Rabu, 20 Oktober 2010

Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada [1]

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)[2]

Prediksi Konflik Pemilukada

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mempredikasikan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar secara serentak pada 2010 berpotensi timbul banyak konflik. ''Pilkada 2010 marak konflik. BADAN Pengawas Pemilu (Ba-waslu) memprediksi potensi konflik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) lebih besar dibandingkan dengan pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres lalu. Hal ini disebabkan tingkat emosional dan rasa fanatisme masyarakat lebih tinggi kepada salah satu calon kepala daerah. "Isu putera daerah dan fanatisme warga daerah kepada calonnya sangat tinggi, ini menjadi indikator terjadinya konflik." jelas anggota Bawaslu Eka Cahya Widodo kepada Rahul Merdeka.[3]

Fakta konflik dalam proses demokrasi yang sampai pada formulasi perilaku kekerasan dan destruktip, sebagian orang mengatakan, dengan meminjam istilah Geertz, Indonesia tengah mengalami involusi demokrasi, sebuah periode keterbelakangan demokrasi. Kondisi ketika organ Negara sepertinya sudah tak mampu lagi mengurus rakyatnya, partisipasi warganegara pun sedemikian rendahnya, hanya terbatas pada ruang-ruang politik semata. Jamaknya state auxiliary agencies juga menjadi pertanda, ketidak mampuan Negara dalam melakukan pengurusan segala kepentingan Negara, termasuk pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara. Hal ini terjadi di Indonesia sejak kemerdekaannya diploklamiskan pada 17 Agustus 1945. Walaupun sejak keluarnya Surat Sebelas Maret tahun 1966 dari Presden Soekarno kepada Soeharto terjadi adanya kestabilan politik secara semu. Dianggap semu karena hampir seluruh aspirasi politik warga negara ”dibungkam” dalam sistem politik tunggal Orde Baru.

Ketika rezim Orde Baru ”tumbang” tahun 1988, terjadi embrio redemokratisai yang dimulai dengan berkembangnya semangat reformasi. Sayangnya embrio redemokratisiasi ini hanya mampu menciptakan keterbukaan politik di tingkat permukaan. Itu pun hanya sekedar didominasi minoritas elite, rakyat kebanyakan tetap saja belum mempunyai kesadaran politik sebagai warganegara yang berkedaulatan pada rakyat. Akibatnya sebagai warga masyarakat kelas bawah hanya sekedar menjadi mesin pendulang suara waktu pemiliahan umum baik untuk prseiden, legislatip sampai pemilihan umum kepala daearah.

Sementara partai politik yang tumbuh dan berkembang pada era reformasi, boleh dibilang, masih cenderung terkonsentrasi mengurus partai dan administrasi kelembagaan partai. Perhatian dan pemberdaaan poltik terhadap konsituennya masih belum maksimal. Padahal dalam kondisi dan situasi politik seperti sekarang ini anggota masyarakat yang sudah mulai tertarik dan aktip menjadi konsituen partai politik belum cukup dibekali dengan berbagai kemampuan berpolitik. Di mana kebebasan, keterbukaan dan meluasnya demokrasi belum menjadi bagian dari modal utama partai politik dalam berperan aktif melakukan persambungan dan silaturrahmi politik. Oleh karena itu berbagai ekpresi konflik ”politik” yang belum matang akan keluar secara ’brutal” pada berbagai tahapan pemilihan umum. Berdasarkan Peraturan KPU No 20 Tahun 2008, tahapan pemilu legislative terdiri dari 9 tahapan, yaitu; Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, Pendaftaran Peserta Pemilu dan Penetapan Peserta Pemilu, Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, Pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, Masa kampanye, Masa tenang, Pemungutan dan penghitungan suara, Penetapan hasil Pemilu, Sumpah/Janji DPRD Prov, DPRD Kab/kota. Titik rawan yang akan menjadi ajang konflik terbuka adalah pada tahap masa kampanye, penghitungan suara dan pada penetapan hasil pemilu. Alagi kalau secara teknis KPUD tidak mempesiapkan dengan baik akan pengorganisasiannya dan intrumen teknisnya, akan menjadi sasaran utama “amuk massa” bagi para konsituen yang terkeceakan dengan proses dan hasil pemilu kada. Fakta emunjukan bahwa energy konflik pmilukada akan teralihkan sasarnnya kepada KPUD dan berbagai elemen yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilukada tersebut.

Kurangnya Upaya Pendidikan Politik Warga

Tingkat kesadaran dan pemahaman politik sebagian besar masyarakat kita sangat rendah, kalangan keluarga miskin, petani, buruh, nelayan dan sebagainya belum cukup memiliki kesadaran politik yang tinggi karena disibukkan persoalan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermaknapolitik. Setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk dalam hal pendidikan politik. Pendidikan politik kita lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh penguasa dan elite politik.

Akhirnya rakyat merasakan adanya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan, apalagi sampai saat ini hasil proses melihan langsung justru menjadi pendukung fakta empiris Negara belum kunjung melakukan pemajuan kesejahteraan sesuai harapan warga. Kondisi ini bisa terjadi sebagai akibat lemahnya desakan dan dorongan politik masyarakat terhadap elite politik sebagai operator Negara. Atau realitas politik yang memang tidak mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan warganegara, namun hanya sibuk mempertahankan kekuasaannya dan menanggapi berbagi reaksi lawan lawan poltiknya. Maka hakikat Negara yang reason d’etre-nya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganegara belum terwujud.

Realitas politik belum dibangun untuk mengarah pada pemajuan hak-hak warganegara. Proses politik yang ada belum mendorong sebuah masyarakat politik yang kuat, yang mampu mendesakkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Masyarakat politik yang kuat tidak tercipta sekadar dengan pemahaman rakyat atas proses atau mekanisme politik yang harus dilaluinya. Melainkan, terlebih dahulu mereka harus memahami hak-haknya sebagai warganegara, baik hak politik maupun hak sosialnya. Relasi Negara—yang merupakan realitas politik—dengan warganegara harus ditata kemabali dengan pendekatan hak, agar supaya realitas politik terus mengarah pada pemenuhan hak-hak warganegara. Melalui perspektif hak, kiranya ada penegasan bahwa hak-hak warganegara diakui, dijamin, dan akan dimajukan, tidak sekedar tertulis di konstitusi. Harapannya, ada sebuah pendekatan baru yang dibangun untuk menyongsong Pemilukada. Rakyat tidak hanya diarahkan atau ditingkatkan kesadarannya untuk membangun komitmen politik dengan elite politik. Tetapi dikuatkan pula kemampuan untuk menciptakan sebuah komitmen sosial. Pemilukada tidak lagi sekedar menjadi hajatan rutin atas nama demokrasi, melainkan sebuah moment politik untuk mempertegas kontrak sosial rakyat dan Negara.

Pemilihan umum dan pemilukada yang berlangsung belum menggerakan kesadaran poltik rakyat sebagai warganegara yang memegang kedaualatan. Padahal penggerakan kesadaran politik warga, adalah merupakan realitas politik keberpihakan. Karena pada tataran paradigma politik akan menentukan pada siapa atau kelompok mana, realitas politik akan berpihak. Menurut Marx, negera hanyalah sekedar panitia yang mengelola kepentingan kaum berkuasa secara menyeluruh, karenanya politik sebenarnya berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (Budiman, 1997). Oleh karena itu, upaya penguatan kesadaran politik rakyat menjadi penting, agar rakyat tidak terus-menurus sekedar menjadi objek politik. Akan tetapi berkembang menjadi subjek politik, yang mampu mengarahkan realitas politik untuk berpihak kepada rakyat.

Pendidikan Politik Dengan Perspektip Pemberdayaan Masyarakat

Pendidikan politik pada tingkatan warga yang masih pada tahapan ”memenuhi” kebutuhan dasarnya atau sedang dalam menuju kesejahteraannya, diperlukan metode dan media yang mengakomodir kondisi tersbut. Pendidikan politik yang akhistoris atau yang tidak kontekstual dengan kebutuhan warga akan menjadi alat mimpi dan pembiusan masal belaka. Pendidikan politik akan dilecehkan dan akan tidak diterima oleh warga sendiri. Hal ini bisa dimengerti, bagaimana warga bisa mencerna dan memahami hal hal idiologis. ketika perut warga lapar, ketika anak sakit tidak terobati, ketika banyak pengangguran, ketika panghasilan dibawah upah minimum. Apabila pendidikan politik ahistoris dan hanya pada tataran permukaan yang mengungkit emosi emosi kepentingan. Maka yanag akan berkembang adalah politik uang atau politik ”bantuan”. Pemilukada akan menjadi momentum warga pemilih untuk mengharap adanya pembagian uang atau ”bantuan project politik”.

Dengan demikian pendidikan politik yang paling tepat pada saat ini adalah pendidikan politik yang berperspektip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan adalah proses peningkatan daya masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Bukan proses memberi bantuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya namun menghilangkan potensi dan daya masyarakat sendiri. Maka dari itu metode dan media pendidikan politik yang berperspekti pemberdayaan adalah mempunyai dua output. Pertama Output strategis idiologis dan kedua adalah output praktis pragmatis basic need. Ada lima aspek pokok bahasana pendidikan poltik dengan perspektip pemberdayaan yaitu; Pertama; Penggerakan dan peningkatan daya warga dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Kedua; Analisis kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial, ekonomi, politik dan ekosisitem lingkungannya. Ketiga; Peningkatan membangun akses keberbagai pusat pusat sumberdaya yang dapat mendukung kehidupannya. Keempat; partisipasi dalam organisasi rakyat yang dapat menjadi proses berafiliasi dan berganing politik dengan partai poltik. Kelima; Membangun kemampuan dalam kontrol sosial dan berbagai kebijakan publik.

Pendidikan poltik dengan perspektip pemberdayaan masyarakat diperlukan kecerdasan dan kreativitas dalam pengemasan modul dan kurikulum. Modul dan kurikulum pendidikan politik yang terbagus adalah apabila menggunakan media kerja yang langsung menyentuh kepentingan dan kebututuhan warga. Metode yang paling tepat digunakan adalah menggunakan metode pendidikan orang dewasa dengan pendekatan partisipatip. Memang tidak mudah membuat pendidikan poltik dengan perpektip pemberdayaan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan...selamat mencoba.....!

***



[1] Paper bahan diskusi pada acara Peningakatan Pneidikan Politik Masyarakat Oleh KPUD Bojonegpro tgl 20 Oktober 2010

[2] Senior Peneliti IRE Jogjakarta

[3] Diambil dari Batviase.co.id pada Oktober 2010.

1 komentar: