Jumat, 15 Oktober 2010

Pemberdayaan Masyarakat Dari Pengalaman Langsung Kehidupan Sorang Fasiltitator Warga

CERITERA BERSERI

Pemberdayaan Masyarakat

Dari Pengalaman Langsung Kehidupan Sorang Fasiltitator Warga

Seri Kasus Hidup Di Desa Lawen Kecamatan Kalibening Kabupaten Banjanegara Jawa Tengah.

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)

Kata pemberdayaan masyarakat mulai sering terdengar di telinga masyarakat Indonesia dan sering terbaca oleh mata banyak orang ketika akhir akhir masa Rezim Orde Baru (seingatku pada tahun 1980 an atau pada masa REPELITA KE IV). Hal ini seiring dengan ditemukannya berbagai fakta adanya beberapa kegagalan program pembangunan untuk mensejahterakan manusia Indonesia. Pembangunan seolah sebagai sang dewa penolong umat manusia yang kehilangan muka atau “kewirangan” secara telak. Karena antara hasil realita dilapangan tidak sesuai dengan slogan slogan dan promosinya. Promosi tentang “pembangunan” bagaikan bak iklan iklan di televisi dan radio yang membangun mimpi mimpi indah bagi umat manusia.

Sejujurnya rakyat Indonesia sungguh takjub dan hormat dengan segala kehormatannya yang mereka miliki untuk ”pembangunan”. Karena pada masa masa awal rezim pembangunan (yang dipimpin Soeharto Bapak Pembanguan Indonesia) memimpin Indonesia, program tersebut sungguh memukau warga masyarakat. Rezim pembangunan mampu menampilkan dirinya untuk membantu warga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, khususnya; pangan, sandang, papan dan fasilitas umum seperti kesehatan pendidikan dan transportasi serta komunikasi. Banyak contoh yang bisa saya ungkapkan sesuai dengan pengalaman langsung ketika saya kecil tahun 60 an di Desa Lawen Kecamatan Kalibening (Pada saat Otonomi Daerah tahun 200 an masuk dalam wilayah Kecamatan Pandanarum sebagai kecamatan pemekaran Kecamatan Kalibening) Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah.

Pada waktu itu saya sangat bergembira kalau Bapa asuh saya (Bapa Minarja) atau kakak asuh saya (Mas Drajat-Darmo) sedang diundang genduri pada pesta adat warga. Karena saya akan mendapat nasi gurih dengan secuil daging dan sejumput lodeh. Sampai larut malampun saya tunggu demi akan merasakan enaknya nasi brekat keduri Makan nasi genduri adalah merupakan makanan yang paling enak pada saat itu bagi diriku dan warga Desa Lawen pada umumnya. Karena makanan harian warga adalah nasi jagung atau leye/krekel/tiwul (nasi dari ubi kayu) dengan lauk dari daun ubi kayu (jangan kopral) atau daun talas (jangan lumbu) atau daun lembayung. Makan daging ayam hanya kalau ada hari hari besar islam, atau ada khajatan atau sakit (mriang), karena ada kebiasaan warga untuk menyembuhkan orang sakit dipotongkan ayam. Ketika hari pasar desa Lawen (wage dan manis/legi) beberapa warga ada yang mampu membeli ikan asin dan ”petis” atau trasi. Penyedap makan yang paling hebat pada saat itu adalah terasi. Maka makanan yang paling saya suka adalah sambal terasi dan daun talas nasi jagung.

Pada saat saya kecil, warga desa lawen mempunyai pakaian seragam yaitu sarung dan telanjang dada. Pada waktu itu pakaian adalah barang yang mewah. Banyak orang meminjam pakaian yang masih agak bagus ketika menghadiri pesta khajatan tetangga. Hanya pada saat menjelang hari raya atau peringatan kemerdekaan RI (Agustusan) warga khusunya anak anak membeli baju baru. Saya teringat betul ketika kecil merasa gembira sekali pada malam takbir hari raya idul fitri, semalaman tidak bisa tidur karena akan memakai pakaian baru walau hanya sepotong celana pendek dan baju lengan pendek dari bahan mori. Sepatu adalah barang yang sangat mewah, pertama kali saya memakai sepatu adalah ketika masuk ke SLTA (dengan korban kaki lecet dan jari kaki yang tersiksa karena sudah terlanjut ”jebrag”). Saya masih beruntung dibanding warga desa pada umumnya, karena banyak warga desa yang sejak lahir sampai meninggal dunia belum pernah merasakan memakai sepatu.

