Selasa, 09 Juni 2009

Dampak Globalisasi

Terhadap Pertanian Indonesia

Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)

Ayem tentrem ing desane Pak Tani…

Urip tentrem lan tandure…

Ora kurang sandangpangane…saaneke…

Wayah esuk manggul pacul, nggiring sapine katon sehate…..

(Kus Bersaudara)

Gambaran kehidupan tentram dan makmur petani Indonesia seperti tembang di atas sudah sulit didapat kenyataannya seperti nasib tembang tersebut yang sudah hampir musnah dari pendengaran kita. Pertanyaannya mengapa nasib petani semakin hari semakin terpuruk? Padahal alam dan lingkungan cukup subur? Justru akhir kahir ini bencana dan petaka yang terus menghantui mereka… wabah hama, gagal panen, kekeringan, kebanjiran, harga merosot, sementara biaya hidup (kesehatan, pendidikan, perumahan) melambung tidak sebading dengan harga produksi pertanian yang dihasilkan? Untuk menjawab pertannyaan itu biasanya orang lebih bertumpu kepada takdir Allah, atau alam mulai bosan, atau kebijakan pemerintah yang tidak tepat, atau kebodohan dan kemalasan petani sendiri atau apalah yang bias membenarkan kenyataan.

Nasib kehidupan petani kenyataannya tidak cuma tergantung dari karakter / kapasitas individu petani, lingkungan alam local, dan kebijakan nasional saja tetapi ada hubungannya dengan perkembangan dunia yang telah mengglobal. Kita ingat bahwa nasib petani Indonesia mulai dicampurtangani globalisasi sejak tahun 1757 VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Jawa. Sejak itu sebetulnya petani sudah menjadi bagian dunia global yang 60% nasibnya tergantung di tangannya.

Globalisasi secara umum merupakan bentuk keterbukaan dunia yang tidak lagi tersekat oleh wilayah administrasi negara, idiologi, agama, kultur budaya masyarakat dan keterpisahan geografi fisik tempat tinggal. Dunia bisa terbuka karena dipercepat oleh perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi tersebut dapat menembus batas berbagai sekat-sekat dunia manusia. Di satu sisi globalisasi dapat mempercepat pencerahan dan menyebarnya nilai nilai universal yang dapat dinikmati masyarakat dunia. Namun di sisi lain globalisasi telah mengakibatkan korban jutaan manusia yang nasibnya semakin terpuruk.

Globalisasi sudah berlangsung dan tidak ada satu elemen kekuatan apapun dari manusia yang dapat membendungnya. Karena globalisasi telah menembus batas fisik, pikiran, sifat dan konsepsi hidup manusia dunia. Secara fisik manusia bisa menghindari, namun secara konsepsi hidup yang berupa pikiran, cita cita dan selera kehidupan sulit dihindari. Karena penyebaran dan penularannya menggunakan proses penyadaran diri manusia mulai lahir sampai di liang kubur.

Positipnya globalisasi bagi manusia dunia adalah berkembangnya nilai nilai universal seperti; keadilan sosial, demokratisasi, pluralisme, hak hak manusia, solidaritas antar warga dunia dll. Dismping itu manusia dunia dapat menikmati berbagai pilihan fasilitas kehidupan mulai dari yang manual sampai mesin. Namun globalisasi telah dipergunakan oleh paham perdagangan dan industri untuk menyerap dan menghisap warga miskin dunia untuk mengumpulkan keuntungan dan kekayaan bagi segelintir warga kaya dunia. Dalam tulisan ini saya akan mempertajam sisi gelap dari globalisasi bagi kehidupan pertanian di Indonesia umumnya dan Jawa khususnya.

