengimplementasikan E-Gov. (b) Jumlah aplikasi E-Gov yang terimplementasi di instansi. (c) Masyarakat & dunia usaha mudah memperoleh pelayanan. (d) Mengurangi tatap muka & pungutan liar dalam pemberian pelayanan. (e) Meningkatnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Menginventarisasi/mengidentifikasi jenis pelayanan yang dapat di elektronisasikan..
2. Pembuatan rumusan kebijakan, regulasi & aturan otomatisasi di instansi.
3. 3.Merancang sistem aplikasi untuk masing-masing pelayanan.
4. 4.Identifikasi permasalahan & evaluasi implementasi E-Gov di beberapa departemen,
5. lembaga non departemen dan beberapa pemda.
Kajian/ Penerapan Sistem Reward & Punishment; Terwujudnya sistem reward and punishment yang adil dan proporsional dalam melaksanakan pelayanan publik. Sehingga dapat mendorong terjadinya: 1Memotivasi pegawai pelaksana tugas pelayanan publik. 2.Meningkatkan kinerja aparat pelaksana pelayanan publik. 3.Meningkatkan insentif aparat pelaksana pelayanan publik. Indikator capaian hasilnya adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung Penerapan Sistem Reward & Punishment. (b) Meningkatnya kinerja aparat pelaksana tugas pelayanan publik. (c) Meningkatnya kesejahteraan pegawai sesuai tingkat prestasi yang diraih. (d) Meningkatnya disiplin pegawai. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Mengadakan pendataan dan inventarisasi pelayanan publik yang memperoleh pendapatan.
2. Mengadakan kajian&analisis sistem reward and punishment aparat pelaksana pelayanan publik.
3. Membuat rancangan jenis-jenis penghargaan dan insentif, pejatuhan sanksi hukum dalam pelayanan publik.
4. Memantau dan mengevaluasi implementasi sistem reward and punishment dalam pelayanan publik.
Perbaikan Sistem Rekruitment Pegawai; Tujuannya: (a) adanya CPNS yang sesuai dengan kebutuhan organisasi dan formasi yang tersedia. (b) Penyempurnaan sistem rekruitmenCPNS melalui penyeleksian yang terencana, sistematik, transparan, non deskriptif, adil dan akuntabel. Indikator capaiannya adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung Perbaikan Sistem Rekruitment Pegawai. (b) Tertibnya penyelenggaraan CPNS tanpa adanya katebelece dan praktek KKN. (c) Diperolehnya CPNS yang berkualitas. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1.Mengadakan evaluasi penyelenggaraan penyeleksian CPNS selama ini.
2.Menyiapkan peraturan pengganti sistem rekruitmen CPNS.
3.Mengadakan sosialisasi sistem rekruitmen CPNS.
4.Mengembangkan sistem rekruitmen dengan menggunakan sistem elektronik.
5.Memantau dan melaporkan pelaksanaan rekruitmen CPNS.
Perbaikan Sistem Penggajian / Remunerasi PNS; Tujuannya adalah: Terwujudnya sistem penggajian/remunerasi PNS berdasarkan merit system, bobot jabatan dan prinsip equal work for equal pay. Sehingga dapat untuk : 1.Memotivasi pegawai pelaksana tugas pelayanan publik. 2.Meningkatkan kinerja aparat pelaksanai pelayanan publik. 3.Meningkatkan insentif aparat pelaksana pelayanan publik. Indikator capaiannya adalah: (a) Adanya RUU, PP, PEPRES, KEPRES, KEPEN / Pimpinan Lembaga, PERDA dan/atau Kep.kepala daerah yang mendukung Perbaikan Sistem Penggajian / Remunerasi PNS. (b) Adanya sistem penggajian / remunerasi yang sesuai dengan bobot tugas dan tanggung jawab PNS. (c) Meningkatnya kesejahteraan PNS. Untuk mewujudkan capaian hasil tersebut Pemerintah Indonesia ‘bersemangat’ mendorong Pemerintah Daerah melakukan kegiatan:
1. Mengadakan pendataan dan inventarisasi sistem penggajian yang berlaku di dunia usaha dan negara tetangga.
2. Mengadakan evaluasi sistem penggajian dan remunerasi yang berlaku saat ini.
3. Menyiapkan kajian akademis & peraturan pengganti sistem penggajian dan remunerasi CPNS.
4. Mengadakan sosialisasi sistem penggajian dan remunerasi PNS.
5. Memantau dan melaporkan pelaksanaan sistem penggajian dan remunerasi yang baru.
AKUNTABILITAS (accountability): ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas lembaga publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat, dan apakah pelayanan tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhny. A good synonym for the term accountability is answerability. An organisation must be answerable to someone or something outside itself. When things go wrong, someone must be held responsible. (Starling, 1998:164)
JENIS-JENIS AKUNTABILITA, (Stewart, 1989); Policy Accountability, akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat; Program Accountability, akuntabilitas atas pencapaian tujuan/hasil dan efektifitas yang dicapai; Performance Accountability, akuntabilitas terhadap kinerja atau pelaksanaan tugas sebagai pelayan masyarakat; Process Accountability, akuntabilitas atas proses, prosedur atau ukuran yang layak dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang ditetapkan. ;Probity and Legal Accountability, akuntabilitas atas penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang disetujui atau ketaatan terhadap undang-undang yang berlaku.
KINERJA (performance): Hasil akhir (output) organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, transparan dalam pertanggungjawaban, efisien, sesuai dengan kehendak pengguna jasa organisasi, sesuai dengan visi dan misi organisasi, berkualitas, adil, serta diselenggarakan dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Kinerja (menurut Pedoman LAKIP dari LAN): Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi.
INDIKATOR KINERJA; Efisiensi: Perbandingan antara input dan output, untuk mengukur bagaimana organisasi memanfaatkan faktor-faktor produksi; Efektivitas: Apakah tujuan organisasi tercapai? Terkait dengan rasionalitas teknis dan misi organisasi; Keadilan: Mempersoalkan distribusi dan alokasi layanan; Daya tanggap (responsivitas): Apakah layanan umum sudah memenuhi harapan masyarakat; Produktivitas: Apakah aparat dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan misi organisasi; Kualitas layanan: Apakah organisasi pemerintah dapat melaksanakan layanan publik yang memudahkan dan memberi kepuasan kepada masyarakat.
PERATURAN TENTANG PENILAIAN KINERJA; Inpres No.7 tahun 1999 tentang AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah); Seluruh instansi pemerintah harus mempertanggungjawabkan tugas pokok dan fungsinya; SK Kepala LAN No.589/IX/6/1999: Pedoman Penyusunan LAKIP; untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja instansi pemerintah; SK Kepala LAN; No.239/IX/6/8/2003: Perencanaan strategis harus berorientasi kepada hasil. Renstra (Rencana Strategis) dibedakan dengan Renja (Rencana Kerja).

Bagaimana Penerapannya Di PEMDA
Untuk menstimulant lokakarya ini perlu merefleksi kinerja SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten dengan perspektip sebagai berikut:
1. Refleksi menejemen SKPD dalam perspektip ekonomi; Hal ini penting untuk: (a) Memperoleh gambaran apakah penggunaan sumber daya / aset (Manusia, Gedung, Peralatan dll) dikelola secara hemat atau tidak? (b) Memperoleh informasi apakah SKPD yang ada telah mematuhi peraturan per undang undangan yang berkaitan dengan kehematan dan effisiensi.
2. Refleksi effisiensi menggunakan dasar value for money (VFM); Hal ini penting untuk memperoleh informasi: (a) Apakah pelayanan publik yang diberikan tepat sasaran? (b) Apakah terjadi peningkatan mutu kualitas pelayanan? (c) Apakah biaya pelayanan murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources? (d) Apakah alokasi alokasi belanja lebih berorientasi pada kepentingan publik? (e) Apakah ada peningkatan public awarness sebagai akar pelaksanaan pertanggung jawaban publik?
Untuk refleksi tersebut menggunakan indikator standar universal sebagai berikut:
1. Efisiensi: Perbandingan antara input dan output, untuk mengukur bagaimana organisasi memanfaatkan faktor-faktor produksi
2. Efektivitas: Apakah tujuan organisasi tercapai? Terkait dengan rasionalitas teknis dan misi organisasi
3. Keadilan: Mempersoalkan distribusi dan alokasi layanan
4. Daya tanggap (responsivitas): Apakah layanan umum sudah memenuhi harapan masyarakat
5. Produktivitas: Apakah aparat dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan misi organisasi
6. Kualitas layanan: Apakah organisasi pemerintah dapat melaksanakan layanan publik yang memudahkan dan memberi kepuasan kepada masyarakat.
Out-put dalam tindak lanjut lokakarya bagi kepala kepala SKPD di Kabupaten Sleman adalah kemampuan MERANCANG MANAJEMEN KERJA yang menghasilkan:
1. Kalitas pelayanan prima (Tepat, Cepat, Berkualitas, nyaman, dan murah bagi warga masyarakat).
2. Mampu memberi reward and punishment bagi karyawannya.
3. SKPD nya mampu memberi kontribusi terhadap PAD.
4. Performance SKPD yang dipimpinnya dapat memberi kontribusi langsung terhadap visi misi kepala daerah, RPJMD dan RPJPN.

Rabu, 27 April 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Fajar Sudarwo (Mas jarwo)

PENGERTIAN DASAR

Hasil lesson learned saya sebagai pendamping/fasiliator dan motivator pemberdayaan masyarakat lebih dari 20 tahun menangkap satu pengertian bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses social menambah daya kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sesuai dengan dinamika lingkungannya. Daya kemampuan masyarakat berbeda beda dan mempunyai spesifikasi sendiri pada setiap komunitas. Setiap komuitas mempunyai modal social, sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, beban, persolan dan tantangan yang berbeda beda. Oleh karena itu proses percepatan peberdayaan pada setiap masyarakat berbeda beda pula.

LANDASAN BERPIKIR

Otology; dalam ranah teori ilmu ilmu social inti fakta social pemberdayaan masyarakat masuk pada ranah non-realis atau bisa disebut nomotetis. Dinama fakta social pemberdayaan masyarakat adalah merupakan pikiran manusia. Fakta social pemberdayaan ada pada pikiran manusia. Dengan demikian ada berbagai pemahaman fakta social pemberdayaan masyarakat dari berbagai pikiran orang.

Epistemology; landasan berpikir atau landasan keilmuan pemberdayaan masyarakat lebih berada pada landasan keilmuan non positivis. Dimana fakata social pemberdayaan masyarakat tidak berlandaskan pada keilmuan “obyektivitas” atau ilmu alam. Fakta pemberdayaan masyarakat sulit untuk digeneralisasi seperti ilmu ilmu alam. Misalnya fakta berdayanya masyarakat desa tertentu akan berbeda dengan desa lain.

Methodology; methodology untuk memahami fakta social pemberdyaan masyarakat lebih tepat menggunakan description dan kualitatif dari pada menggunakan statisitik atau kuantitatip. Karena fakta social pemberdayaan masyarakat lebih bersifat subyektip yang berhubungan dengan sikap dan karakter manusia.

PROSES YANG MENGGANGGU PEMBEDAYAAN MASYARAKAT

Instan; Lihatlah proses kepompong yang akan melahirkan kupu kupu. Dia terlihat sangat berjuang keras, susah, sulit dan berproses lama. Jangan sekali kali kita iba dengan proses itu, sebab kalau kita iba bisa tangan kita membantu menggunting ujung kepompong tersebut. Memang ketika ujung kepompong itu kita gunting, akan sangat mudah kupu kupu itu keluar. Namun keluarnya kupu kupu dengan intervensi gunting, akan mengakibatkan kupu kupu itu tidak akan bisa terbang sepanjang hidupnya. Proses pemberdayaan masyarakat juga seperti itu analoginya. Lihat saja ketika warga mamu membangun balai desa bisa saja terjadi sangat sulit dan sangat lambat, namun kalau kita langsung memberi bantuan membangunkan balai desa tersebut, bisa jadi selamananya desa tersebut tidak akan pernah mampu mebuat balai desa sendiri. Kalupun rusak, mereka akan lebih suka mencari bantuan lagi dari pada membangunnya secara mandiri.

Pragmatis; Ingat ada ceritera seekor monyet baik hati akan menolong ikan yang akan terkena banjir. Monyet membayangkan bahwa banjir itu sangat berbahaya dan bisa membawa korban. Maka ketika monyet yang sedang di atas pohon melihat air banjir yang sedang datang, maka dengan tergesa gesa dia ingin menyelamatkan ikan yang ada dipinggir sungai, dan dengan penuh kasih saying ikan itu diambil dan dibawa ke atas pohon agar tidak terkena air banjir. Apa akibatnya? Justru ikan yang ditolong akhirnya mati di atas pohon. Monyet tidak menyadari bahwa ikan tidak seperti monyet yang bisa mati akibat banjir. Proses pemberdayaan masyarakat juga hampir sama dengan analogi tersebut, hal ini bisa dilihat banyak barbagai bantuan yang diberikan kepada masyarakat dengan niat baik, namun akibatnya justru membawa kerugian atau penderitaan bagi masyarakat itu sendiri. Contoh riilnya bisa dilihat pada berbgai project bantuan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah.

Hedonism; Apa yang terjadi bila seorang anak kecil tidak diberi kesempatan untuk kehujanan, untuk kepanasan, untuk kelelahan? Bisa jadi akibatnya ketika anak tersebut terkena hujan, terkena teriknya matahari dan kelelahan sedikit akan jatuh sakit. Karena anak tersebut terlalu dibimbing untuk memanjakan dirinya. Pemberdayaan masyarakat mempunyai analogi bahwa masyarakat yang terlalu suka memmanjakan diri akan justru menjadi rentan tidak berdaya. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu menghadapi berbagai dinamika dan perubahan social.

Konsumtip; Proses penambahan daya merupakan proses akumulasi modal kehidupan, akumulasi modal kehidupan masyarakat akan sulir terwujud apabila dilakukan pada masyarakat yang konsumptip. Karena hampir semua hasil nilai tambah kerja dan usahanya akan terserap habis oleh para pedagang. Kebutuhan dan keinginan hidup masyarakat konsumtip akan dikontruksi oleh iklan dan promosi bukan keluar dari program kehidupan masyarakat itu sendiri.

TEKNIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

ILUATRASI

Teknik dan strategi Pemberdayaan masyarakat tidak bisa dilakukan secara artifisial namun diperlukan satu proses pembelajaran tahap demi tahap yang membutuhkan waktu dan ketekunan.

Contoh 1; Kalau akan menambah daya kecerdasan masyarakat, tidak bisa hanya memberi pelatihan, training atau disekolahkan. Namun perlu ada proses memberi kesempatan warga untuk menghadapi berbagai kesulitan. Semakin sering warga mampu mengatasi kesulitan makan akan meingkat kecerdayasannya.

Contoh 2; Kalau akan menambah daya kekuatan masyarakat, tidak bisa hanya diberi bantuan dan dukungan saja. Namun perlu ada proses memberi kesempatan warga untuk menambah beban. Semakin sering warga mampu menanggung tambahan beban makan akan menambah daya kekuatan warga itu sendiri.

Contoh 3; Kalau akan menambah daya masyarakat untuk menghadapi masa depannya, bukan langsung diajak untuk membuat perencanaan program. Namun dampingilah dulu mereka untuk merindukan kondisi tertentu di masa yang akan datang. Atinya kembangkan dulu visioning masyarakat sampai pada tahap kerinduan. Kalau masyarakat sudah merindukan sekali akan gambaran kondisi yang masa depannya, mereka akan menggerakan diri untuk merencanakan berbagai hal untuk mewujudkan kondisi tersebut.

PENDIDIKAN WARGA

Program utama untuk pmberdyaan masyarakat adalah program pendidikan warga. Komposisi pendidikan warga untuk pmberdayaan masyarakat adalah 70% untuk pengembangan karakter, penjiwaan dan sikap, 20% untuk ketrampilan dan pengembangan teknologi dan 10% adalah untuk pengetahuan.

Materi pendikkan warga yang menjadi pokok bahasannya utama adalah soft value / idiologis, soft skill, soft knowledge, soft technology. Sedangkan pokok bahasan pendukung adalah nick premiership, kecerdasan emosional, kecerdasan intelktual dan kecerdasan spiritual.

PENYEDIAAN FASUM

Program pendukung pemberdayaan masyarakat adalah mempermudah warga dalam mengakses terhadap sarana transportasi, komunikasi/informasi, listrik / enegy, pasar, permodalan, pendidikan, air bersih, dan kesehatan.

PERLINDUNGAN

Pemberdayaan masyarakat akan sia sia kalau tidak ada kebijakan public yang benar benar melindungi warga dari ancaman pasar bebas, ekonomi rente, keliaran industrialisasi dan pelestarian lingkungan, kestabilan harga pangan dan harga energy serta keamanan secara umum.

ADVOKASI

Salah satu indicator masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu mempertahankan dan membela hak hak dasarnya sebagai warga Negara dan warga duni (HAM). Maka dari itu program advokasi khususnya yang non litigasi sangat diperlukan untuk pendukung program pemberdayaan masyarakat.

Bojonegoro, 27 April 2011