Pada waktu belum ada pembanguan jalan jalur antara desa lawen dan kota kecamatan Kalibening, warga Desa Lawen dan sekitarnya ketika melakukan perjalanan menuju ke kota Kecamatan jalan hanya satu pilhan yaitu jalan kaki sampai 10 km lebih. Kalau perjalanan menuju kota kabupaten Banjarnegara juga jalan kaki lebih dari 70 km. Tidak ada transportasi apapun kecuali kuda tunggang (kudang tunggang juga sangat jarang orang yang memiliki, seingatku satu desa lawen hanya dua orang yang memiliki yaitu Mbah Penatus / Kepala desa dan seorang pedagang daging saya lupa namanya). Warga Desa Lawen sangat sedikit yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat SLTP atau SLTA. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang terdekat dari Desa Lawen adalah di kota kecamatan Kalibening. Beberapa seniorku yang sekolah di SLTP Kalibening harus pulang pergi jalan kaki, berangkat pada matahari belum terbit dan pulang rumah setelah matahari tenggelam. (Waktu belajar jauh lebih pendek dibanding waktu untuk perjalanan pulang pergi ke sekolah).

Sarana pendidikan sangat sulit, hanya satu bangunan sekolah dasar dengan tiga ruangan yang dipakai secara bergantian untuk murid kelas satu sampai kelas enam. Jumlah gurunya tidak lebih dari tiga orang, sehingga satu guru mengajar dua kelas. Warga Desa Lawen dan sekitarnya (khusunya yang disebelah barat gung Condong Kalibening) hanya sedikit yang mampu menyekolahkan anaknya di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Karena kalau mau menyekolahkan anaknya di SLTA harus mampu mengirim anaknya ke kota Banjarnegara. Perjalanan ke Banjarnegara dari Desa Lawen dengan jalan kaki minimal ditempuh delapan jam. Kalau musim hujan bisa memakan waktu lebih lama karena harus menunggu surutnya air sungai yang sedang banjir. Perjalanan dengan jalan kaki dari Desa Lawen menuju Banjarnegara melewati beberapa sungai besar dan ada satu sungai yang harus disebrangi tiga kali yaitu sungai Gintung. Pengalaman saya ketika melanjutkan sekolah di SMA Banjarnegara kalau pulang berlibur ke Desa Lawen harus berjalan kaki sejak ayam berkokok pertama penghujung malam sampai setelah matahari terbenam. Bahkan sering harus menginap di jalan (tempat yang sering untuk bermalam di jalan adalah desa Pandanarum) karena tidak bisa menyebrang sungai Gintung yang sedang banjir.

Fasilitas kesehatan yang terdekat dari Desa Lawen adalah klinik kesehatan ”tanpa dokter” di kota kecamatan Kalibening. Saya sering menyaksikan orang menggotong orang sakit dengan tandu (kursi yang digotong dengan bambu) ke kekota kecamatan Kalibening. Mereka memikul orang sakit dengan cara gotong royong minimal 8 orang laki laki dewasa untuk bergantian di jalan. Semua orang sakit yang dibawa ke klinik adalah orang sakit yang sudah parah. Banyak sekali orang meninggal dunia tanpa ada perawatan dari tenaga kesehatan. Paling banyak adalah ibu melahirkan yang meninggal karena tidak ditolong oleh paramedis. Mereka hanya ditolong dukun bayi yang secara tradisonal pengetahuan dan ketrampilannya diperoleh dari para seniornya.

Fasilitas keagamaan untuk sarana beribadah dan memperdalam ilmu agama juga masih sangat minim. Hanya ada satu masjid yang sebenarnya hanya sebuah mushola yang diberi mahkota dari ukiran kayu secara sederhana. Jumlah orang yang datang ke masjid juga tidak lebih dari jumlah jari tangan manusia, itupun hanya satu keluarga yaitu keluarga Mbah Abu (lupa nama lengkapnya) dan Mbah Mantri (sebutan untuk seorang guru sekolah dasar pada saat itu). Berhubung rumah Bapa angkatku berdampingan dengan masjid, maka saya sering ”bermain” ke masjid. Mengapa saya katakan bermain karena hanya memukul bedug dan kentongan namun tidak sholat dan mengaji karena tidak ada guru agama atau ustad yang mebimbingnya. Warga Desa Lawen belajar tentang sholat dan ilmu agama islam hanya dari Eyang Lebe (panggilan mudin pada saat itu), cara belajarnya hanya meniru niru saja. Pada waktu itu orang sholat hanya rubuh rubuh gedang (hanya ikut ikutan gerakannya saja). Jumlah Al Quran pada masjid itu saya ingat hanya dua, yang satu sudah kumal dan lepas lepas. Kumal bukan berarti sering dibaca orang, kumal karena lama terkena debu. Seingatku yang rajin membaca Al Qura hanya Eyang lebe pada pagi hari, dan surat yang dibaca juga hanya surat yasin saja.

Ceritera tentang kondisi fisik pada masa sebelum dimulainya program pembangunan memang cukup memprihatinkan. Namun ceritera non fisik pada waktu itu sungguh sangat membanggakan. Contohnya dalam seni budaya, Desa Lawen adalah gudangnya para seniman dan seniwati. Ada seniman dalang wayang kulit lebih dari tiga orang, hampir semua perempuan desa lawen bisa manri dan membawakan lagu lagu jawa sebagai sinden, hampir semua laki laki bisa bermain musik jawa, ada group pemain kuda lumping, ada kelompok rodad (permainan silat dengan iringan tambur dan terbang), hampir semua warga bisa berseni wayang orang, ada pengrajin wayang kulit, pengrajin ukir, pembuat bata dan kapur, pengrajin berbagai alat rumah tangga dll. Hampir setiap malam khusunya pada bulan purnama ada latihan kesenian. Pada saat perayaan hari besar atau ada warga yang mempunyai khajat perkawinan atau sunatan mereka pentas dan tidak dibayar. Pada saat warga berkesenian, mereka memperoleh pelajaran budi pkerti yang bagus dari kesenian tersebut.

Walaupun kondisi dalam hal materi sangat minimalis, namun hampir semua keluarga mempunyai rumah. Karena para tokoh desa (Keluarga Mbah Suhar dan Mbah Penatus) yang punya lahan luas meminjamkan tanah (tanpa membayar) kepada warga yang tidak mempunyai tanah untuk didirikan rumah. Kalau ada warga yang membuat rumah atau memperbaiki rumah semua materialnya tidak membeli kecuali paku. Rumah warga hampir seragam yaitu terbuat dari bahan kayu, bambu dan atap alang alang atau ijuk dari pohon aren. Semua warga ikut bergotong royong membantu warga yang sedang mebuat rumah atau memperbaiki rumah. Kalau musim panen semua warga ikut menikmati hasilnya baik yang mempunyai lahan ataupun yang tidak mempunyai lahan. Ada tradisi kalau musim panen padi, semua perempuan ikut memetik dan mereka akan mendapat seperempat dari seluruh hasil padi yang mampu dia petik.

Walaupun ilmu agama mereka masih sangat minim dan jarang sholat di masjid namun kehidupan kerukunan antar warga sangat bagus. Memang ada beberapa pertengkaran namun tidak menggunakan kekerasan. Warga saling membantu dan menolong ketika ada warga yang mempunyai kesulitan. Jarang sekali ada warga yang mempunyai hutang. Pada waktu itu tidak ada warga yang pinjam di Bank. Ada warga yang bisa meminjamkan uang (Mbah Kaji Segeran), namun pengembaliannya dengan cara yang unik. Semua peminjam uang dari Mbah Kaji (Sebutan untuk Pah Haji), dititipi kambing atau sapi untuk dirawat, kemudian kalau ternak itu beranak maka sepertiga dari hasil ternaknya untuk membayar hutangnya, sepertiga untuk Mbah Kaji dan sepertiga untuk peteternaknya. Kalau ternak itu tidak beranak, maka ternak dijual dan hasil keuntungannya dibagi tiga.. Kalau hutangnya sudah lunas dan sudah punya ternak sendiri, induknya diambil lagi oleh Mbah Kaji untuk dititipkan ke warga lain yang sedang pinjam hutang. Pinjaman tidak berbunga dan cara mengembalikannya dengan sisitem bagi hasil dari hasil ternak atau dari hasil pertanian. Ada sebagian warga yang berhutang, tidak dititipi ternak namun diminta untuk menggarap lahan sawahnya dengan cara paron (bagi hasil) dimana sebagian hasil panennya digunakan untuk membayar hutangnya, sebagain untuk emncukupi kebutuhan hidupnya.

Ketika awal tahun 1970 an mulailah pembangunan di Desa lawen dan desa desa sekitarnya seperti dilaksanakan secara besar besaran. Saya ingat yang menjadi arsiteknya dan pengorganisirnya program pembangunan adalah Mbah Penatus (kepala desa yang menjadi koordinator kepala desa di wilayah barat Gunung Condong). Seingatku yang dibangun terlebih dulu adalah gedung Sekolah Dasar Impres, Gedung Balai Desa, Jalan makadam antar desa, Gedung Puskesmas pembantu dll. Istilah yang didengar warga tentang pembangunan adalah ”Program bantuan”. Adapun pembanguan ekonomi yang saya ingat adalah adanya program bantuan pupuk untuk pertanian, bibit unggul padi dan jagung, dan lumbung desa untuk pinjaman modal. Sejak saat itu berbagai program bantuan mengalir masuk ke Desa Lawen. Sungguh mnecengangkan terjadinya perubahan fisik.

Potret fisik hampir semua warag desa Lawen sudah berubah, terutama dalam hal makan. Sekarang jarang ada anak desa Lawen yang menunggu nasi dari ayahnya yang keduri. Sekarang banyak kasus anak menangis dipaksa makan oleh ibunya bukan menangis minta makan. Saat ini desa Lawen mempunyai fasilitas fisik bagaian kota di tengah pegunungan. Lengkap dengan semua fasilitas untuk pendidikan, kesehatan, kantor desa, ekonomi samapai keagamaan. Kendaraan roda empat dan dua sudah masuk dengan lancar ke desa Lawen. Bahkan sudah banyak yang memiliki kendaraan roda empat dan hampir semua rumah ada sepeda motor, TV, Radio, Tape, kulkas dan HP. Bahkan banyak anak muda yang pergi ke rumah tetangga menggunakan sepeda motor tidak mau jalan kaki. Hanya berkomunikasi dengan kawan satu kampung melalui HP. Hampir semua petani menggunakan pupuk buatan, bibit hasil rekayasa dan obat pembrantas hama. Hampir semua warga menggunakan kosmetik (minimal sabun dan pasta gigi) dan .

Namun dibalik kemegahan fisik ternyata ada penderitaan yang luar biasa. Hampir semua warga mempunyai hutang yang kalau dihitung tidak rasional dengan pendapatannya. Sekarang tidak ada tradisi menabung (bermula dari ternak itik atau ayam, lalu dikumpulkan untuk membeli kambing, lalu hasil ternak kambing dikumpulkan menjadi sapi) yang ada adalah tradisi berhutang. Hampir semua kebutuhan hidupnya membeli dari luar termasuk untuk makan harian dan bahan makanan untuk khajatan dan peringatan hari besar. Kreatifitas seni budaya berhenti diganti menonton televisi, dan kalaupun ada pementasan kesian sudah biaya mahal karena sebagian senimannya mangambil dari luar dengan peralatan yang mahal. Kegiatan untuk perbaikan fasilitas umum tidak lagi dengan gugur gunung (gotong royong), namun diserahkan kepada kontraktor dengan dana bantuan. Musyawarah pembangunan desa dan musyawarah penggalian gagasan dari PNPM Mandiri sebagai tempat untuk menyusun daftar usulan bantuan. Warga miskin diserahkan kepada pemerintah atau dicarikan ORNOP. Warga kehilangan daya untuk mengevakuasi warganya yang miskin.

Fakta yang ada di Desa Lawen juga saya temui di desa desa yang pernah saya kunjungi diberbagai wilayah seperti Jawa, NTT, NTB, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, mendapat paket pembanguan yang hampir sama. Kecuali untuk Wilayah Aceh, Papua dan Timor Timur. Karena wilayah itu mendapat perlakukan berbeda oleh rezim pembanguan. Bagaikan ”Sang kuat Bandung Bodowoso (ceritera rakyat wilayah Prambanan Jawa Tengah yang mampu membuat hampir seratus patung dalam satu malam atas pesanan Dewi Loro Jonggrang), Pemerintah Orde Baru dapat membangun berbagai fasilitas umum dalam satu rezim kekuasaannya.

Perubahan fisik hasil pembangunan ternyata juga ada perubahan karakter manusia dari karakter ”kuat dan mandiri” walaupun kurang materi berubah ke manusia ”lemah dan mengharap bantaun walaupun dikelilingan fasilitas fisik. Saya pernah mendengar ceritera (data otentik tidak punya) bahwa pada saat zaman orde lama ada partai politik yang memprovokasi atau mendorong warga pegunungan untuk turun ke kota untuk mengemis (meminta minta). Saya kurang tahu apa latar belakangnya dan kepentingan partai tersebut. Namun saya dapat ceritera dari warga Gunung Kidul Desa Beji nama kecamatannnya saya lupa. Beliau berceritera pernah disuruh ke kota jogja untuk mengemis. Namun sesampai di kota Jogja beliau tidak mau mengemis, karena dianggapnya melecehkan harga dirinya sebagai manusia. Kemudian juga ada ceritera Bahwa Presiden Soeharto pernah memerintah seluruh kepala desa di Indonesia untuk mendaftar warganya yang miskin (menurut berita dari mulut kemulut) pada tahun 1970 an. Namun banyak kepala desa yang tidak mendapatkan warga yang miskin, karena hampir semua warga walaupun secara materi berkekurangan tidak mau dianggap sebagai orang miskin.

Karakter ”manusia produk bantuan” saat ini bisa dilhat secara mudah dimana mana banyak warga yang tetap mempertahankan dirinya dicatat sebagai warga miskin demi bantuan. Bahkan banyak warga yang sebetulnya ”kaya” (rumah gedung, punya mobil, penghasilan diatas UMR) masih tetap minta diberi BLT (bantuan Langsung Tunai) dan program bantuan beras murah (RASKIN). Bahkan ada warga yang marah kepada para pamong desa karena dirinya tidak mendapat bantuan tersebut walaupun dirinya bukan orang miskin. Beberapa warga ”mengancam” kepada pamong desa untuk tidak mau membayar pajak atau mengikuti kegiatan desa kalau tidak diberi bantuan BLT atau RASKIN.

Fakta bahwa program pembanguan yang justru membuat orang tidak berdaya mendorong munculnya sosok dewa baru yang disebut ”Pemberdayaan Masyarakat”. Program ini sekarang sedang dipromosikan luar biasa oleh Pmerintah Indonesia maupun para Organisasi Non Pemerintah (ORNOP). Bahkan semua rezim setelah Orde Baru yang banyak disebut orang sebagai rezim reformasi, rezim otonomi daerah sangat serius mempromosikan program Pemberdayaan Masyarakat. Hampir semua kata pembangunan diganti kata pemberdayaan. Beramai ramai para akhli dan pengamat sosial, ekonomi, politik menghujat pembangunan dan mengelu ngelukan dewa baru yang namnya pemberdayaan masyarakat. Hampir semua pemimpin Indonesia mulai dari ketua RT sampai presiden mempunyai visi misi yang banyak menggunakan istilah “pemberdayaan”. Program unggulan nasional yang sedang sangat populair adalah PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri). Program ini sedang menjadi program andalan semua pihak baik Goverment Organization maupaun ORNOP dan menjadi harapan seluruh warga Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan.

Realita di lapangan yang langsung saya ketahui di desa desa yang saya dampingi seperti di Kabupaten Bojonegoro di Desa Gayam, Desa Begadon, Desa Ringintunggal, Desa Brabowan, Desa Mojodelik Kecamatan Ngasem dan Desa Bonorejo, Desa Katur, Desa Sumengko Kecamatan Kalitidu. Begitu juga desa yang tempat kelahiranku di Banjarnegara dan desa tempat saya lahir dan di Desa Triangga, Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Jogjakarta tempat tinggal saya. Pelaksanaan program PNPM Mandiri diterima warga dan pamong desa serta para aparatus kecamatn dan Kabupaten, masih dengan perspektip program bantuan pembangunan. Pelaksanaan partisipasi dalam perencanaan yang oleh PNPM Mandiri disebut musyawarah penggalian gagasan, dan mulai tahun 2010 menggunakan RPJM Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) yang diintegrasikan dengan perencanaan Pemerintah daerah masih sebagai musyawarah untuk mendaftar kebutuhan dan permintaan bantuan dari pemerintah dan program PNPM Mandiri. Realita pelaksanaan perencanaan program pemberdayaan masyarakat tidak beda secara substansial dengan musyawarah program pembangunan. Fokus perencanaan program pemberdayaan juga masih banyak difokuskan ke fisik dan pertumbuhan ekonomi seperti fokus pembanguan dari Orde Baru. Metode dan gaya kerja para konsultan atau fasilitator PNPM mandiri juga tidak jauh beda dengan para PPL dan para pekerja proyeknya pemerintah Orde Baru. Dimana mereka lebih banyak mendampingi administrasi projectnya dari pada mendampingi warganya.

Perbedaannya dana PNPM Mandiri langsung dari pusat tidak melalui APBD. Berbedaanya ada pengumuman secara “terbuka” tentang penggunaan dana PNPM Mandiri di desa kepada para tokoh desa. Bedanya pada indikator pengalokasian dana yang berbasis pada “prestasi” dan “urgency”. Perbedaannya kalau hasil musyawarah pembangunan desa yang diusulkan kepada Pemerintah Daerah hanya bisa diakomodir sekitar 10%, sedangkan musyawarah penggalian gagasan yang diusulakan ke PNPM Mandiri lebih banyak diakomodir.

Hasil refleksi saya dengan warga desa, program pemberdayaan sejujurnya masih belum dimengerti secara substansial oleh para pelakunya. Pemberdayaan masyarakat menurut pemahaman saya adalah suatu proses peningkatan “daya” masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Indikator “berdaya” adalah kemapuan untuk “memabawa “beban”. Dengan demikian program pemberdayaan masyarakat adalah program menggerkan warga untuk belajar “membawa beban kehidupannya” yang hari demi hari semakin meningkat daya kemampuannya. Khusunya meningkatkan dayanya masyarakat untuk mengevakuasi warga yang sedang menderita. Bukan sebaliknya justru “mengajari” warga untuk “menyerahkan beban kehidupannya kepada pihak pemerintah atau ORNOP. Cara penyerahan beban dirinya cukup dengan kemampuan mendaftar semua kebutuhan dan kesulitan hidupnya dan ketrampilan membuat proposal bantuan sesuai dengan format pengelola dana bantuan.

Analogi pemberdayaan masyarakat pada dasarnya seperti melatih orang untuk menjadi lifter (olah raga pengangkat besi) adalah dengan melatih mengangkat beban besi mulai dari yang ringan dan dibimbing sampai dapat mengangkat besi yang berat. Analogi pemberdayaan juga seperti relasi manusia dengan Tuhan nya. Kalau ada umat manusia memohon kepada Tuhan untuk diberi kekuatan dan kecerdasan, Tuhan tidak memberi tulang besi, kulit baja dan rumus jawabanya. Namun manusia yang meminta kekuatan dan kecerdasan dari Tuhan. justru akan diberi berbagai beban dan kesulitan agar manusia tersebut dapat melatih diri untuk meningkatkan daya kemampuannya menanggung beban dan menyelesaikan berbagai kesulitan dalam hidupnya. Semestinya kalau diterapkan pada program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah bukan kalau rakyat lapar diberi beras dan BLT namun justru diberi berbagi program stimulan yang memberi lapangan kerja dan usaha agar hasilnya dapat untuk memenuhi kebutuhannya.

Konsepsi program pemberdayaan masyarakat sebagai penggerakan warga untuk berlatih diri menanggung beban kehidupannya agar muncul daya kemampuan dan prestasinya bertambah untuk mengevakuasi dirinya dari kemiskinan pada saat ini masih perlu ada hal yang dilakukan oleh berbagai pihak pelaku pemberdayaan masyarakat. Secara umum hal yang perlu dilakukan untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat adalah; ada penguatan diri baik dari para apartus birokrasinya, para fasilitator dan konsultannya, para pamong desanya dan ada “persiapan sosial” untuk warganya.

Kalau hal ini tidak dilakukan maka yang terjadi adalah konsep dan programnya pemberdayaan masyarakat, namun pelaksanaannya adalah “program bantuan pembangunan”. Akibatnya hanya akan menambah ketrampilan warga dalam mendaftar kebutuhan dan kesuliatan hidupnya dan trampil menyerahkan beban dirinya ke pihak pemerintah atau PNPM atau CSR dengan membuat berbagai bentuk dan model “proposal progarm bantuan” dengan kemasan program pemberdayaan masyarakat.

1 komentar:

  1. Saya suka.....dg semua tulisan yg ada... Tentang Tugas dan Fungsi Fasilitator baik untuk direnungkan.....karena Faslitator banyak gak paham dg Tugas & Fungsunya, Tapi bangga mengatakan dirinya sebagai Pemberdayaan....

    Kemana....saya bertanya bila ada yg mau didiskusikan, Pak...bisa minta email atau FB anda.

    emaul saya : illa_marliana@yahoo.com

    BalasHapus