Pertanian dianggap menjadi sektor yang paling setrategis bagi perdagangan dan indutri dunia. Sebab dengan menguasai sektor pertanian dunia berarti bisa menguasai pangan dunia, dengan demikian kalau makan dunia bisa dikuasai maka seluruh elemen manusia dunia dapat direkayasa untuk kepentingan. Kenyataannya penguasa perdagangan dan industri global telah membuka TNC-TNC (Trans National Corporation) agribisnis raksasa di seluruh pelosok dunia. Salah satu ciri agribinis raksasa adalah mengeluarkan habitat petani dari kultur dan lingkungan alam ke mekanisme produksi dan pasar. Secara radikal ada perubahan cara bertani dunia yang disebut revolusi hijau. Dimana seluruh budi daya dan alat produksi pertanian diganti sebagai berikut. Pertama, Orientasi pertanian tidak untuk kemakmuran petani dan pelestarian lingkungan tetapi untuk meningkatkan produksi pertanian sebesar besarnya. Kedua, hasil pertanian bukan untuk mencukupi kebutuhan petani tetapi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia. Sehingga harga tidak ditentukan petani tetapi ditentukan oleh pasar dunia. Ketiga, bibit tidak alami namun merupakan hasil rekayasa genetika antar varitas dan antar makhluk hidup yang ada. Keempat, pupuk tidak dari alam tetapi dari bahan kimia. Kelima, pengendalian hama tidak di kontrol dari ekosistem dan predator alami tetapi di berantas dari racun kimia. Keenam, alat produksi tidak dari manusia tetapi dari mesin. Ketujuh, hasil produksi tidak diproduksi menjadi industri makanan rakyat, tetapi menjadi bahan baku industri makanan rekayasa. Sehingga terjadi penguasaan makan dunia oleh TNC yang merugikan petani khususnya dan warga dunia pada umumnya.

Penguasaan TNC terhadap pemasaran produksi pangan sudah terbukti di realitanya. Contohnya Mosanto telah mendapat hak paten nomor 6.174.724 yang merfupakan hak paten pertama untuk teknologi rekayasa genetika untuk tanaman pangan. Sehingga Mosanto deangan kedele jenis Round-up Ready mampu menghasilkan sekitar 143 juta ton pada tahun 2001 atau sekitar 80% produk dunia. Sementara perdagangan pisang dunia dikuasai dua TNC besar yaitu Chiquita dan Dole Food. Kemudian 80% gandum dunia hanya dikuasai oleh Cargil dan Archer Daniels Midland; tiga TNC menguasai 83% kakao dan 70% perdagangan teh. (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)

Sementara untuk bibit / benih tanaman pangan dunia tidak lagi dikuasai oleh petani, tetapi oleh TNC sebagai berikut: DuPont (Pioneer) AS dengan total nilai penjulan U$ 1.938.000.000; Pharmacia (mosanto) AS dengan total nilai penjulan US$ 1.600.000.000; Syngenta (Novartis) Swiss pro forma dengan total nilai penjulan US$ 958.000.000; Grupo Pulsar (Seminis) Meksiko dengan total nilai penjulan US$ 622.000.000. Adapun TNC besar yang nilai penjualannya dibawah 500 juta US$ adalah; advanta (AstraZeneca and Cosun) Inggris dan Belanda, Dow + Cargill North Amerika, KWS AG Jerman, Delta and Pine Land AS, dan Aventis Perancis. (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)

Sementara untuk obat pemberantasan hama dikuasai oleh Glaxo dengan marjin profit 30,9%; Smit Kline Beecham dengan marjin profit 25,1%; Merc and Co dengan marjin profit 26,4%; AstraZeneca dengan marjin profit 18,3%;Aventis dengan marjin profit 17,6%; Bristol-Myers Squibb dengan marjin profit 28,1%; Novartis dengan marjin profit 28,5%; Pharmacia dengan marjin profit 19,6%; Hoffman-La Roche dengan marjin profit 44,2%; Johnson and Johnson dengan marjin profit 33,6% . (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)

Saat ini nasib petani sudah dikontrakan dalam organisasi perdagangan duni – WTO (World Trade Organization) dalam sebuah kontrak yang dinamai AOA (Agreement on Agricultural) yang ditandatangani pada 1 Januari 1995. Inti dari kontrak tersebut adalah memasukan sektor pertanian menjadi komonditi perdagangan bebas dunia. Dimana seluruh petani di dunia harus mengikuti cara dan mekanisme kerja perdagangan bebas. Persoalannya petani miskin selalu dirugikan dengan perusahaaan pertanian baik di negara miskin maupun di negara kaya. Sebab salah satu kebijakan utama dalam perjanjian tersebut adalah mengurangi subsidi petani namun meningkatkan subsidi perusahaan pertanian. Berhubung negara Indonesai lebih banyak petani miskinnya ketimbang perusahaaan pertanian, maka dampak AOA di Indonesia sungguh memprihatinkan. Hal ini seperti yang diketemukan dalam studi dampak AOA yang dilakukan PAN-Indonesia bekerja sama dengan APRN dan INFID pada tahun 2001. Dampak AOA menurut studi tersbut adalah: Pertama; sebelum ada AOA Indonesai sebagai negara eksportir beras ke-9 di dunia, namun tiga tahun setelah kontrak tahun 1998 Indonesia justru sebagai negara pembeli beras nomor satu di dunia. Kedua; pemerintah yang diarahkan IMF atas anjuran WTO – AOA mengurangi subsidi atas input-input pertanian seperti pupuk, benih dan obat. Sementara harga dikontrol sehingga biaya produksi melambung tidak sebading dengan hasil jual produksi. Ketiga; tidak adanya subsidi eksport, sehingga produksi pertanian Indonesia kalah bersing di pasar internasional. Keempat; menurunnya ketahanan pangan Indonesia. Kebutuhan beras rata rata 30 juta ton pertahun, sementara beras yang ada di pasar dunia paling banyak hanya 20 juta ton. Dengan begitu akan sangat mencelakakan kalau kebutuhan beras Indonesia mengandalkan pada pasar luar. Kelima; berkurangnya peran State Trading Enterprise untuk menyelamatkan stok makan nasional dan harga produksi dari petani. Dimana IMF mendesak untuk mengurangi atau membubarkan BULOG. Keenam; seluruh fasilitas TNC yang ada di Indonesai menurut perjanjian BOP kalau terjadi kerusakan akibat protes dari masyarakat menjadi tanggungan negara Indonesia. Ketujuh; Perjanjian paten dan TRIPs memberikan pembenaran bagi perusahaan perusahaan asing di Indonesia untuk mempatenkan segala macam kekayaan hayati dan produk pangan lokal. Seperi Shiseido telah mematenkan kemukus, lempuyang, kayu legi, pelantas, pulowaras, cabe jawa, brotowali. Demikian juga tempe telah dipantenkan milik perusahaan dari Merika dan Jepang.

Ketika kita udah sadar bahwa ada proses pemiskinan dan peminggiran global terhadap petani. Lalu apa yang perlu kita lakukan sebagai petani? Ruang jawaban ini cukup lebar, maka sebaiknya perlu ada putaran berbagai diskusi kritis di kalangan petani sendiri. Namun dalam tulisan ini ada beberapa acuan tindakan yang dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Pertama, perlawanan global perlu dilakuakan di tingkat loby, pertemuan (baiuk formal maupun informal) dunia yang biasanya delegasi masing masing negara diwakili oleh pemerintah. Oleh karena itu petani perlu mendorong pemerintah untuk lebih gigih, trampil dan strategis membela nasib petani dalam pertemuan internasional. Minimal kita harus terus menerus mengawasi berbagai hasil pertemuan delegasi Indonesia di tingkat WTO. Caranya petani bekerja sama dengan NGO yang punya kapasitas dan komitmen dalam pengawasan tersebut. Kedua, petani semakin perlu mempunyai organisasi tani yang bekerja sama dengan NGO untuk memantau dan mendorong legislatip baik pusat maupun daerah untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi petani dari TNC raksasa internasional. Ketiga, mengembangkan perilaku pertanian yang tidak menggunkan komponen dan produk dari TNC. Keempat mengembangkan konsepsi kehidupan rakyat yang tidak menguntungkan TNC.

@

1 komentar: