PENGALAMAN LSM MELAKUKAN
STRATEGI MENYERAP ASPIRASI
RAKYAT KECIL
Fajar Sudarwo (Mas Jarwo)
ASPIRASI RAKYAT KECIL TERPINGGIRKAN
Media dan istrumen penyerapan aspirasi public sering tidak bisa diakses dan digunakan oleh rakyat kecil. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor: Pertama, secara cultural rakyat kecil adalah mempunyai budaya “bisu”, dimana ada keengganan dan kegamangan untuk menyuarakan aspirasinya secara verbal dan non verbal. Kedua, rakyat bawah tidak menguasai alat dan intrumen (teknologi) yang dapat sebagai media untuk menyampaikan aspirasinya. Ketiga, rakyat bawah tidak mempunya knowledge dan ketrampilan untuk mensistematisir dan merekontruksi pikiran, perasaan, kekecewaan dan persoalannya menjadi bentuk aspirasinya. Keempat, secara individual tidak ada kekuatan untuk mempertahankan dan menanggung segala implikasi dari aspirasi yang kemungkunin tidak berkenan bagi “sang penguasa”. Kelima, fungsi media
Kondisi seperti diatas sering dimanfaatkan oleh para elite untuk menyampaikan kepentingan dirinya dengan mengatas namakan aspirasi rakyat. Oleh karena itu sangat sulit untuk menginfestigasi mana suara rakyat dan mana suara elite. Sebagain besar suara rakyat dipinggirkan oleh suara elitenya. Bahkan para elite sering berupaya menghegemony rakyat untuk menjastifikasi atau mengaminin kepentingannya dengan stigma suara rakyat.
Sampai saat ini pemerintah
SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TELEVISI/RADIO
Hasil penelitian tahun 2004 di lima kabupaten (Lombok Timur, Bima, Dompu, Alor, dan Sumba Barat) tentang MUSRENBANG sungguh menarik. Dimana MUSBANGDES yang dibuat oleh kepala desanya beserta pamongnya dengan yang dibuat oleh warga masyarakatnya secara substansial tidak berbeda. Bahkan hampir seluruh rakyat
Rakyat
Analogi kondisi rakyat di atas adalah seperti pemain kuda lumping yang sedang “mabuk” di kemudian ditanya aspirasinya. Maka yang keluar dari mulut pemainnya adalah suara “setan” yang menghegymoni atau “menyurupi”, bukan suara dari si pemain itu sendiri. Kalau suara itu diikuti maka sebetulnya bukan mengakomodir atau melayani kemauan pemainnya tetapi mengakomodir dan mengikuti kemauan dan kehendak “setan” yang mempengaruhinya.
Demikian juga ketika rakyat yang sedang tersurupi oleh pesan yang ada di TV/Radio, maka yang keluar dari mulit rakyat adalah kepentingan yang ada di TV/Radio. Dengan demikian kalau pemerintah mengikuti dan mengakomodir suara tersebut, sebetulnya bukan mengakomodir dan merespont suara rakyat tetapi mengakomodir dan merespont kemauan dan kepentingan TV/Radio. Padahal pesan yang ada di TV /Radio hampir total merupakan pesan dari kalangan para “pedagang” dan elite politik.
Pemerintah SBY (lihat KOMPAS,
TRATEGI MENYERAP ASPIRASI RAKYAT KECIL
Kalau kita mengikuti nasehat di atas sebaiknya pemerintah jangan langsung menjaring aspirasi rakyat yang sedang kesurupan TV. Sebab hasilnya akan bias dengan suara hati rakyat itu sendiri. Percayalah kalau kebijakan yang dibuat pemerintah hanya berdasarkan pesan TV /Radio akan terus masuk dan keluar dari kesesatan yang tidak ada ujung pangkalnya. Oleh karena itu, kalau menggunakan analogi pemain kuda lumping yang sedang trans maka sebelum ditanya di tiup dulu telinganya dan disadarkan. Setelah sadar baru ditanya aspirasinya. Insya Allah yang keluar adalah suaranya yang mencerminkan kebutuhan hati nuranya bukan menyuarakan kehendak setan yang menyurupi. Dengan demikian perlu ada upaya upaya untuk melakukan proses penyadaran diri rakyat terlebih dahulu dengan cara memberi berbagai penjelasan dan informasi yang dapat untuk mengkritisi dan mengkonter penjelasan dan informasi sesat dari TV /Radio dan media lainnya.
Salah satu fungsi Departemen Komunikasi dan Informatika adalah membuat strategi komunikasi yang dapat menyadarkan rakyat yang sedang kesurupan. Fungsi ini yang selama rezim SBY khususnya belum terlihat effektip. Bahkan terkesan sejak memasuki masa reformasi Departemen Penerangan terlihat gamang dan ragu, seolah olah tidak mempunyai visi dan sikap yang jelas. Oleh karena itu ada beberapa konsep yang dapat menjadi referensi bagi Departemen penerangan sebagai berikut: Pertama, membangun sytem komunikasi melalui birokrasi yang transformatip. Sehingga para apparatus pemerintahan di tingkat pelayanan public memahami, mengerti dan bisa melaksanakan dan menjelaskan kebijakan kebijakn pemerintah kepada rakyatnya. Komunikasi antar instansi pemerintah sendiri sampai saat ini terkesan macet. Oleh karena itu perlu mengembangkan system komunikasi antar departemen / instansi yang lebih intensip dan effektip. Kedua, mengembangkan komunikasi rakyat yang dialogis melalui media populair di lingkungan masyarakat sendiri. Artinya perlu ada juru penerang yang transformatip dan cakap menggunakan media rakyat setempat yang populair. Ketiga, mentransformasi pesan melalui media
Kalau rakyat sudah tidak terhegemony oleh suara TV/Radio maka Departemen Komunikasi dan Informatika perlu mengembangkan strategi penjaringan aspirasi rakyat yang “merakyat”. Artinya perlu ada sytem yang dapat mengakomodir aspirasi rakyat dan menggunakan bentuk dan media yang dapat diakses oleh rakyat bawah. Strategi penjaringan aspirasi rakyat bawah yang paling tepat adalah melalui media “aduan langsung” di setiap yunit pelayanan umum seperti: Pelayanan kesehatan, Pelayanan Pendidikan, Pelayanan
Sytem dan media aduan di unit pelayanan umum sangat effektip berdasarkan pengalaman LSM yang mengembangkan program gerakan partisipasi dan pengawasan pelayanan public khususnya Puskesmat, IMB, Pendidikan, dan pelayanan di tingkat desa di kabupaten Sleman, Bima, Lampung, Solok dan
Namun penjaringan aspirasi rakyat kecil harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas pelayanan public. Kalau tidak, maka akan mempercepat proses kekecewaan rakyat dan akibatnya dapat mengurangi kepercayaan dan partisipasi rakyat terhadap proses pengelolaan pembangunan dan pemerintahan. Faktor utama persoalan di era pemerintahan SBY adalah apparatus pemerintahan di tingkat bawah tidak memahami kemauan politik pemerintah pusat dan tidak mampu mengurai dan mengoperasionalkan kebijakan kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan kabupaten. Bahkan terkesan sampai saat ini apartus pemerintah energinya banyak terserap untuk mengurus dirinya yang tidak pernah selasai dengan operational cost “tinggi” terbukti rata rata 60% APBN/APBD terserap untuk membiayai birokrasi dan apparatus .
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar