Selasa, 09 Juni 2009

Pengelolaan Pemerintah Desa

Penyelenggaraan Pemerintah Desa[*]
(yang Efektip)
Fajar Sudarwo (Mas Jarwo) [†]


Penyenggaraan pemerintah desa yang efektip di Indonesia harus mengacu kepada empat pilar utama. Pertama; mengacu kepada peraturan dan perundang undangan yang berhubungan dengan desa. Kedua; mengacu kepada kondisi dan dinamika sosial, politik, ekonomi dan perilaku warga desa. Ketiga; mengacu kepada sumber daya pimpinan dan aparatus kelembagaan desa hubungannya dengan kemampuan menerapkan mandat peraturan perundang undangan yang berlaku dengan kondisi dinamika des Keempat; ketepatan dukungan dari pemerintahan Kabupaten sesuai dengan mandat UU 32/2004 dan peraturan pemerintah yang menyertainya.
Oleh karena itu perlu ada pemaparan dinamika perkembangan empat pilar diatas. Sehingga dapat memperoleh gambaran penyelenggaraan pemerintahan desa yang kontekstual dengan pilar pilar tersebut.

I. Dinamika Perundang-undangan Desa
Sejak zaman kerajaan, rezim Hindia Belanda, Jepang sampai Indonesia merdeka, keberadaan desa sudah diakui baik secara politis, sosiologis maupun hukum berdasarkan asal usul dan adat istiadat. Sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, telah dikeluarkan sembilan peraturan perundang-undangan yang menyangkut desa.[‡] Dimana setiap UU tersebut mempunyai konsekuensi kewenangan desa dalam pengaturan sumberdaya-nya hubungannya dengan pemerintahan di atasnya. Bila dikaji posisi desa secara perundang undangan sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai saat ini, posisi desa mengalami lima political possitioning, yaitu: Pertama; Perundang-undangan yang memberi kewenangan otonom pada desa (UU No 22 Tahun 1948, UU No 1 Tahun 1957, UU No 18 Tahun 1965 dan UU No 19 Tahun 1965). Desa mendapat posisi politik sebagai “pemerintahan” yang mempunyai organ legislatif, yudikatif dan eksekutif. Kedua; Perundang-undangan yang mencabut keberadaan posisi politik desa yaitu UU No 6 Tahun 1969. Dimana desa diambil kewenangannya secara total namun tidak jelas posisioningnya pada pemerintahan di atasnya. Ketiga; Perundang-undangan yang menaruh posisi desa merupakan bagian integral pemerintah Indonesia yaitu UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979. Dimana desa merupakan bagian integral pemerintah Indonesia dalam konteks pemerintahan daerah. Keempat; Perundang-undangan yang memberi kewenangan luas kepada desa namun tidak jelas possitioning dalam pemerintahan diatasnya, yaitu UU No 22 Tahun 1999. Desa mendapat kewenangan yang luas, namun organ pemerintahan tidak lengkap hanya ada eksekutif dan legislatif (Badan Perwakilan Desa), sementara possitioning dengan pemerintahan diatasnya tidak jelas. Kelima; Perundang-undangan yang memposisikan desa sebagai bagian dari Otonomi Daerah Pemerintah Kota / Kabupaten, yaitu UU No 32 Tahun 2004. Kewenangan desa merupakan pelimpahan dari kewenangan Otonomi Daerah Pemerintah Kota atau Kabupaten.
.
II. Dinamika Kehidupan Desa Sebagai Reproduksi Dinamika Nasional
Dinamika kehidupan desa selalu berhubungan dengan dinamika social, politik, ekonomi dan keamanan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu kondisi desa dapat menjadi representasi kondisi nasional. Seacara singkat dapat dirunut dalam dinamikan sebagai berikut: Pertama; Ketika bangsa Indonesia sedang merebut kemerdekaan pada masa masa pra-kemerdekaan. Desa menjadi resource stock untuk relawan dan logistik gerakan kemerdekaan, namun juga menjadi arena pelampiasan kemarahan lawan. Sehingga pada masa perang kemerdekaan, desa-lah yang paling banyak menjadi korban.[§]Kedua; Ketika Negara Indonesia baru merdeka, dimana situasi nasional belum stabil akibat perebutan kekuasaan oleh para elite yang semuanya mengklaim sebagai pejuang kemerdekaan sejati. Desa menjadi ajang untuk stok pendukung setiap pihak, dan sekaligus sebagai lokasi fisik kebrutalan masing masing pihak dalam memperjuangkan kepentingan kekuasaannya. Ribuan warga desa menjadi korban, jutaan harta benda desa dirampok dan musnah tanpa bekas.[**]Ketiga; Ketika Negara Indonesia ber-eforia dalam kehidupan idiologi politik, dimana partai politik memperkeras garis idiologinya dan membangun ekstrimitas yang kuat. Warga desa menjadi terpecah belah antara warga bahkan antara saudara satu rumah. Mereka saling curiga, saling membenci, saling mengolok dan saling bersaing bahkan tidak sedikit yang saling menyakiti demi menunjukan kesetiaanya kepada idiologi partai politik tertentu. Mereka lupa terhadap kehidupan sosial ekonomi keluarganya, karena terbuai oleh manifesto politik yang dianutnya.[††] Keempat; Ketika Negara Indonesia mengalami polical tragedy yang sering diingat sebagai peristiwa G30 S PKI tahun 1965. Desa terimbas oleh dosa dosa partai politik komunis. Sehingga, jutaan warga desa difitnah, dicurigai, didakwa, ditangkap, disakiti, disiksa bahkan dibunuh tanpa melalui proses peradilan. Akibatnya sebagian besar warga desa trauma untuk berpolitik sampai bertahun tahun karena terbayang ”didepan mata”, mereka menyaksikan kawan, saudara, orang tua, anak mereka disakiti, disiksa, dibunuh, diculik atau hilang tanpa diketahui rimbanya. Kelima; Ketika Negara Indonesia dipimpin oleh Razim Orde Baru, dimana kosentrasi pemerintah pada sektor pembangunan ekonomi dan fisik. Desa menjadi sasaran berbagai projek pembangunan fisik dan ekonomi. Mereka hanya mengikuti secara total kemauan pemerintah pusat mulai dari jargon, pikiran, kehendak dan kebutuhan warga semua menyerahkan diri untuk dipandu dan didikte dari pemerintah pusat. Warga desa bagaikan ”binatang piaraan” yang ditaruh dalam ”sangkar emas” seolah olah dicukupi kebutuhannya tanpa dimintai persetujuannya. Hampir semua akibat negatip ”developing approach” yang diterapkan semena mena oleh Rezim Orde Baru telah memporak porandakan local value, local knowledge, local skill and local technology. Akibatnya desa kehilangan lokalitasnya modal sosialnya sebagai kekuatan untuk memberdayakan diri. Berbagai aset pembangunan hasil Rezim Orde Baru sebagain besar justru menjadi beban, bukan menjadi modal sosial desa. Akibat lain, desa terkontaminasi dengan perilaku ketergantungan dan tidak mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan yang dimiliki. [‡‡] Keenam; Ketika Rezim Orde Baru ”tumbang” diganti era reformasi, desa ikut bereforia membebaskan diri dari ”belenggu” sisitem integralistik yang dianggap telah mengakibatkan keterpurukan kehidupan bangsa dan negara. Lebih lebih dengan keluarnya UU No 22 Tahun 1999, dimana desa diberi kelimpahan wewenang yang luar biasa untuk mengatur dan mengelola pemerintahan dan program program desa. Namun kewenangan yang diterima tidak seimbang dengan kemampuan untuk menggali keberdayaannya untuk melakukanya. Sehingga bagaikan burung piaraan yang telah bertahun tahun disangkar, kemudian dilepas. Sepintas memang bersuka ria, namun ketika harus menghidupi dirinya secara mandiri, tidak mempunyai karakter, knowledge dan skill-nya. Sehingga disatu sisi ingin bebas, namun disisi lain masih tetap mengharapkan adanya ”asupan” dari pemerintah diatasnya. Implikasi lainnya, adalah adanya social dis-orientation, dimana semua dikritisi, dicurigai, diprotes, namun tidak mempunyai acuan orientasi solusinya. Keberadaan pamong desa dan pemerintah kecamatan menjadi bulan bulanan eforia reformasi yang dimengerti warga desa. Mereka kehilangan kepercayaannya dan kewibawaanya. Sementara kewenangan desa yang diperoleh dari UU No 22 Tahun 1999, masih ”barang mentah” yang tidak jelas mau diapakan.[§§] Ketujuh; Keluarnya UU No 32 Tahun 2004 beserta sejumlah peraturan pemerintah yang menyertai sebagai pengganti UU No 22 Tahun 1999, dimana posisi desa sebagai bagian pemerintah otonomi Kabupaten/Kota. Kewenangan desa tergantung dari pelimpahan kewenangan Otonomi Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota yang mengacu kepada berbagai peraturan pemerintah pusat yang menyertai UU tersebut. Namun sayangnya berbagai peraturan pemerintah pusat sangat ”dinamis” dan tidak konsisten dan terkaitkan antar peraturan satu dengan peraturan lainya. Akibatnya Pemerintah Kabupaten/kota bersikap gamang dalam mengatur dan mengelola pemerintah desa. Sikap gamang semakin menguat dengan keluarnya UU Korupsi yang masuk pada ranah adminstrasi dan kebijakan yang implikasi negatifnya menakut-nakuti para aparatus birokrasi untuk mengambil sikap kreatif dan tegas. Sementara karakter ”hedonisme”, pragmatis, instan beriringan dengan perilaku protes, boikot, ”demonstrasi masa” sedang berkembang di masyarakat. Berdalih atas nama demokrasi, partisipasi, HAM, transparansi, dan kedaulan rakyat, sering digunakan banyak warga menggunakannnya untuk mendukung kepentingan dirinya dan memaksakan kehendaknya. Keinginan dan harapan membubung tinggi tanpa diikuti dengan keberanian dalam proses bekerja keras, hemat dan tekun. Karakter tersebut semakin menguat karena adanya berbagai kemudahan untuk mengkonsumsi produksi instan. Di tambah berkembangnya ”politik penebar pesona dan pencitraan instan” dari sebagaian elite politik sebagai implikasi negatif dari sistem pemilihan umum secara langsung kepada personal.

III Sumber daya Pimpinan dan Aparatus Kelembagaan Desa
Sumber daya pimpinan dan aparatus kelembagaan desa khususnya dalam percepatan peningkatan kemampuan dan kapasitas tidak sebanding dengan percepatan perubahan peraturan perundang undangan desa dan percepatan dinamika perubahan kondisi desa seperti telah dipaparkan di atas. Hal tersebut bisa dimengerti karena ada beberapa hal sebagai berikut: Pertama; Pimpinan kelembagaan desa (Kepala Desa, Kadus, Ketua BPD, sampai Ketua RW/RT) dipilih oleh warga sebagai tokoh desa yang relatif terpercaya secara social politik. Sementara untuk kemampuan dan kapasitas secara manajerial dan teknis belum tentu diperhatikan oleh “pilihan” warga. Banyak kasus tokoh desa yang mempunyai kemampuan dan kapasitas manajerial dan teknis tidak dipercaya (dipilih) warga atau mereka tidak mau dipilih. Hampir seluruh proses pemilihan pimpinan desa khususnya kepala desa selalu menimbulkan tiga kubu yaitu kubu pendukung, kubu lawan (pro calon kepala desa yang tidak terpilih) dan kubu netral. Bahkan kubu kubu tersebut ada pada perangkat atau aparatus pemerintah dan kelembagaan desa. Sehingga menambah kesulitan Kepala Desa terpilih untuk menggerakan aparatus pemerintah dan kelembagaan desa secara menyeluruh dan kompak untuk menjalankan TUPOKSI nya sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku. Kosentrasi energi kepala desa terpilih hampir terserap semua untuk rekonsiliasi dan social relationship cost dalam mengakomodir berbagai kubu tersebut. Lebih lebih ada sebagaian kepala desa yang penghasilannya jauh dibawah dari kebutuhan untuk social cost sebagai konsekuensi logis pemimpin desa. Sehingga kosentrasi untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas menjalankan TUPOKSI sesuai dengan mandat peraturan perundang undangan menjadi berkurang. Akhirnya yang terjadi hanya menjalankan tugas perbantuan (menarik pajak dan menyampaikan program dari pemerintah di atasnya) tugas umum menjaga keamanan dan ketentraman warga.
Kedua; aparatus pemerintah desa (kecuali sekretaris desa) mempunyai posisi yang “tanggung” antara relawan social dan pegawai pemerintah yang tidak seperti PNS atau pegawai BUMN/D. Sementara TUPOKSI yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dari rezim ke rezim hampir sama dengan PNS/ Pegawai BUMN/D. Bahkan menanggung resiko langsung berhadapan dengan warga ketika ada kasus program atau dampak kebijakan pemerintah yang tidak memuaskan warga. Sementara fasilitas dan jaminan hari tuanya tidak sejelas PNS/Pegawai BUMN/D. Oleh karena itu karakter para aparatus pemerintah desa harus berkarakter social entrepreneurship untuk melaksanakan TUPOKSI dengan social capital yang limited.
Ketiga; pipimpinan dan anggota pengurus kelembagaan desa (PKK, BPD, LKD, RW/RT, Karang Taruna dll) berstatus relawan social yang menjalankan TUPOKSI sesuai dengan mandat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kerja relawan social tidak bisa disamakan seperti kerja seorang pegawai atau buruh. Mereka bekerja sesuai dengan kesempatan dan kondisi yang tidak stabil, sehingga diperlukan satu pola dan ritme kerja yang tepat. Lebih lebih penghargaan social yang diterima tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan, sehingga ada beberapa personal yang hanya tercatat nama sebagai pengurus kelembagaan desa namun realitanya kurang aktif menjalankan TUPOKSI nya. Kondisi ketidak aktipan mereka bisa bertambah apabila pemahaman TUPOKSI sesuai dengan peraturan perundang undangan kurang, fasilitas pendukung kerja minim, dukungan dari pemerintah rendah (pelatihan, technical assistant, panduan dll) dan gaya kepemimpinan desa tidak sesuai dengan harapan mereka.
Keempat, kesiapan dan kemampuan desa (Pendapatan Asli Desa, Sumbangan sukarela warga dan gotong royong tenaga) sangat menentukan berlangsungnya pengelolaan pemerintah desa. Kalau kesiapan dan kemampuan desa rendah daya dukungnya, maka satu satunya harapan adalah pada ADD. Kalau jumlah nominal ADD tidak sepadan dengan keutuhan desa, maka kemungkinan dana tersebut terserap untuk balas jasa dan operasional cost pelaksana pengelola pemerintah desa. Kalau terjadi seperti itu, ada kemungkinan akan mengurangi alokasi dana publik, dan akan rentan menjadi pemicu munculnya berbagai ketidak puasan warga terhadap pimpinan dan aparatus kelembagaan desa.
IV. Dukungan Pemerintah Kabupaten Untuk Desa
Kondisi seperti paparan singkat diatas menjadi snow bolling dan akumulasi kompleksitas persoalan di desa, lebih lebih Kabupaten Bojonegoro yang mempunyai lokasi penambangan minyak. Sebagaian Desa dan warga masyarakat Bojonegoro mempunyai harapan dan mimpi yang membubung untuk mendapatkan ”bagi hasil” yang melimpah (sesuai berbagai informasi informal yang diterima). Oleh karena itu untuk menentukan dukungan yang paling tepat Pemerintah Kabupaten untuk pengelolaan pemerintah desa yang effektip adalah merupakan hasil analisi variabel : (1) Kelayakan manajerial dan kelayakan teknis pelaksanaan kewenangan, TUPOKSI dan Tanggung jawab Pemerintah Kabupaten kepada desa, sesuai peraturan perundang undangan (UU 32/2004 beserta Peraturan Pemerintah yang menyertainya). (2) Kapasitas pimpinan dan apartus kelembagaan desa beserta sumberdaya yang dimiliki desa dalam mengakomodasi kondisi dinamika warga dan kemampuan dalam merelaisasikan mandat TUPOKSI/Kewenangan sesuai peraturan perundang undangan (UU 32/2004 beserta Peraturan Pemerintah yang menyertainya). (3) Analisis potensi organ pemerintah kabupaten yang paling dekat dengan desa, yang dapat menjadi mediator atau penghubung pemerintah kabupaten dan desa. Hasil analisis tiga variabel tersebut dapat menjadi dasar untuk menentukan dukungan yang tepat untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan pemerintahan desa. Lingkup dukungan Pemerintah Kabupaten kepada pengelolaan pemerintahan desa adalah:
1. Meng-update dan melengkapi berbagai Peraturan Pemerintah Kabupaten untuk mendukung pengelolaan pemerintahan desa sesuai dengan UU 32/2004 dan berbagai peraturan pemerintah pusat yang menyertainya. Tanpa ada kelengkapan peraturan tersebut, pemerintah desa akan gamang dalam membuat berbagai peraturan desa dan membangun good governance untuk pengelolaan pemerintahan desa. Karena posisi desa dalam UU 32/2004 adalah bagian dari Otonomi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2. Meng-update dan melengkapi berbagai instrumen administrasi dan sarana prasarana desa sebagai fasilitas dasar untuk melaksanakan TUPOKSI/Kewenangan desa sesuai dengan UU 32/2004 beserta berbagai peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah yang berlaku.
3. Meng-update dan melengkapi kurikulum, modul, sumberdaya untuk peningkatan kemampuan dan kapasitas kepemimpinan dan aparatus kelembagaan desa agar dapat meningkatkan kualitasnya dalam melaksanakan TUPOKSI/Kewenangan desa sesuai dengan UU 32/2004 beserta berbagai peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah yang berlaku.
4. Meng-update dan merasionalisasikan ADD dan dana dana untuk desa sesuai dengan UU 32/2004 beserta berbagai peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah yang berlaku, namun juga memperhatikan dinamika kebutuhan riil desa.
5. Meng-update dan melengkapi kewenangan organ pemerintah kabupaten yang paling dekat dengan desa yaitu kecamatan. Ada dua kewenangan yang paling urgent untuk kecamatan, yaitu; Pertama; Kewenangan delegatip yang merupakan pendelegasian kewenangan Bupati terhadap pengelolaan pemerintah desa agar lebih managable dan visible dalam pelaksanaan teknisnya sesuai dengan UU 32/2004 beserta berbagai peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah yang berlaku. Kedua; Kewenangan atributif yang merupakan kewenangan untuk mengimbangi kemampuan dan kapasitas pimpinan dan aparatus kelembagaan desa untuk melaksanakan kewenangan dan TUPOKSI nya sesuai dengan mandat yang diberikan oleh UU 32/2004 beserta berbagai peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah yang berlaku.

V. Pelaksanaan Pemerintahan Desa yang efektip
Pada era reformasi dan globalisasi dalam koridor UU 32 Tahun 2004 beserta beserta peraturan pemerintah yang menyertai, serta mengakomodasi dinamika harapan dan karakter warga masyarakat Bojonegoro hubungannya dengan penambangan minyak. Maka diperlukan pemerintahan desa yang mampu menghasilkan output kerja sebagai berikut:
Pertama; mengembangkan on line sistem of updating local content and village profile. Sehingga kondisi dan dinamika kependudukan desa, sumber daya, dinamika kebutuhan dan persolan desa dapat diakses oleh pihak pemerintah kabupaten, pemerintah proinsi, pemerintah pusat serta berbagai isntitusi yang mempunyai hubungan dengan desa. Hal ini penting untuk menyikapi globalisasi yang berbasis kepala lokalitas. Informasi tentang desa tidak hanya untuk kepentingan pemerintahan semata, namun untuk kepentingan warganya dan berbagi pihak yang dapat menjadi daya dukung desa tersebut. Program ini sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bekerja sama dengan IRE atas dukungan MCL di delapan desa di Kecamatan Kalitidu dan Kecamatan Ngasem.
Kedua; menghentikan proses social disorientation dengan merumuskan, menetapkan dan mengembangkan sistem updating Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) yang mengacu kepada RPJM Kabupaten Bojonegoro. Hal ini penting sebagai acuan seluruh perencanaan tahunan desa dan acuan seluruh pihak pihak yang mempunyai program di desa tersebut baik dari organisasi pemerintah mampun organisasi non pemerintah. Sehingga ada elaborasi pada tahap Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa dengan mengacu pada PP No 72/2005 dan Permendagri No 38/2007 serta aturan terkait lainnya. Pihak kecamatan berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam mengawal hasil MUSRENBANGDES tahunan agar diakomodir di dalam APBD Kabupaten, APBD Propinsi dan Perencanaan Anggaran di berbagai pihak yang berhubungan dengan desa. Program ini sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bekerja sama dengan IRE atas dukungan MCL di delapan desa di Kecamatan Kalitidu dan Kecamatan Ngasem.
Ketiga; menjaga pelestarian sosio ekosistem desa dengan memfasilitasi Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM). Sehingga setiap desa memiliki Dokumen Tata Ruang Partisipatif dan Dokumen Penetapan dan pengembangan Pusat Pertumbuhan Terpadu Antar Desa (PPTAD) yang selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/ Kabupaten (RTRWP/K). Hal ini penting juga sebagai acuan untuk semua pihak yang akan membuat berbagai program pembangunan fisik yang menggunakan wilayah desa. Program ini sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bekerja sama dengan IRE atas dukungan MCL di delapan desa di Kecamatan Kalitidu dan Kecamatan Ngasem.
Keempat; melaksanakan TUPOKSI dasar nya sesuai dengan perundang undangan yang berlaku dan kebutuhan warga masyarakat. Adapun fokus utama kegiatan ini adalah: (a) Adanya kepastian kantor desa beroperasi sesuai dengan perundang undangan yang berlaku dan kebutuhan warga. (b) Ada kepastian pengerjaan dan disiplin administrasi dan dokumentasi yang mudah dan cepat diakses oleh warga, pemerintah diatasnya dan pihak pihak yang mempunyai hubungan dengan desa sehingga bisa terjadi pola relasi simbiosemutualistis. (c) Ada kepastian berfungsi dan bekerjanya seluruh elemen kelembagaan desa dan aparatus desa sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang berlaku dan kebutuhan warga. Sehingga terwujud adanya pelayanan publik di tingkat desa yang cepat, tepat, berkualitas, mudah dan “murah”. (d) Ada kepastian berlangsungnya manajemen keuangan desa yang berbasi anggaran kinerja dan berkembangnya berbagai badan usaha milik desa sebagai sumber pendapatan asli desa. (e) Ada kepastian berlangsungnya program program pemberdayaan desa yang outputnya adalah:
· Mengembangkan dan mengelola fasilitas umum desa yang dapat memberi kemudahan warga untuk berkemampuan memenuhi kebutuhan dasar (aman, kecukupan makanan, kesehatan, pendidikan, perumahan),
· Mengembangkan sistem pendidikan kewarganegaraan yang dapat mendukung proses caracter building warga agar dapat meningkatkan kualitas kehidupannya.
· Mengembangkan dan mengelola fasilitas umum yang dapat memberi kemudahan warga untuk mengakses ke berbagai pusat pusat sumberdaya untuk mendukung peningkatan kualitas kehidupannya.
· Mengembangkan sistem governance yang dapat memberi kemudahan warga dalam berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan pelakasanaan pemerintah desa.
· Mengembangkan sistem kontrol sosial yang dapat mendukung keberlangsungan kearifan lokal dan aktualisasi potensi local value, local knowledge, local skill and local technology.
Sebagaian Program tersebut khususnya disiplin administrasi dan disiplin dokumentasi sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bekerja sama dengan IRE atas dukungan MCL di delapan desa di Kecamatan Kalitidu dan Kecamatan Ngasem. Sedangkan operasional kantor desa, memfungsikan seluruh elemen kelembagaan desa, peningkatan kualitas pelayanan desa dan pemberdayaan desa baru akan dikembangkan pada tahun kedua dan ketiga oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bekerja sama dengan IRE atas dukungan MCL di delapan desa di Kecamatan Kalitidu dan Kecamatan Ngasem.
**** Bojonegoro, 9 Juni 2009***
[*] Paper untuk peserta Sosialisasi Alokasi Dana Desa Tahun 2009, pada tgl 9 dan 10 Juni 2009, di Ruang Angkling Dharma Pemkab Bojonegoro Jl. P.Mas Tumapel 1 Bojonegoro.
[†] Lead consultant program kerjasama Pemkab Bojonegoro, IRE, MCL dalam pendampingan peningkatan kapasitas pimpinan dan kelembagaan di delapan desa Kecamatan Ngasem dan Kalitidu.
[‡] UU No 22 Tahun 1948; UU No 1 Tahun 1957; UU No 18 Tahun 1965; UU No 19 Tahun 1965; UU No 6 Tahun 1969; UU No 5 Tahun 1974; UU No 5 Tahun 1979; UU No 22 Tahun 1999; dan UU No 32 Tahun 2004.
[§] Tahun 1925 – 1945 dimana kebangkitan pergerakan kemerdekaan Indoensia sudah mulai mengemuka secara menyeluruh di Pendudukan Hindia Belanda.
[**] Tahun tahun awal kemerdekaan Indonesia pada masa pergolakan DI, TII dan pergolakan antar pejuang kemerdekaan.
[††] Pada masa sebelum tahun 1965, dimana berbgai partai politik membangun basis politinya di desa.
[‡‡] Fakta bahwa asset pembangunan menjadi beban warga desa bisa dilihat hamper di seluruh desa di Indonesia. Berbagai contoh menunjukan adanya berbagai gedung yang mangkrak tidak optimal penggunaanya dan tidak dirawat. Asset pembangunan yang berupa pendidikan formal bagi pemuda desa, banyak yang “mangkrak”, dimana hamper semua pemuda desa yang berdidikan formal sampai jenjang SLTA dan Perguruan Tinggi sebagain besar meninggalkan sector pertanian dan mengantri untuk masuk ke sector “Negara”. Akibatnya jumlah setengah pengangguran membludak di desa dan menjadi beban keluarga.
[§§] Dampak negatip dari UU No 22 Tahun 1999 adalah Camat tidak mempunyai kewenangan yang jelas terhadap desa. Kepala desa keslulitan menggerakan para pamong desa, pamong desa kebingungan dalam bersikap dengan warganya.

1 komentar:

  1. Desa ngringin rejo kc.kalitidu bojonegoro..banyak sekali program atas nama PEMBERDAYAAN masyarakat...serta pengembangan sumberdaya lokal..namun apa yang terjadi saat ini..seolah2 bermanuver 180derajat..masalahnya..sekarang jalan masuk ngringin rejo setiap kendaraan pengangkut hasil usaha lokal,buah belimbing dan batu bata ,di kenai pungutan sebesar 5ribu,6ribu,10ribu..hal itu berdampak negatif pada pemasaran hasil usaha lokal...harapan masyarakat tentunya kendaraan pengangkut hasil usaha lokal di bebaskan dari segala macam pungutan,agar memperlancar pemasaran hasil usaha lokal..

    BalasHapus